Sukses

Waspadai Lonjakan Harga Daging Saat Ramadan

Sejumlah komoditas pangan biasanya mengalami kenaikan harga saat Ramadan.

Liputan6.com, Jakarta - Saat masuk bulan Ramadan, sejumlah komoditas pangan mengalami kenaikan harga. Salah satu yang harganya melonjak yaitu daging sapi.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Sarman Simanjorang, mengatakan daging memang perlu diwaspadai saat bulan Ramadan.

“Saya rasa daging juga perlu diwaspadai, memang harga daging masih sedikit normal, tetapi nanti semakin mendekati lebaran konsumennya pasti naik,” kata Sarman kepada Liputan6.com, Sabtu (25/4/2020).

Menurutnya ada beberapa alasan kenapa harus diwaspadai karena apabila tetap melakukan impor, nilai dolar Indonesia sedang tinggi, sehingga harga daging cukup mahal.

Selanjutnya, negara-negara  yang selama ini menjadi negara impor untuk Indonesia masih melakukan pengetatan  dan pelayanannya kena lockdown.

“Seperti impor  kerbau dari India masih lockdown juga, Australia juga semi lockdown, ini juga perlu diwaspadai supaya nanti jangan sampai terjadi gejolak, jadi itu sementara  yang kita lihat dilapangan,” ujarnya.

Meskipun saat ini harga daging berada diposisi stabil, namun tak ada salahnya pemerintah harus tetap waspada agar harga daging nantinya tidak mengalami lonjakan yang tinggi.

2 dari 2 halaman

Komoditas Pangan Lain

Sementara, untuk komoditi pangan lain seperti beras, bawang merah, cabai rawit, bawang putih, telur, dan lain sebagainya ia menyebut masih aman.

Meski masih ada kenaikan untuk beberapa komoditas tapi menurutnya itu tidak masalah seperti naik 5-6 persen masih wajar, tapi kalau di atas itu baru disebut tidak wajar.

Intinya harus diwaspadai apalagi di Jakarta dengan dilarangnya mudik itu berarti konsumsi akan naik. Kenapa  harus diwaspadai, karena ada sumber yang akan belanja besar-besaran, yakni pemerintah dengan program bantuan sosial, pemerintah DKI Jakarta, Bodetabek, termasuk Kementerian Sosial.

“Mereka belanja besar-besaran mulai dari belanja beras, gula, tepung, minyak goreng, sampai mie instan dan sarden itu banyak sekali bantuan sosial. Kemudian masyarakat yang tidak mendapatkan itu juga banyak, di DKI Jakarta 1,2 juta orang berarti masih ada 8 juta orang lagi yang harus belanja juga untuk keperluan sendiri,” ujarnya.

Oleh karena itu, menurut Sarman pemerintah harus menghitung secara cermat baik pemerintah pusat, dan kementerian, antara untuk kebutuhan belanja pemerintah dan kebutuhan belanja masyarakat yang tidak kena sasaran bantuan sosial.