Sukses

Santri Gontor Meninggal Diduga Dianiaya, Ketum PBNU: Pesantren Haramkan Tindak Kekerasan

PBNU menyerukan agar pesantren meningkatkan pengawasan untuk mencegah kembali terjadinya kasus serupa di kemudian hari

Liputan6.com, Jakarta - Pondok Pesantren kembali menuai perhatian publik. Sayangnya, kali ini bukan kabar baik, melainkan kabar buruk.

Seorang santri asal Palembang, Sumatera Selatan, meninggal dunia diduga akibat penganiayaan di Pondok Pesantren Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.

Menanggapi peristiwa ini, Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menilai kejadian tersebut sebagai kecelakaan pengawas.

Ia juga menegaskan bahwa insiden maut itu merupakan alarm peringatan bagi lembaga pendidikan untuk dapat meningkatkan pengawasan di segala bentuk kegiatan pembelajaran.

“Kami menyerukan kepada pesantren, khususnya di lingkungan NU, untuk lebih memperhatikan lagi masalah sistem pengawasan santri-santri,” katanya di The Ritz Carlton Mega Kuningan, Jakarta, dikutip dari laman NU, Kamis (8/9/2022).

Ulama yang akrab disapa Gus Yahya itu mengaku sangat prihatin dan mendorong pihak pesantren terkait untuk sepenuhnya mengusut kasus kekerasan di pesantren tersebut sampai tuntas.

“Kita mendukung Pesantren Gontor sepenuhnya untuk mengatasi ini dengan baik. Atas nama PBNU, kami menyampaikan belasungkawa,” ujar Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

2 dari 2 halaman

Haram Praktik Kekerasan Sebagai Bentuk Hukuman

Ia berharap, peristiwa itu bisa menjadi pembelajaran bersama terkait pengelolaan sistem pengawasan pesantren untuk menghindari potensi terulangnya kejadian serupa.

“Mudah mudahan di masa yang akan datang dikelola dengan baik dan bisa dicegah hal ini terulang,” harap kiai kelahiran 16 Februari 1966 itu.

Menurutnya, pesantren mengharamkan tindak kekerasan sebagai bentuk hukuman. Umumnya, sanksi yang diterapkan justru mengajarkan pelanggar untuk lebih disiplin dan tidak mengulangi kesalahan serupa.

“Biasanya, sanksi itu kerja bakti atau membuat tugas belajar yang dilipatgandakan, tapi tidak dengan kekerasan. Jika sampai ada seperti itu, secara mutlak harus kita tolak, jangan sampai ada itu,” tutur Gus Yahya.

Penjatuhan sanksi dalam bentuk kekerasan sangat tidak relevan dengan perkembangan saat ini. “Jangan sampai santri itu disanksi dengan kekerasan. Ini zamannya sudah berbeda, dan jangan disamakan dengan legenda seperti kiai yang memukul santri lalu santrinya pintar. Tidak begitu,” pungkas Gus Yahya.