Sukses

Ini Hukum Puasa Bagi Musafir, Agar Tak Salah dalam Menerapkannya

Hukum puasa bagi musafir.

Liputan6.com, Jakarta Hukum puasa bagi musafir perlu diketahui bagi kamu yang berencana ingin melakukan perjalanan jauh ketika menjalankan ibadah puasa Ramadan. Ya, terdapat salah satu kelompok orang yang diberi keringanan boleh untuk tidak berpuasa adalah orang yang sedang melakukan perjalanan atau musafir.

Akan tetapi, ketentuan bahwa seorang musafir boleh tidak berpuasa memiliki aturan-aturan main yang tidak disebutkan secara rinci di dalam Alquran. Nah, aturan-aturan inilah yang perlu diketahui oleh umat Muslim agar tak salah dalam menerapkannya.

Lantas bagaimana sebenarnya aturan atau hukum bagi seorang musafir yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa? Berikut ini, Liputan6.com, Senin (27/5/2019) telah merangkum serangkaian hukum puasa bagi musafir. Telah dirangkum dari berbagai sumber, ini hukum puasa bagi musafir yang perlu kamu ketahui.

2 dari 5 halaman

Hukum Puasa Bagi Musafir

Di saat kamu yang sedang berpuasa, kemudian berkeinginan untuk mengadakan perjalanan jauh atau yang sering disebut dengan istilah musafir, memang boleh memilih antara tetap melanjutkan puasanya atau membatalkannya. Mengutip dari berbagai sumber, berikut ini penjelasannya.

Sayyidah Aisyah ra menceritakan bahwa Hamzah bin Amr al-Aslami ra pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang puasa saat perjalanan. Rasul pun memberikan jawaban berupa, “Jika kamu menghendaki maka tetaplah berpuasa, dan jika kamu tidak menghendaki maka batalkanlah”.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ سَأَلَ حَمْزَةُ بْنُ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الصِّيَامِ فِي السَّفَرِ فَقَالَ إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ‎

"Dari Aisyah ra, ia berkata bahwa Hamzah bin Amr al-Aslami pernah bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai puasa dalam perjalanan. Lantas beliau pun menjawab, 'Jika kamu menghendaki maka berpuasalah, dan jika kamu tidak menghendaki maka batalkanlah". (HR. Muslim).

Dispensasi yang diberikan kepada musafir karena, pada umumnya setiap musafir itu akan merasakan kesulitan selama berada di dalam perjalanan, bahkan disebutkan bahwa perjalanan itu serpihan dari azab.

Lalu, bagaimana hukum puasa bagi musafir, terlebih zaman sekarang teknologi telah canggih, sehingga musafir tidak akan merasakan masyaqqah atau kesulitan selama perjalanannya? Hukum puasa bagi musafir itu beragam.

3 dari 5 halaman

Hukum Puasa Bagi Musafir

Pertama, hukumnya haram jika kamu menduga akan terjadi kerusakan pada dirinya, anggota tubuhnya atau fungsi (dari tubuhnya) disebabkan puasa atau sebenarnya tidak membahayakan untuk sekarang, namun berpikir akan membahayakan untuk di masa yang akan datang.

Jadi, pada kondisi seperti ini kamu diwajibkan berbuka atu tidak berpuasa. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh imam al Bajuri di dalam kitabnya:

“Bahkan bila seseorang menduga kuat akan meninggal, rusaknya anggota tubuh, dan fungsinya sebab puasa, maka haram baginya berpuasa sebagaimana al-Ghazali berpendapat dalam al-Mustashfa. Jika ia tidak merasa berbahaya pada saat berpuasa, namun dikhawatirkan terjadi bahaya di waktu mendatang, maka berbuka puasa itu lebih baik baginya, sebagaimana al-Rafi‘i menukil dari kitab at-Tatimmah, dan ia membenarkan pendapat tersebut.”

Kedua, menjadi makruh berpuasanya bagi kamu yang sudah memenuhi syarat diperbolehkannya tidak berpuasa bagi musafir. Yaitu perjalanan yang ditempuh adalah perjalanan yang diperbolehkan qasar salat, perjalanan yang mubah, bukan perjalanan untuk melakukan kemaksiatan, perjalanan yang dilakukan adalah pada malam hari sebelum terbit fajar Subuh dan melewati batas desa sebelum fajar Subuh tiba.

