Sukses

Cerita Mualaf di AS, Hadapi Ramadan dalam Belenggu Pandemi Corona COVID-19

Ramadan kali ini sangat aneh, kata mualaf AS bernama David yang menjalaninya di tengah pandemi Virus Corona COVID-19.

Liputan6.com, Washington DC - Ramadan tahun ini berbeda, umat Muslim menjalaninya di tengah belenggu pandemi Virus Corona COVID-19.

Bagi Muslim di seluruh dunia, Ramadan adalah bulan yang ditunggu-tunggu. Inilah saatnya memakmurkan masjid untuk beribadah dan bersilaturahmi.

Bagi para mualaf yang tidak memiliki keluarga Muslim, masjid dengan komunitas Muslimnya juga menjadi tempat mereka untuk belajar mendalami dan mempraktikkan ajaran Islam. Tetapi penutupan masjid-masjid dan aturan social distancing pada masa pandemi Virus Corona COVID-19 ini tentu berdampak pada mereka.

"Ramadan kali ini sangat aneh," kata David seperti dikutip dari VOA Indonesia, Sabtu (2/5/2020).

"Ramadan kali ini sama sekali berbeda dengan tahun lalu, terutama bagaimana kita salat," tutur Sakina.

David Misterek dan Sakina, adalah dua mualaf warga Sterling, Virginia, yang mengungkapkan kepada VOA bagaimana Ramadan kali ini berbeda dengan tahun lalu. Karena menerapkan social distancing, mereka hanya tinggal di rumah dan tidak bisa datang ke masjid yang juga ditutup.

Padahal bagi mualaf, yang kebanyakan menjadi minoritas di tengah keluarga atau komunitasnya, masjid merupakan tempat andalan yang biasa didatangi untuk belajar, selain untuk mendapatkan rasa kebersamaan dan kekeluargaan dengan saudara seiman.

Sakina, perempuan Mongolia yang terlahir dengan nama Byambasaikhan Saranchimeg baru satu tahun ini menjadi mualaf. Pada Ramadan tahun ini ia merasa kehilangan berbagai aktivitas di masjid, terutama diskusi dengan sesama Muslim, juga mualaf.

Sementara David, seorang software engineer yang sudah beberapa tahun lebih dulu memeluk Islam, merasakan ada semangat yang hilang kali ini.

"Buat saya, Ramadan sebelumnya adalah waktunya bersilaturahmi, mendapatkan semangat dari berkumpul dengan sesama Muslim. Mereka semua datang ke masjid atau halaqah untuk alasan yang sama, untuk lebih dekat kepada Allah. Bagi saya, energi itu, energi yang sangat menguatkan itu hilang kali ini," ungkapnya.

Namun demikian David bersyukur karena ustaz serta imam masjidnya menawarkan berbagai pelajaran online, kajian mendalam mengenai Al Quran dan sirah (riwayat) nabi Muhammad. Mereka melakukan sebisa mungkin dengan apa yang mereka miliki, lanjutnya.

 

2 dari 2 halaman

Kesepian

Rasa sepi dan perasaan sendiri juga kerap melanda mualaf yang tidak memiliki teman atau kerabat Muslim.

David mengemukakan, "Saya juga bersyukur karena saya menikah, jadi saya tidak perlu sholat sendiri. Kalau tidak, rasanya akan sangat sulit, kurang begitu terasa Ramadannya."

Hal serupa juga disyukuri Sakina yang selain suaminya, tidak ada satupun anggota keluarga Muslim di tengah keluarga besarnya.

"Kami, saya dan suami hanya tinggal di rumah dan sholat berjamaah, juga menyimak video ceramah beberapa ustaz."

Berdiri enam tahun silam, Comfasion (Community Faith Support Organization) yang berpusat di Virgina, mempunyai misi mendampingi dan membantu mualaf dalam perjalanan mereka mengenal Islam seutuhnya. David dan Sakina termasuk yang meminati dan menghadiri kegiatan yang diselenggarakan organisasi ini.

Dengan adanya berbagai pembatasan semasa pandemi ini, Comfasion melakukan beberapa penyesuaian dalam program regulernya. Pertemuan sebulan sekali, kata Saroh Thomas, salah seorang pendiri yang juga ketuanya.

"Otomatis pertemuan nggak ada tapi akhirnya kelas online makin banyak. Tadinya cuma tiap minggu sekarang ini malah rencananya ada tiga kelas. Jadi makin banyak karena Zoom lebih luas capaiannya," ujarnya.

Agar para mualaf tidak merasa sendiri, Saroh juga menyempatkan diri bertegur sapa dengan menelepon atau mengirimi mereka SMS. Khusus untuk Ramadan kali ini, ia menyiapkan kegiatan mengirim makanan berbuka juga hadiah Idul Fitri untuk mereka.

Sakina merasa organisasi semacam Comfasion berperan penting dalam masa di mana orang harus tinggal di rumah. Bertegur sapa melalui telepon, berpartisipasi dalam kelas-kelas pengajian online sesama mualaf dengan bimbingan ustaz, membuatnya merasa terhubung dengan komunitas Muslim. Namun, tambah Sakina, setiap mualaf sendiri memang harus berusaha berkomunikasi dengan sesamanya untuk mengurangi perasaan kesepian mereka sebagai mualaf.

Seperti juga yang dikatakan David, Ramadan kali ini adalah ujian bagi semua Muslim dan menjadi bahan perenungan, apakah kondisi seperti ini jadi alasan untuk membatasi atau untuk meningkatkan ibadah mereka.

Mualaf adalah bagian sangat kecil dari warga Muslim Amerika. Pada tahun 2018, sekitar 3,45 juta orang, atau sekitar 0,8 persen dari total populasi Amerika adalah Muslim. Namun menurut survei Pew Research Center, Islam masih menjadi agama yang berkembang paling pesat di AS.Â