Sukses

Mufti Agung Dubai: Dengarkan Lagu Kurangi Pahala Puasa Ramadhan

Mendengarkan lagu disebut berpotensi mengurangi pahala puasa Ramadhan.

Liputan6.com, Dubai - Mendengarkan musik dinilai bisa mengurangi pahala puasa Ramadhan. Pandangan terkait lagu tersebut disampaikan Abdel Basset Ahmed Hamdallah, Mufti Agung di Departemen Urusan Aktivitas Islami dan Amal di Dubai, Uni Emirat Arab. 

Ketika ditanya soal mengutuk, berteriak, berbohong, dan mendengarkan musik, Hamdallah berkata pahala orang yang berpuasa bisa berkurang. 

"Hal-hal tersebut tidak membatalkan puasa , tetapi melakukan perbuatan tersebut bisa membatasi pahala seseorang dan ampunan Tuhan," ujar Hamdallah seperti dikutip Gulf News, Jumat (8/4/2022).

Hamdallah mengingatkan bahwa puasa tidak hanya sekadar menghindari makan dan minum. "Tetapi seseorang harus menjaga perilaku baik selama Ramadhan." 

Lebih lanjut, Hamdallah menjelaskan bahwa injeksi insulin tidak membatalkan puasa bagi yang mengidap diabetes. Bila kondisi seseorang butuh pertolongan medis yang cepat, maka orang itu tidak perlu untuk puasa. 

Akan tetapi, apabila kondisinya seperti pusing atau penyakit-penyakit lain yang pengobatannya bisa ditunda, maka puasanya diminta dilanjutkan hingga waktu berbuka puasa. 

Hamdallah mengingatkan bahwa ada aktivitas yang berpotensi membatalkan puasa seperti menelan air ketika gosok gigi karena kebanyakan memakai air dan berenang.

Berenang pada dasarnya tidak membatalkan puasa, tetapi jika airnya masuk ke tenggorokan atau hidung, maka bisa memicu batalnya puasa.

"Air apapun yang masuk tenggorokan akan membatalkan puasa," ujarnya.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Hukum Telat Bayar Utang Puasa hingga Ramadhan Tiba

Sebelumnya sempat juga dibahas mengenai mengganti puasa.

Allah SWT mewajibkan puasa Ramadhan bagi setiap orang yang memenuhi syarat. Mereka yang terlanjur membatalkan puasanya di bulan Ramadhan karena sakit dan lain hal, harus mengganti di bulan yang lain. 

Begitu pun dengan orang yang membatalkan puasanya demi orang lain seperti ibu menyusui atau ibu hamil dan orang yang menunda qadha puasanya karena kelalaian hingga Ramadhan tahun berikutnya tiba mendapat beban tambahan.

Seperti dikutip NU, kondisi keduanya itu diwajibkan membayar fidyah di samping mengqadha puasa yang pernah ditinggalkannya.

Artinya, “(Kedua [yang wajib qadha dan fidyah] adalah ketiadaan puasa dengan menunda qadha) puasa Ramadhan (padahal memiliki kesempatan hingga Ramadhan berikutnya tiba) didasarkan pada hadits, ‘Siapa saja mengalami Ramadhan, lalu tidak berpuasa karena sakit, kemudian sehat kembali dan belum mengqadhanya hingga Ramadhan selanjutnya tiba, maka ia harus menunaikan puasa Ramadhan yang sedang dijalaninya, setelah itu mengqadha utang puasanya dan memberikan makan kepada seorang miskin satu hari yang ditinggalkan sebagai kaffarah,’ (HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi).

Di luar kategori ‘memiliki kesempatan’ adalah orang yang senantiasa bersafari (seperti pelaut), orang sakit hingga Ramadhan berikutnya tiba, orang yang menunda karena lupa, atau orang yang tidak tahu keharaman penundaan qadha.

 

3 dari 4 halaman

Tanggungan

Tetapi kalau ia hidup membaur dengan ulama karena samarnya masalah itu tanpa fidyah, maka ketidaktahuannya atas keharaman penundaan qadha bukan termasuk uzur.

Alasan seperti ini tak bisa diterima; sama halnya dengan orang yang mengetahui keharaman berdehem (saat shalat), tetapi tidak tahu batal shalat karenanya.

Beban fidyah itu terus muncul seiring pergantian tahun dan tetap menjadi tanggungan orang yang berutang (sebelum dilunasi),” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Kasyifatus Saja ala Safinatin Naja, Surabaya, Maktabah Ahmad bin Sa‘ad bin Nabhan, tanpa tahun, halaman 114).

Dari keterangan Syekh Nawawi Banten ini, kita dapat melihat apakah ketidaksempatan qadha puasa hingga Ramadhan berikutnya tiba disebabkan karena sakit, lupa, atau memang kelalaian menunda-tunda.

Kalau disebabkan karena kelalaian, tentu yang bersangkutan wajib mengqadha dan juga membayar fidyah sebesar satu mud untuk satu hari utang puasanya.

Sebagaimana diketahui, satu mud setara dengan 543 gram menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Sementara menurut Hanafiyah, satu mud seukuran dengan 815,39 gram bahan makanan pokok seperti beras dan gandum. 

4 dari 4 halaman

Bagi Lansia, Hindari Makanan Ini Saat Puasa

Seperti disampaikan Dokter Spesialis Gizi Klinik RS Pondok Indah, Juwalita Surapsari, lansia dengan kondisi tertentu tidak memungkinkan untuk berpuasa.

"Lansia yang sebaiknya tidak berpuasa: memiliki penyakit diabetes melitus yang tidak terkontrol, atau penyakit diabetes melitus dengan komplikasi kronik seperti gangguan ginjal, penderita kanker yang sedang dalam pengobatan, mengalami penurunan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya," kata Juwalita pada Liputan6.com melalui pesan elektronik.

Karenanya, Juwalita menyarankan lansia dengan riwayat penyakit kronis untuk berkonsultasi lebih dulu dengan dokter yang merawat guna melihat kemampuannya berpuasa. 

Umumnya lansia mengalami perlambatan pengosongan lambung. Sehingga sebaiknya menghindari makanan berminyak.

"Pada lansia secara fisiologis terjadi perlambatan pengosongan lambung, maka sebaiknya hindari makanan yang terlalu berminyak/berlemak," kata Juwalita.

Makanan berminyak disebut hanya akan semakin menyebabkan pengosongan lambung melambat dan menimbulkan keluhan begah atau sebah.

"Makanan berminyak contohnya makanan bersantan, bumbu kacang, gorengan, rendang, opor ayam yang sebaiknya tidak dikonsumsi pada saat sahur. Hindari pula makanan yang mengandung tinggi garam karena akan menyebabkan rasa haus berlebihan di siang hari," pungkasnya.