Sukses

Hukum Puasa di Hari Jumat dalam Islam, Boleh atau Tidak?

Hukum puasa di hari Jumat boleh dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.

Liputan6.com, Jakarta Apa hukum puasa di hari Jumat dalam Islam? Memahami hukum puasa di hari Jumat boleh asalkan sudah berpuasa satu hari sebelum atau akan berpuasa satu hari sesudahnya.

Diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian puasa di hari Jumat kecuali melakukan puasa sebelum atau sesudahnya,” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Selain hukum puasa di hari Jumat dalam Islam diperbolehkan dengan ketentuan tersebut, masih ada dua pendapat ulama yang menghukumi puasa di hari Jumat adalah makruh dan mandub.

Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang hukum puasa di hari Jumat dalam Islam, Selasa (26/4/2022).

2 dari 3 halaman

Hukum Puasa di Hari Jumat dalam Islam

Memahami hukum puasa di hari Jumat apakah sama dengan hari-hari lainnya ini penting. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW mengatakan hukum puasa di hari Jumat tidak diperkenankan kecuali sudah berpuasa satu hari sebelum atau akan berpuasa satu hari sesudahnya.

Diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian puasa di hari Jumat kecuali melakukan puasa sebelum atau sesudahnya,” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Apa maksud hukum puasa di hari Jumat dalam hadis tersebut?

Ada dua makna hukum puasa di hari Jumat yang sempat menjadi perdebatan para ulama. Hal ini mengenai hukum puasa di hari Jumat dijelaskan secara gamblang dalam buku berjudul Hukum Fiqih Seputar Hari Jumat oleh Syafri Muhammad Noor.

1. Hukum Puasa di Hari Jumat adalah Diperbolehkan

Memahami hukum puasa di hari Jumat adalah diperbolehkan asal seseorang tersebut sudah berpuasa diikuti pada hari sebelum atau sesudahnya. Dijelaskan, para ulama tidak melarang puasa di hari Jumat yang demikian.

2. Hukum Puasa di Hari Jumat adalah Makruh dan Mandub

Memahami hukum puasa di hari Jumat adalah bisa makruh dan mandub. Mengapa bisa demikian? Dijelaskan hukum puasa di hari Jumat dihukumi makruh oleh mayoritas para ulama, apabila puasa tidak diikuti di hari sebelum atau setelahnya.

"Pendapat yang paling shahih menurut madzhab kami dan ini termasuk pendapat jumhur ulama bahwa puasa hari Jumat makruh kalau tidak puasa sebelum dan sesudahnya. Sebagian pendapat mengatakan tidak makruh kecuali bagi orang yang terhalang ibadahnya lantaran puasa dan tubuhnya lemah," dijelaskan Imam An-Nawawi dalam kitabnya.

Sementara hukum puasa di hari Jumat dihukumi mandub oleh ulama Hanafiyah, apabila puasa tidak diikuti di hari sebelum atau setelahnya. Hukum puasa di hari Jumat adalah mandub yang artinya bila dikerjakan akan berpahala dan bila tidak dikerjakan akan mendapatkan siksa.

"Hukumnya mandub seperti berpuasa tiga hari setiap pertengahan bulan, dan puasa di hari Jumat meskipun menyendiri (tanpa diikuti hari sebelumnya atau setelahnya) dan puasa hari arafah meskipun untuk orang yang berhaji selama tidak membuatnya menjadi lemah," dijelaskan Imam al-Hashkafi dalam kitabnya.

Hukum yang saja dijelaskan dalam buku berjudul As-Syarh al-Kabir Li Ad-Dardiry Wa Hasyiyatu Ad-Dasuqi oleh Imam Ad-Dardiry, dijelaskan hukum puasa di hari Jumat apabila tidak diikuti di hari sebelum atau setelahnya adalah mandub.

