Sukses

Bolehkah Akikah untuk Diri Sendiri? Ini Pendapat Imam Mazhab

“Barangsiapa yang dikaruniai anak dan ingin beribadah atas namanya, maka hendaklah ia beribadah (dengan menyembelih binatang akikah).” (HR. Abu Dawud)

Liputan6.com, Jakarta - Akikah lazimnya dilakukan oleh orangtua untuk anaknya. Namun, karena berbagai penyebab, bisa jadi ada anak yang belum akikah, bahkan hingga dia dewasa.

Lantas, bagaimana hukumnya jika seseorang akikah untuk diri sendiri? Namun, sebelum membahas hukum akikah untuk diri sendiri, ada baiknya kita mengetahui pengertian akikah terlebih dahulu.

Mengutip tarjih.id, secara bahasa, akikah adalah membelah dan memotong, sehingga hewan yang disembelih pun juga disebut akikah, karena tenggorokannya dibelah dan dipotong. Selain itu, ada juga yang mengartikannya dengan rambut yang terdapat di kepala bayi yang baru keluar dari perut ibunya (ash-Shan’any, Subulus-Salam, Bab al-Akikah, hlm. 333).

Akikah dalam terminologi syariat adalah hewan yang disembelih untuk anak yang baru dilahirkan sebagai ungkapan syukur kepada Allah dengan niat dan syarat-syarat yang khusus (Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqhus-Sunnah, Bab al-Aqiqah, hlm. 636).

Hukum akikah berdasarkan pendapat rajih (kuat) yang disepakati oleh jumhur ulama adalah sunah muakadah. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW:

[مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْهُ فَلْيَنْسُكْ. [رواه أبو داود والنسائى وأحمد والبيهقي

Artinya: “Barangsiapa yang dikaruniai anak dan ingin beribadah atas namanya, maka hendaklah ia beribadah (dengan menyembelih binatang akikah).” [HR. Abu Dawud no. 2842, an-Nasa’i vol. 7 no. 162, Ahmad vol. 2 no.194, dan al-Baihaqi vol. 9 no. 300]

Sabda Nabi SAW: “Barangsiapa yang dikaruniai anak dan ingin beribadah atas namanya”. Dengan demikian, hukum akikah ada sunah, bukan wajib.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Pelaksanaan Akikah Menurut Imam Mazhab

Adapun tentang pelaksanaannya, akikah disyariatkan pada hari ketujuh dari kelahiran anak, sebagaimana dijelaskan dalam hadis Rasulullah saw:

كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى فِيهِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ[رواه الخمسة عن سمرة بن جندب، وصححه الترمذي

Artinya: “Tiap-tiap anak itu tergadai dengan akikahnya yang disembelih sebagai tebusan pada hari yang ketujuh dan diberi nama pada hari itu serta dicukur kepalanya.” [Hadis diriwayatkan oleh lima ahli hadis dari Samurah bin Jundub, disahihkan oleh at-Tirmidzi]

Memang ada beberapa pendapat tentang kapan waktu pelaksanaan akikah selain hari ketujuh sesudah kelahiran. Paling tidak ada dua pendapat:

Pertama, pendapat yang dikemukakan oleh ulama madzhab Hambali yang mengatakan bahwa pelaksanaan akikah boleh pada hari ke-14, 21 atau seterusnya manakala pada hari ke-7 dari kelahiran anak, orang tuanya tidak mampu mengakikahi. Mereka berhujah dengan hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya:

[الْعَقِيقَةُ تُذْبَحُ لِسَبْعٍ وَلأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَلإِحْدَى وَعِشْرِينَ. [رواه البيهقي

Artinya: “Akikah itu disembelih pada hari ketujuh dan pada hari keempat belas dan pada hari keduapuluh satu.”[HR. al-Baihaqi]

Kedua, pendapat yang dikemukakan ulama madzhab Syafi’i. Menurut mereka akikah tidak akan gugur atau hilang penundaannya sampai akikah itu dilaksanakan, meskipun oleh dirinya sendiri.

Mereka berhujah dengan hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Anas RA yang menyebutkan bahwa Nabi SAW baru melakukan akikah untuk dirinya setelah beliau menjadi Nabi:

[أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ النُّبُوَّةِ. [رواه البيهقي

Artinya: “Bahwasanya Nabi SAW mengakikahkan dirinya setelah beliau menjadi Nabi.” [HR. al-Baihaqi]

Akan tetapi, kedua hadis di atas diperselisihkan keotentikannya oleh para ulama. Hadis al-Baihaqi yang diriwayatkan dari Abdullah bin Buraidah di atas dinilai daif karena dalam sanadnya terdapat Ismail bin Muslim al-Makky yang didaifkan oleh Ahmad, an-­Nasa’i dan Abu Zur’ah.

Demikian juga hadis al-Baihaqi dari Anas ra dinilai daif karena pada sanadnya terdapat seorang yang ber­nama Abdullah bin al-Muharrar yang dinyatakan lemah oleh bebe­rapa ahli hadis antara lain oleh Ahmad, ad-Daruqutni, Ibnu Hibban dan Ibnu Ma’in (lihat buku Tanya Jawab Agama oleh Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, jilid IV halaman 233).

Bahkan an-­Nawawi menyebut hadis ini sebagai hadis batil karena al-Baihaqi meriwayatkan melalui jalan Abdullah bin al-Muharrar dari Qatadah. Al-Baihaqi sendiri menyebut hadis ini sebagai hadis munkar. Oleh karena itu, menurut hemat kami hadis-hadis tersebut tidak perlu diamalkan.

 

3 dari 3 halaman

Rekomendasi Majelis Tarjih

Berdasarkan penjelasan di atas, maka majelis tarjih menyimpulkan bahwa:

Hukum akikah adalah sunnah muakadah dan waktu pelaksanaan akikah adalah hari ketujuh dari kelahiran bayi.

Yang dituntut untuk melaksanakan ibadah akikah adalah orangtua dari bayi yang dilahirkan, sehingga seseorang tidak perlu mengakikahi diri sendiri.

Bahwa akikah disyariatkan pada hari ketujuh dari kelahiran bayi. Akikah terikat dengan waktu kelahiran sang bayi tersebut dan tidak ada tuntutan akikah ketika sudah melebihi 7 hari kelahiran bayi, maupun tatkala seseorang sudah dewasa.

Rekomendasi Majelis Tarjih

Apabila hewan sembelihan akikah dimaksud adalah untuk akikah yang sudah lewat dari 7 hari kelahiran bayi atau untuk mengakikahi orang dewasa, alangkah baiknya jika disarankan untuk dialihkan niatnya sebagai hewan kurban. Sementara ibadah kurban dapat dilaksanakan setiap tahun sekali. 

Namun jika akikah tersebut memang bertepatan dengan waktu penyembelihan kurban, maka tidak mengapa dilaksanakan bersamaan dengan penyembelihan kurban itu.

Perlu diketahui pula, tidak dibenarkan menyatukan niat antara akikah dan kurban, yakni dalam satu hewan sembelihan untuk dua niat, akikah dan kurban sekaligus.

Keduanya memiliki ketentuan-ketentuan yang berbeda satu sama lain, baik tentang waktu, syarat, dan lain-lainnya, juga tidak ada nas al-Qur’an atau hadis yang menyatakan bahwa akikah dan kurban dapat disatukan.

Tim Rembulan