Sukses

Mengenal Profesi Nabi Muhammad SAW, Sejak Remaja hingga Menjadi Pria Dewasa

Nabi Muhammad SAW yang masih remaja (atau anak-anak), meminta izin kepada pamannya untuk menggembalakan kambing milik seorang warga Makkah

Liputan6.com, Jakarta - Sejak kanak-kanak Nabi Muhammad SAW adalah seorang pekerja keras. Ia tak mau berpangku tangan dan merepotkan kakeknya Abdul Muthalib dan pamannya, Abu Thalib yang mengasuhnya sejak berusia enam tahun.

Menjadi yatim piatu dalam usia yang belia membuat Rasulullah SAW menjadi pribadi yang kuat dan pekerja keras. Rasulullah SAW bersabda, profesi yang paling baik adalah yang dikerjakan dengan jerih payah sendiri:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَامُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

Artinya: “Tidak ada seseorang yang memakan satu makanan pun yang lebih baik dari makanan hasil usaha tangannya (bekerja) sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah Daud AS memakan makanan dari hasil usahanya sendiri.” (HR al-Bukhari).

Pada masa kanak-kanak dan remaja, Nabi Muhammad SAW telah bekerja keras. Padahal, beliau dilahirkan dari bani paling mulia di antara suku Quraisy, yakni Bani Hasyim.

Penggembala Kambing

Diriwayatkan, Nabi Muhammad SAW yang masih remaja (atau anak-anak), meminta izin kepada pamannya untuk menggembalakan kambing milik seorang warga Makkah.

Semula sang paman dan bibinya, Fatimah binti Asad keberatan. Namun, akhirnya mereka luluh dan mengizinkan Muhammad menggembala kambing.

Ada beberapa alasan kenapa Nabi Muhammad SAW ingin menggembala kambing. Kondisi ekonomi Abu Thalib, meskipun tidak kekurangan, namun seringkali tidak stabil. Menggembala kambing juga tidak perlu modal, hanya tenaga saja.

Alasan lainnya, saat itu, anak-anak dan remaja memang sedang banyak bekerja menggembala kambing. Mereka senang hidup di alam bebas, di luar kota Makkah.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Filosofi Penggembala

Menurut ulama, menjadi penggembala kambing juga mengandung filosofi tinggi. Saat menggembala, seseorang akan merasakan berkerja tidak mengenal cuaca. Baik saat musim dingin atau panas, mereka berada di alam bebas menjaga kambing-kambingnya.

Belum lagi jika hidup di tanah tandus seperti di Arab, kondisi sangat kehausan di tanah kering pasti sangat menguji kesabaran. Dalam kondisi inilah penggembala digembleng menjadi pribadi yang tabah.

Kemudian, penggembala juga akan memiliki sifat tawadhu. Sebab, mereka biasa hidup dengan kambing-kambingnya. Menjaganya, menjamin agar tidak ada yang kelaparan, bahkan jika malam masih menggembala akan tidur di samping hewan-hewan yang bau.

Kebiasaan seperti ini membuat para penggembala memiliki sifat tawadhu karena hidup dalam keprihatinan. Lalu, nilai yang tidak kalah penting dari menggembala adalah mendidik keberanian dan sifat kepemimpinan. Saat menggembala, mereka pasti akan sering bermalam di tanah sepi yang jauh dari pemukiman.

Kemudian, mereka juga bertanggung jawab agar semua hewan yang dibawanya tetap dalam keadaan aman dan pulang tidak kurang satu ekor pun. (Ali Muhammad ash-Shallabi, as-Sirah an-Nabawiyah, 2008: halaman 55).

Kelak, ketika sudah diutus menjadi Nabi, beliau menyampaikan profesinya ini kepada para sahabatnya. Beliau tidak gengsi dengan masa lalunya ini, kendati posisinya sekarang sebagai rasul, pemimpin umat, dan terlahir dari nasab mulia.

Dalam satu hadis Nabi bersabda:

مَا بَعَثَ اللهُ نَبِيّاً إِلاَّ رَعَى الْغَنَمَ، فَقَالَ أَصْحَابُهُ: وَأَنْتَ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ

Artinya: “Semua nabi yang diutus Allah swt pernah menggembala kambing.” Para sahabat bertanya, ”Dan engkau sendiri?” Beliau menjawab, ”Ya, aku juga dulu menggembalakan (kambing-kambing) milik penduduk Makkah dengan upah beberapa qirath.” (HR al-Bukhari).

3 dari 3 halaman

Pedagang Sukses

Mengutip laman NU, letak geografis tanah Arab yang tandus dan gersang membuat masyarakatnya tidak bisa mengelola sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sebab itu, bangsa Arab terkenal dengan dunia bisnis atau perdagangannya.

Dari kultur ekonomi seperti inilah kemudian muncul sejumlah nama pasar-pasar terkenal di Arab seperti Ukazh, Dzil Majz, Majinnah, dan lainnya. Berkaitan dengan profesi masyarakat Arab ini, Allah swt berfirman:

لِاِيْلٰفِ قُرَيْشٍۙ اٖلٰفِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاۤءِ وَالصَّيْفِۚ

Artinya: “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas.” (QS Al-Quraisy [106]: 1-2).

Sejumlah ulama menafsirkan, maksud bepergian musim dingin pada ayat di atas adalah perjalanan niaga ke Yaman, sementara saat muslim panas adalah perjalanan niaga ke Syam (Suriah). (Jawwad Ali, al-Mufashshal fi Tarikhil ‘Arab Qablal Islam, tanpa tahun: juz VII, halaman 115).

Hal ini juga sempat dirasakan oleh Nabi Muhammad saw. Pada usia 25 tahun beliau pergi ke Syam untuk berdagang dengan ditemani Maisarah, pembantu Siti Khadijah. Beliau membawa komoditas Khadijah dengan sistem bagi hasil. Bermodal keterampilan niaga dan kejujuran, semua dagangannya habis terjual dan berhasil memperoleh keuntungan yang memuaskan.

Khadijah yang melihat kemampuan dan moral luhur Nabi Muhammad kemudian tertarik untuk menikahinya, terlebih ia mendapat informasi banyak dari Maisarah tentang sosok Nabi selama menemani berdagang. Singkat kisah, Nabi dan Khadijah akhirnya menikah dengan mas kawin 20 ekor unta. Kendati usia Khadijah selisih lebih tua 15 tahun, tapi ia merupakan perempuan yang cantik, pandai, terpandang, dan kaya raya. (Safyurrahman al-Mubarakfuri, Rahiqul Makhtum, 2013: halaman 62).

Demikian sekilas profesi yang digeluti nabi sejak masa kanak-kanak hingga dewasa. Semoga umat Islam juga terinspirasi untuk bekerja keras, dan tidak merasa gengsi dengan pekerjaan yang digelutinya asalkan halal dan thoyib.

Tim Rembulan