3 dari 3 halaman

Hukum Puasa Ramadhan dalam Islam

Hukum puasa Ramadhan bagi umat Islam adalah wajib sesuai surat al-Baqarah ayat 183 sebagaimana tafsir dari Kementerian Agama RI. Dijelaskan hukum puasa Ramadhan bagi umat Islam adalah wajib dilakukan untuk mendidik jiwa, mengendalikan syahwat, dan menyadarkan bahwa manusia memiliki kelebihan dibandingkan hewan.

"Orang yang beriman akan patuh melaksanakan perintah berpuasa dengan sepenuh hari, karena ia merasa kebutuhan jasmaniah dan rohaniah adalah dua unsur pokok bagi kehidupan manusia yang harus dikembangkan dengan bermacam-macam latihan, agar dapat dimanfaatkan untuk ketenteraman hidup yang bahagia di dunia dan akhirat," sesuai tafsir Kementerian Agama RI.

Hal ini dijelaskan pula dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Bahwa hukum puasa Ramadhan bagi umat Islam adalah wajib atau diwajibkan.

"Islam itu dibangun di atas lima dasar, yaitu persaksian (syahadat) bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan salat, menunaikan zakat, haji (ke Baitullah) dan puasa pada Ramadhan." (HR. Bukhari dan Muslim)

Ini penjelasan lengkap yang Liputan6.com lansir dari berbagai sumber tentang golongan orang yang tidak wajib atau boleh meninggalkan puasa Ramadhan:

1. Orang yang Sakit

Golongan orang yang boleh meninggalkan puasa adalah orang yang sedang sakit. Orang sakit yang diizinkan tidak berpuasa adalah orang sakit yang apabila menjalankan puasa, dapat memperparah kondisi penyakitnya tersebut. Walaupun tidak berpuasa, orang tersebut tetap harus membayar puasanya.

2. Musafir

Orang yang sedang dalam perjalanan jauh atau musafir juga termasuk golongan orang yang boleh meninggalkan puasa Ramadhan. Apabila seseorang yang melakukan perjalanan jauh saat berpuasa diizinkan untuk tidak berpuasa apabila kondisinya berat dan menyulitkan. Namun, orang tersebut tetap wajib mengganti puasanya di kemudian hari.

Nabi Muhammad SAW bersabda:

"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, "Siapa ini?" Orang-orang pun mengatakan, "Ini adalah orang yang sedang berpuasa." Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Bukanlah suatu yang baik seseorang berpuasa ketika dia bersafar." (HR. Muslim)

3. Orang Lanjut Usia (Lansia)

Orang tua atau lansia yang tidak mampu menjalankan puasa diberi kelonggaran untuk tidak berpuasa. Sebagai gantinya, orang tersebut diwajibkan untuk membayar fidyah, yaitu dengan memberi makan fakir miskin setiap kali orang tersebut tidak berpuasa.

Adapun ukuran satu fidyah adalah setengah sho', kurma atau gandum atau beras, yaitu sebesar 1,5 kg beras. Orang tua sebagai golongan orang yang boleh meninggalkan puasa tentu sudah banyak diketahui.

4. Wanita Hamil dan Menyusui

Nabi bersabda dalam hadis riwayat Ahmad, "Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla menghilangkan pada musafir separuh salat. Allah pun menghilangkan puasa pada musafir, wanita hamil dan wanita menyusui."

Seperti yang terdapat dalam hadis tersebut, golongan orang yang boleh meninggalkan puasa selanjutnya adalah wanita hamil dan wanita menyusui. Apabila ibu yang sedang mengandung dan menyusui tidak mampu berpuasa, Allah SWT meringankan untuk tidak berpuasa dan menggantinya di kemudian hari.

5. Wanita yang Sedang Haid

Berbeda dengan golongan orang yang boleh meninggalkan puasa, wanita dalam keadaan haid dan nifas bahkan dilarang untuk berpuasa dan melakukan ibadah lainnya.

Nabi bersabda: "Bukankah ketika haid, wanita itu tidak salat dan juga tidak puasa. Inilah kekurangan agamanya." (HR. Bukhari)

Wanita yang haid dan nifas dilarang berpuasa selama masa haid dan nifas tersebut. Namun, mereka tetap harus mengganti puasa di kemudian hari.