Liputan6.com, Bogor - Memasuki bulan Rabiul Awal, umat Islam ramai merayakan Maulid Nabi atau kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kelahiran nabi terakhir yang diutus Allah SWT ini diyakini pada 12 Rabiul Awal Tahun Gajah.
Sepanjang bulan Rabiul Awal (disebut juga bulan Maulid atau Mulud) umat Islam khususnya di Indonesia memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan berbagai cara pengemasannya.
Secara umum pada perayaan Maulid Nabi ada pembacaan kitab Maulid Nabi. Ada yang membaca Maulid Diba’, Syaraful Anam, Burdah, hingga Barzanji. Kitab maulid ini menjadi referensi untuk meneladani sosok Rasulullah SAW.
Advertisement
Baca Juga
Perayaan Maulid Nabi sudah seperti tradisi yang tidak bisa ditinggalkan setiap tahunnya. Bahkan, ada yang rela dari jauh-jauh hari menabungkan sebagian rezekinya untuk perayaan Maulid Nabi.
Terlepas dari pro dan kontra adanya perayaan Maulid Nabi, ada yang menarik untuk ditelaah yakni soal sejarah memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Seperti apakah sejarahnya?
Â
Saksikan Video Pilihan Ini:
Pada Masa Dinasti Abbasiyah
Perayaan Maulid Nabi ternyata sudah mulai dilakukan sejak abad kedua Hijriah. Pendapat ini tercatat dalam buku Sejarah Maulid Nabi (2015) karya Ahmad Tsauri.Â
Dalam bukunya, Ahmad Tsauri merujuk pada Nuruddin Ali dalam kitabnya Wafa’ul Wafa bi Akhbar Darul Mustafa untuk menuliskan sejarah Maulid Nabi. Buku itu juga telah mendapat pengantar dari Habib Muhammad Luthfi bin Yahya.
Mengutip NU Online, buku tersebut juga menerangkan ada seorang bernama Khaizuran (170 H/786 M). Dia adalah ibu dari Amirul Mukminin Musa al-Hadi dan al-Rasyid.Â
Khaizuran datang ke Madinah dan memerintahkan penduduk mengadakan perayaan Maulid Nabi atau kelahiran Nabi Muhammad SAW di Masjid Nabawi. Kemudian Khaizuran bertolak ke Makkah dan melakukan perintah yang sama kepada penduduk Makkah untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad.Â
Khaizuran memerintah penduduk Madinah merayakan Maulid Nabi di masjid. Berbeda dengan penduduk Makkah, ia memerintah untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW di rumah masing-masing.
Seperti diketahui, Khaizuran merupakan sosok berpengaruh selama masa pemerintahan tiga khalifah Dinasti Abbasiyah, yaitu pada masa Khalifah al-Mahdi bin Mansur al-Abbas (suami), Khalifah al-Hadi dan Khalifah al-Rasyid (putra).Â
Memiliki pengaruh yang besar membuat Khaizuran mampu menggerakkan masyarakat muslim di Arab, termasuk untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Hal tersebut dilakukan agar ajaran, teladan, dan kepemimpinan mulia Nabi Muhammad SAW bisa terus menginspirasi warga Arab dan umat Islam pada umumnya.
Advertisement
Pada Masa Dinasti Fatimiyah
Berdasarkan penelusuran Liputan6.com, ada berbagai versi sejarah perayaan Maulid Nabi. Pendapat lain tentang sejarah perayaan Maulid Nabi pertama kali diadakan pada masa Dinasti Fatimiyah.
Mengutip kanal Citizen6 Liputan6.com dari Dream.co.id, naskah tertua mengenai peringatan Maulid Nabi adalah karya Jamaluddin Ibn Al Ma'mun, putra Al Ma'mun Ibn Bata'ihi, yang pernah menduduki posisi Perdana Menteri pada Dinasti Fatimiyah.
Karya tersebut dikutip oleh Al Maqrizi dalam kitabnya, Mawa'iz Al I'tibar fi Khitat Misr Wa Al Amsar. Akan tetapi, catatan Al Maqrizi menyebut peringatan Maulid Nabi diselenggarakan pada tanggal 13 Rabiul Awal.
Saat itu, khalifah Dinasti Fatimiyah menggelar peringatan Maulid Nabi dengan membagikan 6.000 dirham, 40 piring kue, gula-gula, caramel, madu, dan minyak wijen. Tidak ketinggalan 400 liter manisan dan 100 liter roti.
Peringatan itu kemudian selalu digelar pada 12 atau 13 Rabi'ul Awal oleh pemerintah. Biasanya diisi ceramah, pembacaan ayat suci Alquran, serta pemberian hadiah.
Saat Dinasti Fatimiyah runtuh oleh gempuran Shalahuddin Al Ayyubi, tokoh utama Dinasti Ayyubiyah yang beraliran Sunni, tetap mengadakan peringatan Maulid. Peringatan ini dianggap sebagai wadah paling efektif dalam menumbuhkan kecintaan kepada Rasulullah Muhammad SAW dan Islam. Selain itu, juga membangkitkan semangat jihad pasukan Islam.
Catatan lain menyebut peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW juga digelar pada masa Dinasti Ayyubiyah di abad 10 Masehi. Tujuannya untuk memicu semangat mencontoh pribadi Nabi. Kala itu, kondisi umat sedang terpuruk lantaran gempuran Pasukan Salib. Semangat tempur pasukan Islam pun melemah.
Shalahuddin sebagai sultan sekaligus panglima perang menggembleng kembali semangat Pasukan Islam untuk bertempur melawan Pasukan Salib. Saat itulah Maulid Nabi dianggap sebagai tonggak kebangkitan umat Islam kala itu.
Hingga saat ini di banyak negara, termasuk Indonesia memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW dengan tradisi unik yang berbeda. Di Indonesia sendiri, biasanya masyarakat khususnya di Kediri memiliki ritual berebut uang koin yang dilaksanakan di dalam masjid.
Wallahu'alam.
Â