Sukses

Hukum Vaksinasi Saat Puasa, Simak Fatwa dari MUI

Vaksinasi saat menjalani puasa sempat menjadi perhatian tersendiri bagi umat Islam.

Liputan6.com, Jakarta Bulan Ramadan tahun ini masih diliputi kewaspadaan akan masa pandemi. Salah satu yang menjadi perhatian adalah proses vaksinasi. Kementerian Kesehatan RI akan tetap menjalankan vaksinasi di bulan Ramadan.

Vaksinasi saat menjalani puasa sempat menjadi perhatian tersendiri bagi umat Islam. Pasalnya, vaksinasi dikhawatirkan dapat membatalkan puasa. Namun, anggapan ini dipatahkan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan vaksinasi Covid-19 di bulan Ramadan tidak membatalkan puasa. 

Fatwa terkait vaksinasi saat puasa ini sudah dikeluarkan pada 16 Maret 2021. Keluarnya fatwa ini diharapkan membuat umat muslim tak ragu lagi menjalani proses vaksinasi selama menjalankan ibadah puasa.

Seperti apa hukum vaksinasi selama berpuasa dan bagaimana isi fatwa yang dikeluarkan MUI terkait hukum ini? Berikut penjelasan tentang hukum vaksinasi selama berpuasa, dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Rabu(7/4/2021).

2 dari 4 halaman

Isi fatwa MUI terkait vaksinasi selama puasa

MUI telah mengeluarkan fatwa Nomor 13 Tahun 2021 tentang Hukum Vaksinasi COVID-19 pada Saat Berpuasa. Fatwa tersebut menyatakan bahwa vaksinasi COVID-19 tidak membatalkan puasa dan boleh dilakukan bagi umat Islam yang sedang berpuasa.

Fatwa ini menjelaskan bahwa vaksinasi Covid-19 yang dilakukan dengan injeksi intramuscular tidak membatalkan puasa. Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa melakukan vaksinasi Covid-19 bagi umat Islam yang berpuasa dengan injeksi intramuscular hukumnya boleh sepanjang tidak menyebabkan bahaya (dlarar).

Berdasarkan fatwa tersebut, yang dimaksud dengan vaksinasi adalah proses pemberian vaksin dengan cara disuntikkan atau diteteskan ke dalam mulut untuk meningkatkan produksi antibodi guna menangkal penyakit tertentu. Sementara injeksi muskular adalah injeksi yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat atau vaksin melalui otot.

3 dari 4 halaman

Penjelasan MUI

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun memberi penjelasan terkait fatwa yang mereka keluarkan.

"Pemerintah dapat melakukan vaksinasi Covid-19 pada saat bulan Ramadan untuk mencegah penularan wabah Covid-19 dengan memperhatikan kondisi umat Islam yang sedang berpuasa," kata Ketua Bidang Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh dikutip dari Antara, Selasa, 16 Maret 2021.

Menurut Asrorun, aksinasi yang tengah dilakukan saat ini merupakan ikhtiar dalam mengatasi pandemi Covid-19 melalui cara injeksi intramuskular. Injeksi intramuskular dilakukan dengan cara menyuntikkan obat atau vaksin melalui otot.

"Vaksinasi Covid-19 yang dilakukan dengan injeksi intramuscular tidak membatalkan puasa," kata Asrorun.

Sementara itu, Wakil Presiden Ma'ruf Amin juga mengajak masyarakat agar tidak ragu melakukan vaksinasi. Ma'ruf menjelaskan, tidak batalnya seorang yang berpuasa karena vaksinasi, disebabkan cairan yang masuk ke dalam tubuh tidak melalui lubang yang membatalkan. Karenanya, seorang yang berpuasa tetap sah dan bisa melanjutkan ibadah puasanya tanpa perlu takut membatalkan.

"Karena cairan masuk dari bukan lubang yang membatalkan, vaksin ini kan disuntik, tidak masuk dari lubang," jelas dia.

