Sukses

4 Macam Bentuk Batal Puasa Ramadhan dan Cara Membayarnya

Pelaksanaan puasa ini dilakukan mulai imsak atau fajar shadiq (waktu subuh) hingga terbenamnya matahari atau waktu maghrib.

Liputan6.com, Jakarta - Menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan adalah kewajiban setiap umat Islam di dunia. Hal ini disebutkan dalam Alquran Surat Al-Baqarah ayat 183 dan juga hadist Nabi Muhammad SAW tentang rukun Islam.

Pelaksanaan puasa ini dilakukan mulai imsak atau fajar shadiq (waktu subuh) hingga terbenamnya matahari atau waktu maghrib, dikutip dari laman NU Online www.islam.nu.or.id, Rabu (21/4/2021).

Bulan Ramadhan juga menjadi bulan yang penuh dengan keberkahan dan memberikan kesempatan untuk umat Islam memperbanyak amalan. Selain itu, kita juga harus menjauhi hal yang dapat membatalkan puasa.

Hal-hal yang dapat membatalkan puasa terdapat dalam kitab-kitab fiqih, seperti kitab Safinatun-Naja, Fathul-Qarib, Fathul-Mu’in, Kifayatul Akhyar, dan lainnya.

Namun, apa saja sebenarnya macam-macam bentuk batalnya puasa dan bagaimana cara membayarnya? Kitab Safinatu an-Naja karya Syekh Sumair, Fashl wa Aqsamul-Ifthar menjelaskan tentang hal ini.

وَأَقْسَامُ الْإِفْطَارِ أَرْبَعَةٌ أَيْضًا مَا يَلْزَمُ فِيْهِ ألْقَضَاءُ وَالْفِدْيَةُ وَهُوَ إِثْنَانِ أَلْأَوَّلُ أَلْإِفْطَارُ لِخَوْفٍ عَلَى غَيْرِهِ وَالثَّانِيْ أَلْإِفْطَار مَعَ تَأْخِيْرِ قَضَاءِ مَعَ إِمْكَانِهِ حَتَّى يَأْتِيَ رَمَضَانُ أَخَرُ وَثَانِيْهَا مَا يَلْزَمُ فِيْهِ الْقَضَاءُ دُوْنَ الْفِدْيَةِ وَهُوَ يَكْثُرُ كَمُغْمَي عَلَيْهِ وَثَالِثُهَا مَا يَلْزَمُ فِيْهِ أَلْفِدْيَةُ دُوْنَ الْقَضَاءِ وَهُوَ شَيْخٌ كَبِيْرٌ وَرَابِعُهَا لَا وَلَا وَهُوَ أَلْمَجْنُوْنُ أَلَّذيْ لَمْ يَتَعَدَّ بِجُنُوْنِهِ

Artinya:

"Macam-macam putusnya puasa dan hukumnya terdiri dari empat hal; Pertama, perkara yang mewajibkan qadha dan membayar fidyah, yaitu putusnya puasa sebab mengkhawatirkan orang lain dan tidak menqadha puasa disebabkan menunda-nunda pada waktu yang dimungkinkan, hingga datang bulan Ramadhan berikutnya. Kedua, perkara yang hanya mewajibkan qadha saja, dalam hal ini terjadi pada kebanyakan orang seperti sakit ayan dan lain-lain. Ketiga, perkara yang mewajibkan membayar fidyah tidak qadha, yaitu orang yang tua renta. Keempat, tidak wajib qadha dan tidak wjib fidyah yaitu orang gila yang tidak disengaja gilanya." (Syekh Salim bin ‘Abdillah Bin Sumair, Safinatun-Naja fi Ushulid-Din wal-Fiqh, Surabaya: al-Bayan, hal. 114).

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 6 halaman

Konsekuensi Batalkan Puasa

Kosekuensi dalam membatalkan puasa ada dua, yakni qadha dan membayar fidyah. Qadha yaitu mengganti ibadah puasa saat sebelum Ramadhan tahun berikutnya tiba yang dilakukan sesuai dengan jumlah puasa yang batal.

