Sukses

Tatkala Khalifah Umar bin Khattab Menolak Salat di Gereja Yerusalem

Patriarch Sophronius menawarkan kepada Khalifah Umar bin Khattab untuk menunaikan shalat di Gereja Sepulchre.Namun, Khalifah Umar menolaknya dengan halus. Dia khawatir gereja itu akan dirampas dan diubah jadi masjid

Liputan6.com, Jakarta - Kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab salah satunya ditandai dengan makin meluasnya wilayah kekhalifahan. Itu termasuk wilayah Yerusalem.

Syahdan, pada 636 atau 637 Masehi dalam literatur lain, pasukan Islam berhasil merebut Palestina dari Heraklitus, Raja imperium besar Romawi Timur. Lazimnya, perjanjian serah terima cukup dilakukan oleh para panglimanya.

Namun, Umar rupanya melihat bahwa Yerusalem adalah kota yang penting, karena di situ ada Masjidil Aqsha. Salah satu tempat suci yang disebut dalam Al-Qur'an.

Selain riwayatnya sebagai tempat yang disinggahi Nabi Muhammad dalam momen Isra Mi'raj, Masjid Al Aqsa juga pernah menjadi kiblat umat Islam, sebelum beralih ke Ka'bah.

Melihat nilai strategis itu, Panglima Romawi dan Patriarch (Uskup Agung) Sophronius meminta agar perjanjian penyerahan Kota Yerusalem itu ditandatangani langsung oleh Khalifah Umar bin Khattab. Awalnya, permintaan tersebut ditolak oleh Panglima Abu Ubaidillah bin Jarrah dan Khalid bin Walid.

Namun, dengan kebijaksanaannya, Khalifah Umar bin Khattab menyetujui permintaan tersebut. Dia juga melihat Yerusalem sebagai kota yang penting.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Umar Takut Gereja Dirampas

Kebetulan, setelah selesai penandatanganan perjanjian penyerahan Kota Yerusalem, tiba waktu salat dzuhur. Patriarch Sophronius menawarkan kepada Khalifah Umar bin Khattab untuk menunaikan shalat di Gereja Sepulchre.

Namun, Khalifah Umar menolaknya dengan halus. Dia khawatir gereja itu akan dirampas dan diubah jadi masjid, jika umat Islam mengetahui pemimpinnya salat di tempat tersebut.

 “Kalau saya shalat di situ, dikhawatirkan di kemudian hari umat Islam merampas gereja Tuan untuk dijadikan masjid,” tulis KH Saifuddin Zuhri, dalam memoarnya Berangkat dari Pesantren (2013), dikutip dari laman NU.

Umar kemudian salat di tempat yang selanjutnya didirikan sebuah masjid. Masjid itu didirikan oleh Umar bin Khatab di lokasi Masjid al-Aqsha sekarang. Ketika itu, bangunannya masih sederhana dengan dinding kayu dan atap akar pohon.

 

3 dari 3 halaman

'Kaisar' yang Hidup Sederhana

Seperti diketahui, pada masa kepemimpinan Umar, Umat Islam memperluas wilayah kekuasannnya. Dalam kurun kurang dari satu dasawarsa pasukan Islam mampu menaklukkan negeri-negeri legendaris, meruntuhkan imperium agung Persia, juga mengguncang keberadaan imperium masyhur Bizantium.

Islam pun pada akhirnya memiliki wilayah kekuasaan yang membentang luas mulai dari Cerynecia (Tripoliana), Mesir, Nubia, Levantina atau Mediterania Timur (Syam; sekarang wilayahnya meliputi Syria, Lebanon, Yordania, dan Palestina), Anatolia, hingga Persia.

Sebab itulah, sosok Umar kerap disebut sebagai seorang ‘Kaisar’ yang setara dengan Alexander Agung, Kaisar Macedonia, dan Cyrus The Great, Kaisar Persia, dua emperor besar dunia pada zamannya, yang kebesaran serta kekuasaannya malang melintang di seantero jagat.

Namun, jangan pernah membayangkan jika kehidupan Umar layaknya para Kaisar pada umumnya, sebuah potret kehidupan yang bergelimang duniawi sebagaimana yang diceritakan oleh epik-epik sejarah.

Umar tetap hidup sederhana dan bersahaja, ketika takwa adalah cita-cita utamanya, ketika Allah jauh lebih ia cintai dari segala isi dunia, ketika Rasulullah adalah teladan abadinya, dan ketika kebahagiaan, dan kesejahteraan rakyat banyak adalah impiannya.

Tim Rembulan