Liputan6.com, Jakarta Saat menjadi Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet pada 1966, Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso pernah memiliki seorang sekretaris yang sangat loyal dan mengabdi. Namanya Soedartho Martopoespito atau akrab disapa Dharto.
Dharto mulai mengenal Hoegeng sebagai sosok polisi yang sederhana dan dikenal tidak mau neko-neko. Berbagai fasilitas dan dan hak-hak Hoegeng sebagai pejabat tinggi justru sebagian besar tak digunakan olehnya bahkan sebagian diperuntukkan bagi anak buahnya meskipun dia hidup dalam ekonomi yang pas-pasan.
Dilansir dari Hoegeng, Polisi dan Menteri Teladan, disebutkan, setelah diangkat sebagai sekretaris menteri atau sekretaris presidium kabinet, Dharto melapor kepada mantan atasannya, Kepala Biro Satu Bidang Administrasi dan Organisasi Setneg, Sarojo Hanggoro. Dharto ingin mengetahui apa saja yang menjadi hak Hoegeng sebagai menteri.
Advertisement
Menurut Hanggoro, Hoegeng berhak memperoleh pengawalan pribadi baik di kantor maupun di rumah kediamannya. Selain juga uang operasional beras satu karung atau 100 kg gula pasir 50 kg dan minyak goreng 1 kaleng.
Baca Juga
"Kalau uang operasional, Dharto bisa mewakilinya untuk menandatangani di bagian keuangan Setneg jika Hoegeng tak bisa mengambilnya.
"Dharto bisa menandatanganinya dan diberikan kepada Pak Hoegeng. Jadi tidak perlu Hoegeng yang harus mengambilnya," kata Hanggoro yang dikutip dalam tulisan tersebut.
Namun untuk mengambil jatah bahan pokok setiap bulannya, Dharto harus mengambilnya sendiri di Yayasan Soedirman. Dharto harus menemui Roto Suwarno petugas di yayasan yang akan mengurusnya.
Yayasan Soedirman merupakan yayasan yang didirikan pemerintah untuk mengelola kesejahteraan para menteri dan pejabat tinggi lainnya.
Â
Tanpa Pengawalan
Dharto pun melaporkan hal itu kepada Hoegeng, namun dia justru tak mau memanfaatkan fasilitas negara tersebut. Hoegeng menolak secara halus.
"Mas Dharto sampaikan salam hormat dan rasa terima kasih saya kepada Pak Hanggoro karena saya tidak memerlukan pengawal pribadi di kantor maupun di rumah" kata Hoegeng.
Menurut Hoegeng, dirinya tetap bisa bekerja dengan baik meskipun tanpa pengawalan. "Hidup Hoegeng berserah saja, tak perlu dikawal-kawal. Kalau sudah mau mati, ya mati saja. Tidak usah pakai pengawal atau penjaga di rumah," tambah Hoegeng meyakinkan.
Terhadap tawaran pengawalan didepan rumah yang dikenal dengan gardu monyet, Hoegeng juga menampik. Nanti teman-teman Hoegeng tidak ada yang berani berkunjung ke rumah karena harus tahu terlebih dulu ke petugas penjaga. "Jadi tidak usah Mas Dharto, biar saja bebas," tambahnya.
Soal uang operasional yang menjadi haknya, Hoegeng menerimanya meskipun sebelumnya sempat mempertanyakan pengambilan uang itu dilakukan oleh Dharto dan diserahkan kepada Hoegeng.
Â
Â
Advertisement
Tak Manfaatkan Fasilitas Negara
Hoegeng sebelumnya juga tidak memanfaatkan sebagian fasilitas negara sejak dipercaya menjadi kepala jawatan Imigrasi maupun Menteri Iuran Negara. Hal itu diketahui Dharto lewat sopirnya, Aco, yang sudah lama bekerja dengan Hoegeng dan kebetulan sering mengobrol di kala senggang.
