Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah berencana menaikkan harga BBM bersubsidi jenis pertalite dan biosolar yang kini paling banyak dikonsumsi masyarakat. Rencana kenaikan harga dipicu tingginya harga minyak dunia yang membuat membuat subsidi pemerintah makin besar.
Bahkan, kini sudah muncul spekulasi-spekulasi harga terbaru pertalite, yang merupakan BBM sejuta umat. Kabarnya, harga pertalite bakal naik setidaknya 30 persen, atau kisaran Rp10 ribu per liter.
Advertisement
Baca Juga
Meski baru rencana, kenaikan BBM bersubsidi itu menuai pro dan kontra. Bagian pro mempertimbangkan keuangan negara yang akan terlalu berat menanggung subsidi energi. Selain itu, subsidi BBM seperti yang kini dilakukan juga tak tepat sasaran.
Sementara, kelompok kontra menganggap bahwa BBM subsidi adalah tanggung jawab negara untuk melindungi ekonomi secara keseluruhan.
Setelah bergulir di pemerintah, pertamina dan DPR, sejumlah pihak juga mulai angkat suara. Salah satunya Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU).
Saksikan Video Pilihan Ini:
BBM Subsidi Tak Tepat Sasaran
Pengurus Lembaga Perekonomian NU Amrullah Hakim, menilai konsumsi BBM kian meningkat lantaran kian terbukanya kembali mobilitas masyarakat. Di sisi lain, penyaluran BBM subsidi juga dianggap tidak tepat sasaran.
“Subsidi kita terlalu umum, sasarannya menjadi tidak tepat,” ungkap Amrullah kepada NU Online, dikutip pada Kamis (25/8/2022).
Ia menilai, pemerintah seharusnya bisa membatasi konsumsi BBM, utamanya yang memakan subsidi besar seperti pertalite. Skema yang bisa digunakan, yakni dengan mengatur pemakaian pertalite hanya untuk kendaraan motor dan mobil dengan mesin berkubikasi kecil.
“Kita harus memberhentikan mobil di atas 1500cc memakai Pertamina. Juga pembatasan pembelian pertalite, misal hanya khusus untuk motor, mobil plat kuning, dan mobil di bawah 1.200 cc,” paparnya.
Lebih lanjut, ia juga mendorong pemerintah untuk membenahi sistem transportasi publik. Perbaikan transportasi umum dinilainya sebagai salah satu strategi ampuh terkait pengendalian konsumsi BBM. Tujuannya, kata dia, untuk menarik minat masyarakat menggunakan transportasi umum daripada transportasi pribadi sehingga mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
“Mari kita pindahkan cara orang bergerak menjadi ke transportasi publik,” terang Praktisi Minyak dan Gas (Migas) itu.
Menurut dia, penghematan atau efisiensi penggunaan energi bisa dimulai dari diri sendiri. Hal ini juga akan mendorong penghematan subsidi.
“Sebagai rakyat juga harus irit dan efisien. Contoh kecil, kita kadang di warung, mengambil tissue banyak sekali. Padahal sebenarnya satu lembar tissue saja cukup,” tuturnya.
“Di rumah juga begitu. Sebaiknya lampu menyala hanya pada saat yang diperlukan. Tidak seluruh ruangan menyala lampunya. Jika sudah Subuh, dimatikan saja. Pergi jika dekat, jangan naik motor, naik sepeda atau jalan kaki saja. Jauh lebih hemat,” ucap dia.
Tim Rembulan
Advertisement