Liputan6.com, Banyumas - Wabah penyakit atau tha'un dan paceklik melanda jazirah Arab pada 18 Hijriyah/639 Masehi. Kala itu, umat Islam dipimpin oleh Khalifah Umar bin Khattab.
Umar harus menghadapi dua bahaya sekaligus. Pandemi penyakit dan bahaya kelaparan.
Saat itu, banyak orang yang meninggal karena penyakit dan juga karena kekurangan makanan. Mengutip laman NU, Ibnu Katsir melaporkan, saat ‘Âmur Ramâdah, paceklik melanda negeri Hijaz selama sembilan bulan. Banyak rakyat mati kelaparan.
Advertisement
Baca Juga
Dinamakan ‘Âmur Ramâdah (secara bahasa berarti tahun kerikil) karena hujan tidak turun dalam waktu yang cukup lama hingga tanah menghitam seperti warna kerikil (kerikil dalam bahasa Arab diartikan ‘ramadah’). Ada pula yang mengatakan karena pada tahun itu angin berembus membawa debu-debu seperti kerikil yang beterbangan.
Hidup sebagai pejabat tertinggi negara tetap membuat Umar ikut berempati dan merasakan apa yang rakyatnya alami ketika itu. Sebelum paceklik Khalifah Umar bin Khattab biasa mengonsumsi susu dan roti. Namun pada tahun susah itu dia hanya memakan roti diolesi cuka dan minyak.
Tak pernah ia makan sampai kenyang. Sampai-sampai badannya kurus dan warna kulitnya menghitam. Semua orang sampai khawatir kesehatan sang khalifah akan memburuk. (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah, 1997: juz X, halaman 68-69).
Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat-nya mencatat, pada masa ‘Âmur Ramâdah Umar sangat khawatir dengan keadaan rakyatnya. Ketika setiap selesai menjadi imam shalat Isya di masjid, ia akan masuk ke rumah dan terus melaksanakan shalat sampai akhir malam.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Umar Patroli
Selesai shalat, ia berpatroli mengelilingi penjuru Madinah. Ibnu Umar berkata:
“Sekali malam aku mendengar Umar memanjatkan doa begini, ‘Ya Allah, jangan kau jadikan masa pemerintahaku sebagai kehancuran bagi umat Muhammad.’” (Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqat al-Kubra, tanpa tahun, juz III, halaman 312).
Ibnu Katsir mengikhbarkan kondisi mencekam saat tahun paceklik ini. Saat Umar berpatroli, ia melihat semua wajah rakyatnya sangat murung tak ada senyum sedikit pun, di rumah-rumah mereka terdiam tidak ada percakapan satu sama lain, begitu pun tidak ada orang yang meminta-minta seperti biasanya. (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah, 1997: juz X, halaman 69).
Suatu malam, Umar seperti biasa berkeliling. Dia mendengar tangisan lirih anak dari sebuah gubuk kecil. Masih ada lampu yang menyala.Lantas, dia mendekati gubuk tersebut.
Umar melihat seorang perempuan tengah memasak panci. Tampak, anak-anak kecil di sekitarnya menunggu masakan itu selesai. Umar pun mulai bertanya jawab dengan perempuan itu.
“Kami datang dari jauh. Aku dan anak-anakku kelaparan. Aku tidak punya apa-apa dan tidak bisa berbuat apa-apa,” terang wanita itu dengan nada sendu. “Lalu, apa yang kau masak di panci ini?” “Itu hanya air mendidih. Agar anak-anak mengira aku sedang memasak makanan. Dengan begitu mereka akan terhibur.”
Beberapa riwayat lain menyebut, perempuan itu merebus batu. Batu yang bergerak di dalam air karena air mendidih membuat anak-anak menunggu masakan siap dihidangkan, sampai mereka lelah dan tertidur.
Wanita itu juga sempat menyumpahi Khalifah Umar bin Khattab, yang dia pikir tak becus mengurusi warganya yang kelaparan. Dalam riwayat lain bahkan si janda itu mendoakan yang jelek-jelek.
Mendengar semua itu, Umar tidak marah. Ia bahikan, merasa sangat malu, sedih, dan tentu merasa sangat berdosa. Ia pun berpamit untuk pergi dan menuju ke sebuah toko untuk membeli banyak sembako (riwayat lain menyebut ia menuju baitul mal).
Advertisement
Kasih Sayang Umar untuk Warganya
Ia memanggulnya menuju kediaman wanita tadi. “Wahai Amirul Mu’minin, turunkan bawaanmu, biar aku saja yang memikulnya,” pinta Zaid.
“Jangan, biar aku saja yang membawanya. Anggap saja aku sedang memikul dosa-dosaku, juga semoga menjadi penghalang dikabulkannya doa wanita itu tadi,” tegas Umar.
Sambil memikul sekarung sembako yang begitu berat menuju rumah wanita janda itu, ia terus menangis karena sangat merasa berdosa. Sesampainya di rumah wanita, Umar memberikan semua sembako itu. “Semoga Allah memberimu balasan terbaik,” kata si wanita.
Tidak hanya sampai di situ. Umar pun ikut memasakkan untuk mereka. Setelah makanan siap, Umar mempersilakan mereka untuk menikmatinya.
“Silakan, sekarang kalian semua bisa makan,” kata Umar, senyumnya melebar melihat wajah-wajah mereka yang tidak lagi murung.
“Ibu, mulai sekarang tidak perlu lagi mendoakan keburukan untuk Umar, ya. Mungkin dia belum mendengar kabar ada kalian kelaparan di sini,” kata Umar dengan lembut. (‘Abda Ali Mahna, Tharaiful Khulafa wal Muluk, 2017: 16).
Dari kisah Umar dengan wanita janda itu dapat dipetik hikmah, seorang pemimpin harus berlaku seadil-adilnya terhadap rakyat. Saat rakyat sengsara, pemimpin harus segera mengambil langkah cepat agar segera teratasi.
Kita lihat, saat Umar tahu ada satu rakyatnya yang kelaparan, ia dengan tanggap memberi subsidi langsung dan tepat sasaran. Selain itu, kita juga bisa meneladani Umar yang dengan legowo menerima kritik dari rakyatnya.
Saat wanita janda itu menyumpahi sang khalifah karena dikira telah berbuat dzalim, sedikit pun tak membuat Umar tersinggung. Ia justru menjadikannya sebagai bahan evaluasi untuk dirinya. Wallahu a’lam.
(sumber: NU Online dan sumber lainnya)
Tim Rembulan