Liputan6.com, Jakarta - Lempar jumrah dilakukan jemaah haji sebagai simbol melempar setan yang dijelmakan dalam tiga bagian, yaitu jumrah ula (pertama) atau jumrah sughra, jumrah wustha (tengah), dan jumrah 'aqabah (terakhir).
Terkadang, pelaksaan lontar jumrah itu membuat nyawa seseorang terancam bahkan meninggal akibat desak-desakan dengan jemaah haji satu dengan yang lainnya. Karena saat itu memang banyak jemaah dari seluruh dunia yang ingin melontar jumrah.
Baca Juga
Lalu, bagaimanakah hukumnya orang yang sengaja tidak lontar jumrah dalam hari kedua (12 Dzulhijah) dan hari ketiga (13 Dzulhijah) selepas Idul Adha?
Advertisement
Apakah hal itu akan membatalkan ibadah hajinya? Dikutip dalam buku 100 Tanya-Jawab Haji & Umrah karya DR Yusuf Al-Qaradhawi, orang yang sengaja tidak lontar jumrah, ibadah hajinya tidak batal. Tetapi dalam hal ini ia telah melakukan tindakan yang tidak baik.
"Menurut mayoritas ulama ia wajib membayar denda (dam),meskipun menurut sebagian ulama yang lain ia tidak wajib membayarnya," kata Yusuf.
Dia memaparkan, kalau jemaah haji tersebut merasa tidak mungkin lontar jumrah karena kepadatan jemaah haji yang luar biasa, maka boleh mewakilkannya kepada orang lain.
"Jadi statusnya sama seperti wanita yang sedang hamil, orang tua renta, atau orang yang badannya kegemukan (obesitas) sehingga tidak mungkin sanggup berdesak-desakan di tengah lautan manusia. Orang-orang seperti itu juga boleh mewakilkan,karena lontar jumrah memang boleh diwakilkan," terang Yusuf.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Ada Tidak Dapat Diwakilkan
Meski begitu, Yusuf mengatakan, ada pula beberapa yang tidak boleh diwakilkan. Anda tidak boleh mewakilkan orang lain untuk tawaf atas nama anda. Juga, Anda tidak boleh mewakilkan orang lain untuk sai atas nama sendiri.
"Alasannya, Anda bisa melakukan sai sendiri dengan bantuan kereta dorong, dan anda juga bisa melakukan tawaf dengan cara ditandu atau menggunakan kursi roda," kata Yusuf.
Tetapi untuk lontar jumrah, dapat diwakilkan dengan orang lain atas nama anda sendiri dengan membawa dua puluh satu butir kerikil.
"Setelah melontar jumrah untuk diri sendiri, ia lalu melontar batu kerikil dengan jumlah yang sama mewakili Anda. Jadi setelah mengucapkan, 'Ya Allah, aku melontar atas nama si pulan bin pulan', ia langsung melontar," tutup Yusuf.
Ini diperbolehkan, terutama dalam suasana seperti sekarang yang demikian padat dan berdesak-desakan laksana gulungan ombak besar menuju pantai.
Â
(Desti Gusrina)
Advertisement