Sukses

Kisah Santri Anggota Cakrabirawa Selamatkan Polisi pada Malam G30S PKI

Ishak Bahar, lahir di Purbalingga. Ishak berlatar belakang agama yang kuat dan menjadi santri. Namun, perjalanan hidupnya membuatnya sempat dicap sebagai PKI, gara-gara menjadi anggota Cakrabirawa

Liputan6.com, Purbalingga - Suaranya masih merdu dan tartil, meski sedikit bergetar saat melafalkan Surat Al Hadid. Siapa sangka, dia mantan anggota Cakrabirawa, kesatuan elite pengawal presiden yang disangka terlibat G30S/PKI.

Namanya Ishak Bahar, lahir di Purbalingga. Ishak berlatar belakang agama yang kuat. Namun, perjalanan hidupnya membuatnya sempat dicap sebagai PKI, gara-gara menjadi anggota Cakrabirawa.

Dia merupakan anak Kayim. Masa kecilnya diisi dengan banyak mengaji. Ishak juga belajar di tiga pesantren, di Jawa Tengah. Dia adalah sosok santri tulen.

Usai lulus sekolah, dia mendaftar tentara. Belakangan, setelah bertugas di Kodam IV Diponegoro, dia terpilih menjadi salah satu anggota pasukan Cakrabirawa.

Tugasnya di ring 1 adalah menjaga keselamatan presiden, sebagai unit yang selalu menempel ke mana pun presiden bergerak. 

Sebelum menjadi pengawal paling dekat Sukarno, dia adalah ajudan Letkol Untung, Komandan Cakrabirawa yang akhirnya divonis mati karena dinyatakan bersalah melakukan kudeta dan menggerakkan pasukan untuk membunuh enam jenderal dan satu perwira AD pada peristiwa G30S PKI.

Ishak berkisah pada Jumat, 1 Oktober 1965, sedianya ia akan mengawal Presiden Sukarno ke Bogor, Jawa Barat. Ia tak terlalu paham agendanya. Namun, berdasarkan informasi yang diperolehnya waktu itu, presiden hendak hadir di sebuah acara olahraga.

"Sebagai prajurit, informasi detailnya yang seperti itu baru akan diberitahukan ketika akan berangkat. Kita kalau akan berangkat baru diberi pembagian tugas," ucapnya, Selasa, 4 Oktober 2017.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Malam Berdarah di Lubang Buaya

Tetapi, ia batal mengawal Presiden Sukarno. Pasalnya, pada sore 30 September 1965, tiba-tiba Letkol Untung, Komandan Cakrabirawa memintanya untuk mendampinginya ke Lubang Buaya. Tempatnya digantikan oleh pengawal lainnya, Bagyo.

"Kamu ikut saya saja," Ishak menirukan perintah Letkol Untung.

Pada 1 Oktober 1965 dini hari, tugasnya adalah mengantar Letkol Untung, tak ada yang lain. Ketika satu kompi Cakrabirawa bertugas menjemput para jenderal, ia tetap berada di Lubang Buaya.

Ia lebih banyak menghabiskan waktu di jipnya. Tempat parkirnya, ia sebut, relatif jauh dari pusat kegiatan, sehingga tak begitu memahami detail peristiwa yang terjadi.

"Tugas Cakrabirawa saat itu, menjemput para jenderal untuk dihadapkan kepada presiden. Kalau saya tugasnya mengantar Letkol Untung. Saya tidak ikut menjemput," kata dia.

Informasi samar-samar beredar. Enam jenderal berhasil dijemput. Namun, dua orang meninggal dunia lantaran melawan. Tak berapa lama, rentetan tembakan terdengar. Enam jenderal dan satu perwira AD meninggal dunia.

Di tengah situasi yang tak pasti itu, ia mendapat firasat yang buruk. "Wah, salah ini. Lutut saya langsung lemas. Apes saya. Mati saya," ujarnya.

Selain enam jenderal dan satu perwira pertama AD, ada pula anggota polisi yang turut ditangkap dan dibawa ke Lubang Buaya. Namanya Sukitman.

"Tahu polisi yang selamat dari Lubang Buaya, Sukitman kan. Sukitman saya yang menyelamatkan," tiba-tiba Ishak, menyela, kala bercerita soal tragedi 1 Oktober 1965.

 

3 dari 3 halaman

Sukitman Temui Ishak di Penjara

Di tengah kekalutan situasi kala itu, ia diperintahkan untuk menembak mati Sukitman. Ia adalah polisi yang ditangkap di sekitar kediaman Mayor Jenderal DI Pandjaitan. Sukitman dikhawatirkan akan membocorkan lokasi penguburan para jenderal.

"Saya jawab. Orang tidak salah kok ditembak," ujarnya, menceritakan situasi kala itu.

Atasan di Cakrabirawa itu, kata Ishak, lantas pergi, tanpa berbicara apa pun. Rupanya, anggota Cakrabirawa yang memberi perintah itu juga tengah kalut. Saat situasi memungkinkan, dia memerintahkan Sukitman bersembunyi di jipnya.

"Lalu saya bilang ke Sukitman, sudah kamu tiduran saja di jip saya. Lalu saya bawa ke Istana Negara. Sukitman kemudian pergi," ucap Ishak.

Bertahun-tahun kemudian, Ishak dan Sukitman dipertemukan di Rutan Salemba. Kondisi terbalik kala itu. Ishak yang tadinya berbobot 73 kilogram, saat itu sudah turun menjadi 40 kilogram. Namun, polisi itu rupanya masih mengenali Ishak.

"Waktu bertemu itu, Sukitman itu sampai nyembah-nyembah karena saya menyelamatkan dia," ujarnya mengenang.

Tim Rembulan