Bahkan saat ditunjuk menjadi Wakil Menteri atau Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak), Hoegeng juga tetap menolak pengawalan tersebut.
Hanya ada dua ajudan dinas yang berganti bertugas saat hari kerja dan staf ajudan yang membantunya sehari-hari. Hoegeng tak mengizinkan mereka memakai pakaian dinas kecuali ajudan dinas yang memang mendampinginya sehari-hari. Staf ajudan juga dimintanya hanya berpakaian preman.
Saat mengurus jatah beras, gula pasir, dan minyak goreng di Yayasan Soedirman, Dharto bertemu Roto Suwarno petugas yayasan yang sebelumnya juga sudah dikenalnya. Karena Roto tahu Hoegeng menolak fasilitas negara lainnya. Kecuali jatah beras gula dan minyak goreng. Roto pun menambah jatah beras Hoegeng untuk kesejahteraan anak buahnya. Namun tambahan satu karung itu diberikan untuk anak buahnya.
"Mas Dharto duwe staf Piro lan supire, Pak Hoegeng Piro? (Mas Dharto punya berapa dan sopirnya pak Hoegeng berapa)," tanya Roto. Dharto kemudian menjelaskan selain dia, ada seorang staf serta dua sopir. "Jadi seluruhnya ada 4 orang," ujar Dharto.
"Tapi jangan bilang Pak Hoegeng ya kalau jatahnya tanya ditambah," pinta Roto.
Hoegeng memang mempunyai dua sopir sejak menjadi kepala jawatan Imigrasi dan Menteri Iuran Negara. Satu orang yakni Aco untuk urusan dinasnya. Dan yang satunya sopir untuk urusan rumah tangganya.
Dharto bersama stafnya pun sepakat soal pembagian beras. Dharto dan Soemardjo akan mendapatkan masing-masing 30 kg dan 2 orang sopir Hoegeng mendapatkan masing-masing 20 kg. Sedangkan untuk jatah minyak goreng dan gula, Dharto beserta stafnya tidak mendapatkan.
Tak hanya Dharto dan stafnya yang merasa senang dengan jatah beras, tetapi juga sopir Hoegeng. "Sejak ikut Pak Hoegeng, kami tidak pernah dapat jatah beras seperti ini," ujar Aco yang seumur umur baru mendapat beras gratis sebanyak 20 kg dan berkualitas bagus.
Untuk menjaga pesan Roto, mereka juga sepakat untuk tidak memberitahukan hal itu kepada Hoegeng kalau jatah berasnya ditambah untuk kesejahteraan mereka. Jika Hoegeng adalah tipe pejabat yang meminta ini itu tentu mereka tak akan merasakan tambahan beras gratis berkualitas.
Sebagai PNS, Dharto sebenarnya mendapat jatah beras 10 kg ditambah 10 kg untuk istri dan masing-masing jatah anak sesuai jumlahnya. Namun kualitasnya tentu berbeda dengan jatah beras yang diterima menteri. Beras untuk pegawai biasanya berwarna kuning baunya apek dan rasanya pera. Berbeda dengan jatah beras untuk para pejabat yang biasanya berwarna putih wangi Dan rasanya juga pulen. Acapkali berasnya penuh kutu.
Bahkan suatu kali pernah mendapatkan beras bulgur. Namun istri Hoegeng, Meri, pernah mengajarinya memasak beras dengan daun pandan wangi agar bau apeknya hilang.
Saat menjadi kepala Jawatan Imigrasi dan Menteri Iuran Negara, Hoegeng memang tetap digaji oleh kesatuannya sehingga dia tak mau lagi memanfaatkan fasilitas apapun terkait jabatan barunya.
Â
Jual Sepatu Dinas
Suatu saat setelah mengantarkan Hoegeng ke kantor, Aco, supir Hoegeng, terlihat murung. Dharto kemudian menanyakan apa yang terjadi. Ternyata sopir Hoegeng itu sedih dan bingung karena belum berhasil menjalankan amanat majikan.