4 dari 4 halaman

Pertimbangan fatwa

Fatwa terkait hukum vaksinasi selama berpuasa ini sudah dikaji berdasarkan pertimbangan matang. Vaksinasi intramuscular dianggap tidak membatalkan puasa karena tidak masuk lewat rongga badan yang terbuka dan vaksin tidak dianggap sebagai makanan atau minuman. Ini sesuai dengan pendapat para ulama berikut:

- Pendapat Ibnu al-Hammam al-Hanafi dalam kitab Fathu al-Qadir (2/330) bahwa yang membatalkan puasa adalah sesuatu yang masuk lewat rongga yang lazim, seperti mulut, kubul, dan dubur.

(Ungkapan “Dan jika memakai celak maka tidak membatalkan puasa”) baik tenggorokannya dapat merasakan suatu makanan atau tidak, karena zat yang berada di tenggorokan adalah sisasisa yang masuk lewat pori-pori. Sedangkan yang membatalkan puasa adalah sesuatu yang masuk lewat rongga yang terbuka seperti jalan masuk ke tubuh atau jalur keluar darinya, dan bukan dari pori-pori.

- Ungkapan al-Rafi’i yang dinukil oleh al-Nawawi dalam kitab alMajmu’ (6/313) bahwa yang sesuatu yang masuk ke perut dan membatalkan puasa itu dengan syarat masuknya lewat rongga yang terbuka, dengan sengaja, dan dalam keadaan tidak lupa.

Imam Rafi’i berkata: ulama-ulama Syafiiyah memberikan batasan (dhabit) bahwa sesuatu yang masuk ke perut yang membatalkan puasa adalah sesuatu yang masuk dari luar lewat rongga yang terbuka dengan kesengajaan dan dalam keadaan tidak lupa sedang berpuasa.

- Pendapat Imam al-Ramli dalam kitab Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj (3/165) bahwa jika sesuatu yang sampai pada perut itu terasa bermanfaat sebagai nutrisi bagi badan (makanan atau minuman), maka itu membatalkan puasa.

Disyaratkan adanya sesuatu kekuatan di dalam perut yang menghantarkan seuatu yang masuk menjadi nutrisi ataupun obat. Karena, jika tidak ada yang menghantarkannya, maka badan tidak merasakan adanya nutrisi atau sesuatu yang bermanfaat baginya, maka menyerupai sesuatu yang sampai keselain perut.

- Pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab al-Minhaj al-Qawim Syarh al-Mukoddimah al-Hadramiyah (246) bahwa termasuk yang membatalkan puasa adalah masuknya sesuatu ke saluran perut melalui jalur rongga badan yang terbuka, sedangkan minyak oles, celak, atau air sebab mandi yang masuk lewat poripori tidak membatalkan.

Rukun keempat, menahan dari masuknya sesuatu ke perut, seperti telinga bagian dalam dan saluran kandung kemih, dengan syarat masuknya lewat rongga badan yang terbuka. Sesuatu yang terserap masuk melalui pori-pori seperti minyak oles, celak, dan sebab air mandi tidak membatalkan puasa.

- Pendapat Imam al-Nawawi dalam kitab Raudlatu al-Thalibin wa ‘Umdatu al-Muftin (2/358) bahwa obat yang masuk ke dalam dagin tidak membatalkan puasa.

Jika obat dimasukkan ke dalam daging betis atau dimasukkannya obat melalui pisau sehingga sampai pada otak, maka puasanya tidak batal karena tempat tersebut tidak termasuk bagian dari perut. Jika seseorang mengolesi kepalanya atau perutnya dengan minyak dan minyak tersebut sampai pada rongga perut melalui pori-pori, maka tidak batal puasanya, karena masuknya tidak melalui rongga badan yang terbuka, sebagaimana tidak batal puasa seseorang yang mandi dan menyelam di air, meskipun pengaruh air tersebut sampai pada bagian dalam badannya.