Sukses

Kelompok Muslim AS Boikot Perayaan Idul Fitri Gedung Putih, Ada Apa?

Idul Fitri biasanya menjadi waktu kegembiraan dan perayaan bagi umat Islam di seluruh dunia. Namun, berbeda bagi muslim tahun ini.

Liputan6.com, Washington D.C - Organisasi-organisasi Muslim Amerika Serikat memboikot perayaan Idul Fitri virtual Gedung Putih pada hari Minggu (16/5) yang menandai akhir bulan suci Ramadhan untuk memrotes apa yang mereka pandang sebagai dukungan pemerintahan Biden pada kekerasan Israel terhadap warga Palestina.

Idul Fitri biasanya menjadi waktu kegembiraan dan perayaan bagi umat Islam di seluruh dunia. Tapi tahun ini, Idul Fitri terganggu, tidak hanya oleh pandemi, tetapi juga oleh kekerasan yang meningkat antara Israel dan Palestina, sehingga beberapa organisasi Muslim Amerika memboikot perayaan Idul Fitri virtual Gedung Putih pada hari Minggu.

Robert McCaw adalah direktur urusan pemerintah untuk Dewan Hubungan Islam Amerika atau Council on American Islamic Relations (CAIR), sebuah organisasi hak sipil dan advokasi Muslim di Washington, D.C.

"Dewan Hubungan Islam Amerika telah bergabung dengan organisasi-organisasi Muslim nasional Amerika lainnya untuk memboikot perayaan Idul Fitri Gedung Putih malam ini, karena tanggapan yang meningkat dan mengecewakan dari pemerintahan Biden terhadap pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah Israel terhadap warga Palestina di Gaza, dan Yerusalem Timur," kata McCaw.

Dimulai oleh Presiden Bill Clinton pada tahun 1996, presiden-presiden Amerika telah menyelenggarakan buka puasa Ramadhan di Gedung Putih. Tahun ini, Presiden Joe Biden dan ibu negara Jill Biden mengadakan perayaan Idul Fitri secara virtual, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Kamis (20/5/2021).

Ibu Negara Jill Biden memberikan sambutannya dalam acara itu. "Kami dapat melihat semangat hari ini dalam diri jutaan Muslim Amerika yang membuat negara kita lebih kuat setiap hari, termasuk begitu banyak pekerja garis depan yang berani," tukasnya.

Presiden Biden mengakui bahwa konflik Israel-Palestina sangat membebani umat Islam di seluruh dunia. "Pemerintahan saya akan terus melibatkan warga Palestina dan Israel serta mitra-mitra regional lainnya untuk bekerja menuju ketenangan yang berkelanjutan," ujar Biden.

Pada hari Sabtu, ribuan orang berunjuk rasa di kota-kota besar Amerika, termasuk Washington, New York dan Boston, menuntut pemerintahan Biden berbuat lebih banyak untuk mengatasi pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah Israel terhadap warga Palestina.

Seham Escheick adalah warga Amerika keturunan Palestina. "Kami lelah dengan pembunuhan orang yang tidak bersalah. Kami lelah dengan pendudukan."

 

2 dari 2 halaman

Isu Palestina

Dengan alasan membela diri, Duta Besar Israel untuk PBB Gilad Erdan, yang berbicara di depan Dewan Keamanan PBB hari Minggu, mengatakan konflik itu "direncanakan" oleh Hamas.

"Ini bukan pertama kalinya Hamas tanpa pandang bulu menembakkan rudal mematikan ke warga sipil Israel sementara mereka bersembunyi di balik warga sipil Palestina," kata Erdan.

Selama akhir pekan, Biden berbicara dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Pemimpin Otoritas Palestina Mahmoud Abbas. Pemerintah Amerika juga telah mengirimkan utusan ke wilayah tersebut.

Merissa Khurma adalah direktur Program Timur Tengah di Wilson Center, sebuah lembaga wadah pemikir di Washington, D.C. "Langkah paling cepat yang harus diambil oleh Amerika, yang tampaknya mereka ambil, adalah memainkan peran dalam mengurangi dan memastikan bahwa kita tidak melihat kekerasan saat ini, berkobar atau lepas kendali," ujarnya.

Sebelum terjadi kekerasan, Biden hanya melakukan sedikit upaya untuk memulai kembali negosiasi perdamaian yang macet. Sekarang dia berada di bawah tekanan untuk melakukannya. Tekanan itu datang tidak hanya dari Muslim Amerika, tetapi juga dari pada anggota kongres di sayap progresif Partai Demokrat.