Sukses

Diburu karena Konon Lezat dan Berkhasiat, Biawak Halal atau Haram?

Umat Islam, biasanya mengonsumi biawak karena menisbatkan pada riwayat di zaman Nabi SAW, soal konsumsi biawak gurung (dhab), yang dihalalkan

Liputan6.com, Banyumas - Biawak (Varanus salvator) kerap dikonsumsi oleh sebagian masyarakat Indonesia, termasuk umat Islam. Khusus umat Islam, biasanya biawak dikonsumsi karena menisbatkan pada riwayat di zaman Nabi SAW, soal konsumsi biawak gurun atau kadal gurun (dhab).

Banyak masyarakat yang menganggap bahwa kedua hewan tersebut serupa dan kemudian memburunya. Biawak diburu karena 'konon' dagingnya lezat. Selain itu, biawak juga kerap mengganggu dan merugikan karena memakan ayam, bebek, mentok, atau hewan peliharaan masyarakat lainnya.

Di samping itu, ada pula yang berpandangan bahwa daging biawak memiliki berbagai khasiat yang bermanfaat bagi tubuh, seperti meningkatkan stamina, menambah energi tubuh, mencegah serangan asma, mencegah stroke, dan beragam manfaat lainnya

Sebelum itu, mari kita lihat dulu apa biawak dan apa dhab. Biawak adalah sebangsa kadal berukuran menengah dan besar yang tersebar di daerah beriklim panas dan tropis Afrika, Asia, dan Australia. Nama umumnya dalam bahasa Melayu, juga bahasa Indonesia adalah "Biawak".

Nama-nama umum lain di antaranya "bayawak" (Sunda); "bajul", "menyawak" atau "nyambik" (Jawa, istilah "bajul" juga merujuk pada buaya); "berekai" (Madura); "sliro" (Trenggalek dan sekitarnya) dan "hora" atau "mbu" (sebutan untuk biawak Komodo oleh penduduk pulau Komodo dan pulau Rinca). Dalam bahasa Inggris disebut monitor lizard, goanna, atau "dragon".

Jenis biawak terbesar dan terkenal di dunia ialah komodo (Varanus komodoensis), yang panjangnya dapat melebihi 3 meter. Biawak yang kerap ditemui di desa-desa dan perkotaan di Indonesia adalah biawak air dari jenis Varanus salvator. Panjang tubuhnya (moncong hingga ujung ekor) umumnya hanya sekitar 1 meter, meskipun ada pula yang dapat mencapai 2,5 meter.

Sementara, dhab (Uromastyx aegyptia) adalah sejenis kadal besar yang tersebar di daerah gurun di Mesir, Libya dan seluruh daerah Timur Tengah. Akan tetapi, populasinya menurun karena sebagian habitatnya sudah menjadi perkotaan dan pemukiman. Nama hewan ini dalam bahasa Inggris adalah Egyptian Mastigure atau Egyptian dab lizard atau Egyptian spiny-tailed lizard.

 

Saksikan Video Pilihan ini:

2 dari 3 halaman

Kehalalan Dhab

Mengutip NU Online, seorang Muslim yang baik tentu akan memilih makanan bukan hanya dari sisi kelezatan dan manfaat, melainkan juga kehalalan sebuah makanan—dan ini yang paling penting. Lantas sebenarnya bagaimana hukum mengonsumsi daging biawak ini? Apakah tergolong hewan yang halal dimakan, atau tergolong hewan yang haram?

Hewan biawak oleh banyak orang seringkali dikaitkan dengan hewan dhab yang kehalalannya ditegaskan dalam beberapa hadis, salah satunya hadits riwayat Ibnu Umar berikut:

كَانَ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهِمْ سَعْدٌ فَذَهَبُوا يَأْكُلُونَ مِنْ لَحْمٍ فَنَادَتْهُمْ امْرَأَةٌ مِنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّهُ لَحْمُ ضَبٍّ فَأَمْسَكُوا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُوا أَوْ اطْعَمُوا فَإِنَّهُ حَلَالٌ أَوْ قَالَ لَا بَأْسَ بِهِ شَكَّ فِيهِ وَلَكِنَّهُ لَيْسَ مِنْ طَعَامِي

Artinya: “Orang-orang dari kalangan sahabat Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam yang di antara mereka terdapat Sa’ad sedang makan daging. Kemudian salah seorang istri Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memanggil mereka seraya berkata: ‘Itu daging dhabb’. Mereka pun berhenti makan. Lalu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, ‘Makanlah, karena daging itu halal’ atau beliau bersabda, ‘Tidak masalah (daging itu) dimakan, akan tetapi daging hewan itu bukanlah makananku” (HR al-Bukhari).

Nah, di sini lah pangkal masalahanya. Dalam pembelajaran kitab fiqih di pesantren, kata “dhab” seringkali diartikan “biawak” sehingga tidak heran banyak kalangan yang secara mudah menghukumi halal pada biawak dengan berlandaskan dalil kehalalan hewan dhab yang dijelaskan dalam berbagai riwayat hadis serta berbagai referensi Kutub at-Turats.

