Liputan6.com, Cilacap - PKI memenangi Pemilu 1955 di Cilacap dan sejumlah daerah lainnya. Selain Cilacap, di Jawa Tengah PKI juga menang di banyak daerah lain, seperti Semarang, Sukoharjo, Klaten dan sejumlah kabupaten lainnya.
Sebagai pemenang pemilu, PKI memiliki kesempatan besar untuk mendudukkan kadernya sebagai kepala daerah. Saat itu, kepala daerah dipilih oleh DPRD. Mudah diduga, Cilacap pun akhirnya dipimpin bupati anggota PKI, DA Santosa.
Perolehan suara yang besar dan dipimpin oleh bupati dari partai yang sama membuat kader PKI Cilacap dan underbouw-nya besar kepala. Mereka jumawa. Terlebih, mendekati peristiwa 1965 atau G30S PKI.
Advertisement
Pasalnya, gerakan PKI dan underbouw-nya sangat massif, terutama di desa-desa. Apalagi setelah Ketua PKI, Aidit mengidentifikasi tujuh setan desa yang perlu ‘diganyang’ yang konon berdasar riset ilmiah demi kesejahteraan dan keadilan rakyat.
Baca Juga
Tujuh setan desa itu yakni, tuan tanah jahat, lintah darat, pengijon, tengkulak jahat, bandit desa, pejabat korup, dan kapitalis birokrat. Gerakan yang semula hanya berupa kampanye itu lantas berubah menjadi banyak aksi sepihak.
Jargon yang paling banyak memicu konflik adalah tuan tanah. Pangkal soalnya, kader dan simpatisan PKI mengartikan semua orang yang memiliki tanah luas sebagai musuh. Itu termasuk pemuka agama atau kiai di desa-desa.
Kala itu, ulama atau kiai biasanya memang memiliki tanah yang cukup luas untuk membiayai pesantrennya. Segera saja, ketegangan terjadi antara anggota PKI, atau melalui Barisan Tani Indonesia (BTI), dengan kiai atau tokoh agama dan pengikutnya.
Maka itu, mereka kerap mengintimidasi dan bahkan menganiaya ulama, kiai, santri,atau awam yang tak ikut ideologinya. Sejak lama, PKI memang selalu bermusuhan dengan golongan beragama.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Mbah Sayuti Gagal Dicelakai
Konfrontasi itu juga terjadi di pegunungan Cilacap, Jawa Tengah. Saat itu, ada sebuah pesantren dan masjid di Desa Pesahangan, Kecamatan Cimanggu. Pesantren ini terkepung simpatisan atau anggota PKI dan BTI di kampung dan desa lainnya.
Pengasuh pesantren saat itu, KH Muhammad Sayuti tak luput dari intimidasi. Ancaman, cercaan, hingga provokasi kerap membuat santri dan anggota Ansor dan Banser nyaris baku hantam dengan anggota PKI.
Secara terang-terangan mereka juga hendak mengancam dan bahkan mencelakai Mbah Sayuti. Beberapa kali tokoh-tokoh PKI dari desa-desa luar mendatangi Kiai Sayuti berbekal golok atau parang.
Hanya saja, sesampai di kediaman Mbah Sayuti, nyali mereka ciut. Penyababnya adalah rasa segan kepada Mbah Sayuti, atau bisa jadi, karena santri yang selalu siap siaga.
"Kalau sudah sampai halaman, mereka jadi lemas. Seperti tidak berdaya," kata cucu Mbah Sayuti, H Kamil.
Itu sebab, berbeda dari wilayah lainnya yang ulamanya diburu oleh PKI, Pesahangan relatif tenteram, meski dikepung oleh wilayah dengan anggota PKI yang cukup massif.
Advertisement
Firasat Mbah Sayuti
Saat itu, kekuatan barisan anak muda NU memang tidak bisa dianggap remeh. Banyak dari mereka yang mantan anggota laskar perang masa prakemerdekaan hingga masa agresi militer Belanda, Hisbullah dan Sabilillah.
Selain mengaji, mereka juga berlatih silat dan ilmu hikmah, khas pesantren. Jangan heran jika santri-santri ini kebal senjata dan peluru. Mereka baiat siap mati untuk melindungi bangsa dan agamanya.
“Jadi kalau sudah masuk ke halaman Mbah Sayuti, tidak ada konfrontasi. Bisa diredam,” Haji Kamil, salah satu cucu KH Sayuti, mengisahkan.
Kiai Sayuti, tentu saja sibuk meredam amarah santri dan pengikutnya. Namun, lama-lama, provokasinya semakin kelewatan. Suatu subuh, santri menemukan kotoran manusia teronggok di tengah masjid.
Namun itu pun masih bisa diredam. Mbah Sayuti memiliki firasat, anggota PKI akan hancur dengan sendirinya.
Belakangan terbukti, firasatnya terbukti benar. Usai G30S PKI, anggota dan simpatisan PKI diburu, dianiaya, dipenjara dan bahkan dibunuh.
Hingga puluhan tahun kemudian, PKI menjadi organisasi terlarang. Bahkan, ideologi dan pahamnya juga dilarang tumbuh di Indonesia.
Tim Rembulan