Amanatnya adalah Aco diminta tolong Hoegeng untuk menjualkan sepatunya ke pasar loak di Pasar Rumput Manggarai. Namun sampai siang itu, sepatunya tidak laku-laku. Selain ukurannya terlalu besar, sepatu yang dijual juga tidak bermerek terkenal. Pedagang loak tentu ingin membeli sesuatu barang bekas apapun jenisnya asalkan bisa segera dijual kembali dengan harga yang mahal sehingga menguntungkannya.
Dharto pun terdorong untuk membantu Hoegeng. Setelah berbicara dengan Aco, Dharto mengambil inisiatif untuk ikut membantu menjualkan sepatunya tanpa sepengetahuan Hoegeng.
Dharto kemudian mencoba menghubungi Sekretaris Menteri Negara Komisaris Besar Polisi Boegie Soepeno, Ajun Komisaris Besar Polisi Totok Soesilo, seorang perwira polisi yang diperbantukan sebagai sekretaris menteri. Kebetulan Dharto, mengenalnya dengan dekat sebab suatu kali bertemu Totok yang memiliki perusahaan pengolah ulang karet dengan cara penggilingan di Medan pernah berpesan, jika ada kesulitan berbicara saja padanya mungkin dia bisa membantunya.
Karena ingin menolong, Totok pun kemudian membeli sepatu Hoegeng dengan harga yang cukup mahal, seharga sepatu baru bermerek. Kala itu, harga sepatunya yang dibeli sekitar Rp 1.200. Nilai itu sebesar satu kali gaji Dharto dalam sebulan.
Namun totok mewanti-wanti agar Dharto tidak usah bilang pada Hoegeng jika dia membelinya. Selain suka menolong, Totok juga ingin membantu Dharto dan merasa satu korps dengan Hoegeng yang merupakan seniornya di kepolisian.
Dengan membawa uang hasil penjualan sepatunya, Dharto pun berpesan kepada Aco agar tak usah memberitahukan siapa yang membantu menjualkan sepatunya. Pokoknya, kata Dharto kepada aco, ada seorang yang membeli sepatunya tetapi bukan Dharto. Demikian pesannya kepada sang sopir.
Dharto sama sekali tidak menyebut identitas si pembeli sepatu itu.
Besoknya Hoegeng datang ke kantor dan langsung memeluk Dharto sambil menyampaikan terima kasih. "Terima kasih ya Mas Dharto, Ampera, ampera," ujar Hoegeng.
Ampera merupakan singkatan dari amanat penderitaan rakyat. Sebuah slogan politik yang pada waktu itu kerap dipakai untuk memperjuangkan nasib rakyat yang hidupnya susah.
Cerita ini baru disampaikan Dharto pada keluarga Hoegeng pada tahun 2013 setelah Hoegeng meninggal dunia.
Kesederhanaan untuk menerima apa adanya dengan ucapan syukur menjadi kontradiktif dengan gaya hidup pejabat negara saat ini. Meski telah diguyur beragam fasilitas negara, para pejabat masih tidak puas. Acap kali mereka tak malu menggarong uang negara dengan beragam modusnya.
Bahkan yang lebih memprihatinkan, di tengah kesulitan masyarakat akibat pandemi covid-19, DPR menyediakan pagu anggaran Rp 48,7 miliar untuk pengadaan gorden di 505 unit rumah jabatan anggota DPR di Kalibata, Jakarta Selatann.
Tiap satu rumah, akan menyedot anggaran sekitar Rp 90 juta jika dihitung dengan pajak. Angka itu untuk satu set gorden. Menurut Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar, pengadaan gorden itu sudah lama diusulkan tetapi baru bisa dianggarkan saat ini sejak penggantian gorden terakhir dilakukan tahun 2009.
Â
Advertisement