Padahal yang dimaksud dengan hewan dhab sebenarnya bukanlah hewan biawak yang sering kita ketahui di permukaan sungai dan rawa-rawa, sebab keduanya merupakan jenis hewan yang berbeda, meskipun secara struktur bentuk fisiknya hampir mirip.

Jika merujuk pada Mu‘jam al-Mu‘ashirah, kata dhab lebih tepat diterjemahkan sebagai “kadal gurun” (uromastyx). Ia masuk genus reptil dari ordo kadal dengan ciri-ciri tubuh kasar dan tebal, memiliki ekor yang lebar. Dhab berhabitat dan tumbuh banyak di daerah gurun negara-negara Arab.

Ia bergantung pada tanaman sebagai makanan dan minumnya. Dalam istilah Arab, hewan biawak diartikan dengan kata al-waral. Dalam mendeskripsikan hewan dhab, Imam al-Qulyubi menjelaskan:

(قَوْلُهُ وَضَبٌّ) وَهُوَ حَيَوَانٌ يُشْبِهُ الْوَرَلَ يَعِيْشُ نَحْوَ سَبْعِمِائَةِ سَنَةٍ وَمِنْ شَأْنِهِ أَنَّهُ لاَ يَشْرَبُ الْمَاءَ. وَأَنَّهُ يَبُوْلُ فِيْ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا مَرَّةً وَأَنَّهُ لِلأُنْثَى مِنْهُ فَرْجَانِ وَلِلذَّكَرِ ذَكَرَانِ 

Artinya: “Binatang dlabb adalah binatang yang menyerupai biawak yang hidup sekitar tujuh ratus tahun. Sebagian dari spesifikasi binatang ini adalah tidak minum air dan kencing satu kali dalam empat puluh hari. Hewan dlabb yang betina mempunyai dua alat kelamin, dan yang jantan pun mempunyai dua alat kelamin” (Syihabuddin al-Qulyubi, Hasyiyah al-Qulyubi ‘ala al-Minhaj, (Indonesia: al-Haramain), Juz IV, Hal. 259).

3 dari 3 halaman

Biawak Haram

Bentuk hewan dlabb mirip dengan biawak, bunglon, dan tokek. Hanya saja ukuran hewan dlabb lebih kecil dari biawak. Ekor hewan dlabb cenderung kasar, bersisik, dan tidak terlalu panjang, berbeda halnya dengan ekor biawak.

Selain itu, dlabb tidak dapat hidup di rawa-rawa sebagaimana biawak, umumnya hewan dlabb berada di padang pasir. Makanan dari kedua hewan ini pun berbeda. Dlabb memakan rerumputan dan belalang, sehingga hewan ini tidak tergolong hewan buas, berbeda halnya dengan biawak yang memangsa banyak jenis hewan seperti kodok, ikan, tikus, burung, dan hewan-hewan lainnya.

Perbedaan jenis yang terdapat pada dua hewan tersebut tentu berpengaruh terhadap status hukum mengonsumsi masing-masing dari kedua hewan di atas. Jika mengonsumsi hewan dhab kehalalannya ditegaskan dalam beberapa hadis, maka sebaliknya, mengonsumsi biawak dipandang sebagai sesuatu yang haram atau tidak halal untuk dikonsumsi.

Hal ini misalnya ditegaskan dalam kitab Bulghah at-Thullab berikut:

الحَيَوَانُ المَعْرُوْفُ عِنْدَنَا المُسَمَّى بِنْيَاوَاكْ سَلِيْرَا لَيْسَ هُوَ الضَّبُّ فَيَحْرُمُ أَكْلُهُ

Artinya, “Hewan yang dikenal di kalangan (sekitar) kita dengan nama biawak seliro itu sejatinya bukanlah binatang dhab, maka haram mengonsumsinya” (KH Thoifur Ali Wafa, Bulghah at-Thullab, Hal. 357).

Bahkan keharaman mengonsumsi biawak ini, sejak dahulu telah dibahas dalam Muktamar Ke-7 Nahdlatul Ulama pada tanggal 9 Agustus 1932 M yang bertempat di Bandung (Ahkam al-Fuqaha’ fi Muqarrarat Mu’tamarat Nahdlah al-Ulama’, hal. 119).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hewan biawak berbeda dari hewan dhab yang kehalalannya dijelaskan secara sharih dalam hadis. Hukum mengonsumsi hewan biawak ini adalah haram, sebab tergolong hewan yang menjijikkan menurut pandangan tabiat orang Arab secara umum. Wallahu a’lam.

(Sumber:https://islam.nu.or.id/syariah/beda-hukum-mengonsumsi-kadal-gurun-dan-biawak-fEOdo-)

Tim Rembulan