Sukses

Viral Drakor ‘Love in Contract’, Bagaimana Hukum Nikah Kontrak dalam Islam?

Drama korea “Love in Contract” merupakan drama serial dengan jumlah 16 episode yang bakal tayang di tvN setiap Rabu dan Kamis. Drama ini mengisahkan tentang kawin kontrak. Lalu bagaimana hukum kawin kontrak dalam Islam?

Liputan6.com, Cilacap - Drama korea “Love in Contract” merupakan drama serial dengan jumlah 16 episode yang bakal tayang di tvN setiap Rabu dan Kamis.

Love in Contract ini disutradarai oleh Nam Sung Woo ini dan skenarionya ditulis oleh Ha Gu Dam. Drakor ini dibintangi oleh Park Min Young, Go Kyung Pyo dan Kim Jae Young.

Drama ini mengisahkan tentang sebuah layanan yang membantu menyediakan istri pura-pura untuk pria lajang yang membutuhkan pasangan palsu.

Uniknya, pasangan palsu ini bisa diajak ke berbagai acara semisal reuni sekolah atau pertemuan lain bagi pasangan yang sudah menikah.

Choi Sang Eun (Park Min Young) saat ini berada dalam kontrak eksklusif jangka panjang dengan Jung Ji Ho (Go Kyung Pyo). Choi Sang Eun dijadwalkan menjadi istri palsu Jung Ji Ho pada Senin, Rabu, dan Jumat.

Di sisi lain, ada Kang Hae Jin (Kim Jae Young), yang menandatangani kontrak baru untuk hari Selasa, Kamis, dan Sabtu.

Jung Ji Ho adalah karakter misterius yang pekerjaan, hobi, dan kepribadiannya juga diselimuti kerahasiaan. Sedangkan Kang Hae Jin adalah seorang pewaris keluarga kaya sekaligus bintang Hallyu.

Terlepas dari viralnya Drakor Love in Contract yang mengisahkan nikah kontrak, maka pertanyaannya adalah bagaimana hukum nikah kontrak dalam Islam?

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

2 dari 2 halaman

Hukum Nikah Kontrak dalam Islam

Mengutip NU Online, perihal nikah kontrak (mut’ah), Jumhur fuqaha berpendapat bahwa pernikahannya tidak sah. Nikah mut’ah merupakan salah satu nikah dari 4 macam nikah fasidah (rusak).

Selain mut’ah, nikah yang rusak atau tidak sah, yakni nikah syighar (tukar menukar anak perempuan atau saudara perempuan tanpa mahar), nikah yang dilakukan terhadap perempuan yang dalam proses khitbah (pinangan) laki-laki lain, dan nikah muhallil (siasat penghalalan menikahi mantan istri yang ditalak bain atau talak yang tidak bisa dirujuk lagi). 

Nikah mut’ah menurut ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, khususnya mazhab empat, hukumnya haram dan tidak sah (batal).

Dasar pengambilan, antara lain dari kitab Al-Umm Imam Asy-Syafi’i juz V hlm 71, Fatawi Syar'iyyah Syaikh Husain Muhammad Mahluf juz II hlm 7, kitab Rahmatul Ummah hlm 21, I’anatuth Thalibin juz III hlm 278 – 279, Al-Mizan al-Kubraa juz II hlm 113, dan As-Syarwani 'alat Tuhfah juz Vll hlm. 224. 

Imam Syafi’i mengatakan, semua nikah yang ditentukan berlangsungnya sampai waktu yang diketahui ataupun yang tidak diketahui (temporer), maka nikah tersebut tidak sah, dan tidak ada hak waris ataupun talak antara kedua pasangan suami istri. (Al-Umm V/71)

Syaikh Husain Muhammad Mahluf ketika ditanya mekenai pernikahan dengan akad dan saksi untuk masa tertentu mengatakan bahwa seandainya ada laki-laki mengawini perempuan untuk diceraikan lagi pada waktu yang telah ditentukan, maka perkawinannya tidak sah karena adanya syarat tersebut telah mengalangi kelanggengan perkawinan, dan itulah yang disebut dengan nikah mut’ah. (Fatawi Syar'iyyah II/7)

Para ulama bersepakat, bahwa nikah mut’ah itu tidak sah, dan hampir tidak ada perselisihan pendapat. Bentuknya adalah, misalnya seseorang mengawini perempuan untuk masa tertentu dengan berkata: “Saya mengawini kamu untuk masa satu bulan, setahun dan semisalnya.”

Perkawinan seperti ini tidak sah dan telah dihapus kebolehannya oleh kesepakatan para ulama sejak dulu. Apalagi praktik nikah mut'ah sekarang ini hanya dimaksudkan untuk menghalalkan prostitusi. 

Sumber: NU Online yang didasarkan pada hasil Munas Alim Ulama di Pondok pesantren Qomarul Huda, Bagu, Pringgarata, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, 16-20 Rajab 1418 H / 17-21 November 1997 M.

 

(Khazim Mahrur)