Jadi, jika kamu pada kondisi seperti ini, bagi musafir disunnahkan untuk berbuka puasa. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Abu Bakar al Ahdali dalam kitab nadzam qawaid fiqhiyyahnya yang berjudul al Faraid al Bahiyyah.

4 dari 5 halaman

Hukum Puasa Bagi Musafir

Ketiga, wajib berpuasa bagi musafir yang tidak memenuhi syarat diperbolehkannya tidak berpuasa. Yaitu musafir yang menempuh perjalanan yang belum diperbolehkan mengqasar salat (kurang dari 81 kilometer), perjalanannya untuk melakukan kemaksiatan, perjalanan yang dilakukan setelah fajar Subuh dan musafir itu telah menetap di suatu tempat.

Keempat, berpuasa lebih utama daripada berbuka bagi musafir yang sudah memenuhi syarat dan kamu tidak merasa berat atau kesulitan, bahkan kamu kuat dan tidak ada bahaya yang ditimbulkan. Bahkan inilah yang dipilih oleh jumhur ulama’ (mayoritas ulama) sebagaimana yang diterangkan oleh Hasan Sulaiman anNuri di dalam kitab Ibanatul Ahkam.

Pendapat itu berbeda dengan Imam Ahmad yang mengatakan lebih utama berbuka daripada berpuasa meskipun ia kuat, berdasarkan hadis “Tidak ada kebaikan berpuasa di dalam perjalanan.”(HR. Albukhari dan Muslim).

Inilah hukum puasa bagi musafir. Jadi, jika dengan berpuasa dapat menimbulkan bahaya pada diri kamu, maka puasa diharamkan baginya. Dan jika kamu belum memenuhi persyaratan diperbolehkannya tidak berpuasa bagi musafir, maka kamu wajib berpuasa.

Tetapi, jika kamu sudah memenuhi syarat, maka makruh baginya untuk menjalankan puasa, yakni sunnah untuk berbuka. Adapun jika kamu sudah memenuhi syarat diperbolehkannya tidak berpuasa dan kamu masih tetap kuat untuk menjalankan puasa serta tidak ada bahaya baginya, maka berpuasa lebih utama untuk dikerjakan.

Terlebih lagi perjalanan sebagaimana kondisi saat ini sudah terasa lebih ringan dan tidak melelahkan, karena terdapat pesawat dan alat transportasi yang bisa membawa para musafir cepat sampai tujuan, meskipun perjalanan yang ditempuh sangatlah jauh. Hal ini sebagaimana ayat Alquran surah 184 menjelaskan “Dan puasamu itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” Wa Allahu A’lam bis Shawab.

5 dari 5 halaman

Dirangkum Secara Garis Besar, Maka

1. Perjalanan yang dilakukan menempuh jarak perjalanan yang membolehkan meng-qashar shalat. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batas minimal kilometer yang ditempuh untuk bisa meng-qashar shalat. Ini bisa dimengerti karena berbagai dalil yang menuturkan hal ini tidak menggunakan ukuran kilometer tapi menggunakan ukuran yang biasa dipakai oleh bangsa Arab saat itu yakni empat burud yang kemudian dikonfersikan menjadi empat puluh delapan mil menurut ukuran Hasyimi, dan empat puluh mil menurut ukuran Bani Umayah (Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Islam, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah [Kuwait: 1980], juz 25, hal. 28-29). Di dalam kitab Al-Fiqh Al-Manhaji (Damaskus: Darul Qalam, 2013, jil. 1, hal. 191) secara jelas Dr. Musthofa Al-Khin dan kawan-kawan mengkonversikan ukuran ini ke dalam ukuran kilometer dengan bilangan 81 kilometer.

2. Perjalanan yang dilakukan adalah perjalanan yang mubah, bukan perjalanan untuk melakukan suatu kemaksiatan.

3. Perjalanannya dilakukan pada malam hari dan sebelum terbit fajar (waktu subuh) telah melewati batas daerah tempat tinggalnya, dalam konteks wilayah Indonesia adalah batas kelurahan.

4. Bila musafir pergi setelah terbitnya fajar maka tidak diperbolehkan berbuka dan wajib berpuasa penuh pada hari itu.

5. Seorang musafir (yang dalam keadaan melakukan perjalanan sebagaimana syarat-syarat di atas) yang pada waktu pagi hari berpuasa diperbolehkan berbuka membatalkan puasanya.

6. Seorang musafir yang telah bermukim di suatu tempat dilarang berbuka (tidak berpuasa).

Video Terkini