Sukses

Sholawat Gembrungan, Cara Masyarakat Jawa Kuno Mencintai Rasullah SAW

Para anggota Selawat Gembrungan tidak hanya harus kuat dalam olah suara, tetapi juga harus punya daya tahan tubuh yang kuat karena acara biasanya dimulai pukul 21.00—03.00 dini hari

Liputan6.com, Ponorogo - Ponorogo identik dengan kesenian reog. Itu sebab, jika menyebut reog, biasanya dibelakangnya akan disebut pula Ponorogo, sehingga secara lengkap akan disebut reog Ponorogo.

Sejatinya, selain Reog Ponorogo, terdapat seni tradisi Ponorogo lainnya, yaitu Selawat Gembrungan atau Sholawat Gembrungan. Seni tradisi yang berlabel Islam santri ini dinamakan Selawat Gembrungan karena instrumen utamanya hanya terdiri atas kendang dan gembrung.

Mengutip balaibahasajatim.kemdikbud.go.id, gembrung adalah kendang besar yang pada satu sisinya dipasang kulit untuk ditabuh, sedangkan pada sisi lainnya dibiarkan berlubang dan terbuka kira-kira sebesar 1/5-nya. Dalam perkembangan, musiknya ditambah dengan alunan ketipung dan kencreng untuk melengkapi komposisi suara musik gembrungan.

Hingga kini, belum ada yang dapat memastikan awal kemunculannya. Bisa diduga bahwa seni baca selawat bersama-sama itu sudah ada pada masa zaman kewalian sekitar abad ke-14 hingga ke-15.

Para anggota Selawat Gembrungan tidak hanya harus kuat dalam olah suara, tetapi juga harus punya daya tahan tubuh yang kuat karena acara biasanya dimulai pukul 21.00—03.00 dini hari. Pada awalnya, Selawat Gembrungan hanya diadakan pada saat perayaan Maulid Nabi, tiap tanggal 12 Rabiul Awal, tetapi kemudian berkembang dan dilantunkan untuk misi lain.

Terlepas dari misi kegamaan, seni ini juga karib dengan kehidupan masyarakat terkait dengan daur hidup atau siklus peralihan. Selawat Gembrungan biasanya diselenggarakan berdasarkan beberapa momen penting kehidupan anak manusia, misalnya saat peringatan kelahiran bayi atau saat bayi berumur 7 bulan (peringatan 7 bulanan atau mitoni).

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

2 dari 2 halaman

Paduan Si'ir Islam dan Jawa

Perjalanan seni ini memang timbul dan tenggelam seiring dengan perkembangan zaman. Pada tahun 1970-an, seni ini diduga sudah mulai jarang ditampilkan mungkin karena sudah mulai banyak pilihan lain, seperti seni samroh atau hadrah yang lebih modern.

Hingga pascareformasi, seni gembrungan baru terdengar lagi dan akhirnya ada yang merevitalisasi dan melestarikannya. Pada zaman kejayaan seni gembrungan, setiap orang yang mempunyai anak berusia 7 bulan akan menyelenggarakan pertunjukan seni gembrungan dan pelaku seninya tidak memungut biaya sepeser pun dari si tuan rumah.

Tuan rumah hanya berkewajiban menyediakan tempat dan menyajikan makanan sesuai dengan kemampuan. Biasanya, yang menjadi pelaku seni gembrungan adalah kaum laki-laki dewasa.

Seni ini tidak hanya tersebar di Ponorogo, tetapi juga di bekas Kerajaan Wengker, yang dalam masa kolonial di bawah administrasi Karesidenan Madiun dan sekitarnya, termasuk Ponorogo, Madiun, Magetan, Trenggalek, Pacitan, dan Ngawi.

Namun, di Ponorogo seni gembrungan berkembang dan populer di desa-desa yang berbeda dengan selawatan yang serupa dengan yang ada di kawasan subkultur Mataraman. Kita bisa mengamati syair-syair atau tembang selawat yang berbeda dengan kawasan sekitarnya dengan etnopuitika khas, yang mengarah pada mantra dengan paduan antara selawatan (Arab) dan siir-siir Jawa dengan bentuk-bentuk pengucapan yang tidak hanya mengarah pada nasehat semata, tetapi dalam bentuk sastra yang unik. Salah satu contohnya adalah larik-larik dalam “Bawanan Shalarabbuna” yang berbeda dengan selawat serupa pada umumnya.

Beberapa grup selawat berdiri dengan mengambil nama berdasarkan judul syair selawatan yang populer, semisal Bawanan Shalarabbuna, Khataman Nabi, atau nama tokoh populer di Ponorogo sendiri, yaitu Ki Ageng Muhammad Besari. Dari data sementara, Selawat Gembrungan di Ponorogo terdapat kurang lebih 40 grup dan tersebar di beberapa desa.

Tim Rembulan