Sedangkan membayar fidyah yaitu memberi makan orang miskin untuk mengganti puasa yang ditinggalkan di bulan Ramadhan.

Setiap satu kali meninggalkan puasa, maka diwajibkan untuk membayar fidyah kepada satu orang fakir miskin. Membayar fidyah dapat berupa makanan pokok.

Syekh Nawawi dalam syarah Kasyifatus-Saja menjabarkan beberapa penjelasan Syekh Sumair tentang macam-macam bentuk batalnya puasa. Berikut 4 penjelasan terkait macam-macam bentuk batalnya puasa:

 

3 dari 6 halaman

1. Puasa yang Wajib Diqadha dan Membayar Fidyah

Orang-orang yang wajib mengadha puasa serta membayar fidyah terdiri dari dua, yakni orang-orang yang membatalkan puasa selain dirinya dan terlambat mengadha puasa hingga datangnya bulan Ramadhan berikutnya.

Syekh Nawawi memberikan contoh pada poin pertama seperti halnya orang yang menyelamatkan orang lain atau selainnya dan hal tersebut menyebabkan ia membatalkan puasanya. Misalnya, seorang ibu yang menyusui anaknya, ia mengkhawatirkan kesehatan anaknya tersebut ketika ia berpuasa.

Imam al-Ghazali turut menjelaskan dalam karyanya, kitab Ihya Ulumiddin;

واما الفدية فتجب على الحامل والمرضع إذا أفطرتا خوفا على ولديهما لكل يوم مد حنطة لمسكين واحد مع القضاء

Artinya:

"Adapun fidyah adalah wajib atas wanita hamil dan menyusui ketika keduanya membatalkan puasa karena khawatir akan keselamatan anaknya, setiap hari (yang ditnggalkan) satu mud untuk satu orang miskin, dan dibarengi dengan melakukan qadha (mengganti puasa)." (Imam al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, Indonesia: Dar al-Ihya, hal. 234, Juz 1).

 

4 dari 6 halaman

2. Diwajibkan untuk Mengqadha

Selanjutnya yaitu golongan yang mengaqdha saja tanpa membayar fidyah. Syekh Nawawi memberikan keterangan, orang-orang yang membatalkan puasa dan boleh mengadha saja yaitu orang yang meninggalkan puasa karena sakit ayan, melakukan perjalanan jauh, sakit tidak permanen, lupa berniat di waktu malam, menyengaja berbuka, dan sebagainya.

 

5 dari 6 halaman

3. Wajib Bayar Fidyah Tanpa Harus Mengqadha

Bentuk yang ketiga yaitu hanya wajib membayar fidyah tanpa harus melakukan qadha. Hal ini diperuntukan orang tua yang telah rentan dan sudah tidak mampu lagi untuk menjalankan ibadah puasa.

Selain itu, berlaku pula untuk orang-orang yang sakit dan tidak bisa diharapkan kesembuhannya. Hal tersebut dianggap logis karena lemahnya fisik yang tidak bisa memungkinkan untuk mengganti puasa.

Syekh Taqiyuddin dalam Kifayatu al-Akhyar, mengatakan;

وان خافتا على ولديهما بسبب إسقاط الولد في الحامل وقلة اللبن في المرضع أفطرتا وعليهما القضاء للإ فطار والفدية لكل يوم مد من الطعام

Artinya:

"Jika keduanya (wanita hamil dan menyusui) mengkhawatirkan kondisi anaknya; sebab keguguran bagi wanita hamil dan sedikit ASI bagi wanita yang menyusui, maka keduanya berbuka. Dan wajib atas keduanya mengqadha dan membayar fidyah satu mud untuk setiap hari (hari meninggalkan puasa)." (Syekh Taqiyuddin, Kifayatul-Akhyar, Indonesia: Dar al-Ihya, juz 1, hal. 213).

 

6 dari 6 halaman

4. Tidak Diwajibkan Qadha dan Fidyah

Hukum ini diperuntukan bagi orang gila, anak kecil yang belum baligh, dan juga orang kafir asli. (Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi, Syarah Kasyifatus-Saja, Surabaya: al-Bayan, hal. 114).

 

(Cinta Islamiwati)