Liputan6.com, Palembang - Rasa haus mulai terasa sedikit mencekik tenggorokan Nuryana, di tengah teriknya sinar matahari di siang hari. Namun, nenek berusia 78 tahun asal Palembang Sumatera Selatan (Sumsel) ini tetap sabar, menanti azan Magrib untuk berbuka puasa, sembari menanti dagangan kembang kuburannya laris terjual.
Di bawah atap triplek seadanya yang masih saja ditembus sengatan matahari, dia duduk termangu menatap beberapa kantong plastik berisi kembang kuburan dagangannya yang tak kunjung laku.
Sesekali matanya pun terpejam, karena rasa kantuk yang tak kuat ditahannya, serta tidak ada aktivitas apa pun yang harus dilakukannya. Terlebih di bulan Ramadan, sangat sedikit para peziarah di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kandang Kawat Palembang yang berdatangan.
Advertisement
Baca Juga
Namun, keinginannya untuk terlelap sejenak, terusik dengan suara kendaraan yang berlalu lalang di jalanan. Karena Nuryana menjajakan dagangannya, tepat di pinggiran jalan di depan gerbang TPU Kandang Kawat Palembang.
“Kalau bulan puasa seperti ini, sepi pengunjung. Paling ada para pelayat yang datang memakamkan jenazah. Itu pun tidak pasti membeli kembang saya, karena masih banyak penjual lain yang berjualan di depan TPU Kandang Kawat ini,” ujarnya sembari membenahi jejeran bungkusan kembang kuburan dagangannya itu, Selasa (19/5/2020).
Namun, bulan Ramadan tetap membawa rezeki bagi nenek Nurhaya. Ada saja para warga yang membeli bungkusan kembang kuburannya, untuk dibawa pulang. Namun, jumlahnya tidak sebanyak di hari-hari biasa.
Nenek Nuryana juga dipercaya oleh pengelola TPU Kandang Kawat Palembang, untuk menjaga pos lapor di gerbang utama komplek makam tersebut. Sehingga, dia tidak dipungut biaya sedikit pun, saat menjajakan dagangannya.
Puing-puing uang juga didapat nenek Nuryana setiap bulannya, karena dia diminta beberapa warga untuk mengurus empat unit makam di sana. Dia pun bisa mengantongi Rp50.000 hingga Rp100.000 setiap bulannya, untuk mengurus satu pemakaman saja.
“Mereka langganan saya juga, jadi setiap bulan saya diberi upah jaga. Saya sering mencabut rumput-rumput yang tumbuh di sekitar makam tersebut, agar tetap terlihat rapi dan bersih ketika para pelanggan saya berziarah,” ucap wanita kelahiran tahun 1942 ini.
Jika di hari biasa, nenek Nuryana bisa mengantongi uang hasil jualannya sebesar Rp50.000. Bahkan jika di hari Minggu atau jelang bulan Ramadan, kembang kuburannya laris manis hingga dia bisa mengantongi uang sebanyak Rp100.000, namun jarang terjadi.
Bungkusan kembang kuburannya dijual cukup murah, yaitu Rp10.000 untuk tiga bungkus. Dia juga tidak bisa menaikkan harga dagangannya. Karena ada banyak pedagang kembang lainnya di TPU Kandang Kawat Palembang, yang juga menjual dagangan dengan harga yang sama.
Penghasilan Minim
Namun sudah satu tahun terakhir, nenek Nuryana harus pindah hunian ke kawasan Talang Keramat Kabupaten Banyuasin Sumsel. Dua unit hunian bedeng, harus disewanya bersama anak tunggalnya dan 7 orang cucunya.
Karena jarak yang jauh dari rumahnya menuju ke tempat dagangannya, Nuryana harus merogoh kocek sebesar Rp40.000 setiap hari. Uang tersebut digunakan untuk biaya transportasinya, mulai dari ojek konvensional hingga angkutan kota (angkot).
Dia sangat paham, budjet ongkos sehari-hari sudah menguras pendapatannya. Bahkan, nenek Nuryana pernah hanya membawa pulang uang Rp5.000, karena sisanya habis untuk biaya transportasi pulang pergi.
Dengan kondisinya yang serba pas-pasan, dia tetap semangat berjualan. Menurutnya, itu hanyalah ritme kehidupan yang mungkin harus dijalaninya saat ini. Dia tetap bersyukur, karena rezeki terus mengalir dari para peziarah.
“Kalau bawa uang Rp5.000 ke rumah sih sering. Tapi bersyukur saja, kadang ada peziarah yang membeli dagangan saya. Uang kembaliannya dikasih ke saya, ada juga yang memberi saya uang dengan sukarela. Saya terima dan mungkin seperti itu jalan rezekinya,” ucapnya.
Usahanya ini ternyata sudah dirintisnya sejak tahun 1972. Saat itu, dia memilih berjualan kembang kuburan, karena kondisi perekonomian keluarganya sedang goyah.
TPU Kandang Kawat Palembang juga, berdekatan dengan tempat tinggalnya. Sehingga dia tidak kesulitan untuk berjualan sembari menjaga anak perempuan semata wayangnya.
Advertisement
Pernah Naik Haji
Nenek Nuryaha juga bercerita, dulunya suaminya yang kini sudah meninggal dunia, adalah seorang kontraktor sukses. Bahkan di masa kejayaannya, nenek Nuryana pernah berangkat ibadah haji ke Mekkah. Namun lama-kelamaan, uang hasil kerja suaminya habis untuk biaya hidup.
“Untung saya masih berjualan. Kalau tidak, bagaimana saya mencukupi kebutuhan hidup, ketika suami sakit-sakitan dalam waktu yang lama dan akhirnya meninggal dunia,” katanya.
Kendati pandemi Corona Covid-19 ini, turut sedikit melumpuhkan bisnisnya. Nenek Nuryana tetap sabar dan tak mau berpangku tangan dengan anaknya, yang juga hidup serba kekurangan.
Dia juga harus menerima kenyataan, karena hingga kini tidak pernah mendpat bantuan dari pemerintah. Baik berupa sembako atau Bantuan Langsung Tunai (BLT).
“Mungkin karena saya tinggal berpindah-pindah, jadi tidak terdata. Semoga saja suatu saat, ada bantuan untuk warga miskin ke saya, walau pun akan sulit mendapatkannya,” ucapnya penuh harap.
Dia juga tidak lupa menggunakan masker, untuk mencegah penularan Corona Covid-19 selama beraktivitas di luar rumah. Namun ada sedikit kekhawatirannya, jika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan di Kota Palembng.
Nenek Nuryana takut, jika saat PSBB diberlakukan dia tidak bisa lagi berjualan di depan TPU Kandang Kawat Palembang.
"Kalau tidak bisa berjualan lagi, saya mau makan apa. Karena hanya ini satu-satunya penghasilan saya selama ini. Tapi semoga saja, PSBB nanti tidak akan menganggu aktivitas dagangan saya," harap nenek Nuryana.