Sukses

Nasib Mahasiswa Muslim di Monash University Australia, Tempat Ibadah Sempit dan Kadang Tergenang

Kondisi memprihatinkan ruang ibadah umat Muslim di Monash University di Clayton, Melbourne, Australia dilaporkan Ulil Amri Nasiruddin

 

Liputan6.com, Jakarta - Berbeda dengan tinggal di negara dengan muslim menjadi mayoritas, umat Islam yang tinggal di wilayah dengan komunitas Islam minoritas hidup dengan segala tantangannya. Itu termasuk dalam soal ibadah.

Meski diskriminasi terhadap umat Islam di negara-negara minoritas Islam sudah jauh menurun, akan tetapi perhatian untuk peribadatan umat Islam terkadang masih minim. Yang terpenting adalah, kebebasan beragama dan peribadatan dilindungi.

Contohnya seperti yang terjadi di Monash University, Melbourne, Australia. Mengutip kanal Global Liputan6.com, Selasa (25/10/2022), kondisi memprihatinkan ruang ibadah umat Muslim di Monash University di Clayton, Melbourne, Australia dilaporkan Ulil Amri Nasiruddin. Mahasiswa PhD asal Indonesia itu biasanya akan mampir sholat Zuhur di musala dekat kampus itu sebelum melakukan risetnya.

Tapi beberapa waktu lalu, mahasiswa muslim ingin mencoba salat di fasilitas ruang ibadah lintas-agama atau 'multi-faith' yang terletak tepat di tengah kampus.

"Saya melihat kondisinya sudah mulai kayak gudang dan ruangannya yang kecil semakin sempit," katanya kepada Farid Ibrahim dari ABC Indonesia yang dikutip Minggu (31/7/2022).

"Pas masuk waktu salat, kondisinya langsung ramai, membludak. Ruangannya tidak bisa menampung karena sangat kecil," katanya.

Kondisi seperti ini, menurut Wakil Ketua Monash University Islamic Society (MUIS) Fatima Ramtoola, sudah disampaikan ke pihak rektorat sejak lama. "Kami telah meminta ruang ibadah yang lebih besar sejak tahun 2018," katanya kepada program ABC Radio Melbourne.

Kondisi serba terbatas ini tentu menjadi tantangan bagi mahasiswa yang beragama Islam, termasuk dari Indonesia. Tempat peribadatan sangat penting lantaran aktivitasnya banyak dihabiskan di kampus.

Saksikan Video Pilihan Ini:

2 dari 2 halaman

Sempit dan Lantai Tergenang

Ruang ibadah lintas agama itu hanya dapat menampung maksimal delapan jemaah pria dan delapan jemaah perempuan. Padahal menurut Monash University Islamic Society (MUIS), rata-rata 260 orang membutuhkan ruangan tersebut untuk salat.

Selama pandemi COVID-19, kapasitas ruangan ini bahkan dikurangi menjadi maksimal lima orang. Menurut pengalaman Ulil, setiap kali waktu salat, dia selalu mendapati jemaah yang membludak.

"Setiap kali saya salat Zuhur, Asar, dan Magrib di sana, selalu saja penuh," ujarnya.

Perbandingan Ruang Ibadah Muslim di Kampus

Sebagai perbandingan, ruang ibadah di kampus Melbourne University mampu menampung 100-an jemaah pria dan 40-an jemaah perempuan. Kampus Swinburne University, di Kota Melbourne juga, menyiapkan ruangan ibadah dengan kapasitas hingga 300-an orang.

Namun Monash University bukannya tidak menyiapkan ruang ibadah bagi mahasiswa dan stafnya. Selain di Clayton, pada setiap kampusnya seperti di Caulfield, tersedia juga 'spiritual room' dan musala.

Begitu pula dengan kampus Monash di Parkville dengan ruang ibadah serta kampus Peninsula dengan fasilitas yang disebut 'quiet room'. "Kami telah sering bertemu dengan pihak universitas mengenai hal ini, namun belum ada penyelesaian," kata Fatima.

Ia menyebut para mahasiswa khawatir dengan kondisi membludak tersebut dan mereka sendiri yang harus membersihkannya. "Kemarin kami mendapati kebocoran atap yang menyebabkan lantai di bagian perempuan tergenang," kata Fatima.

Tim Rembulan