Sukses

Berpotensi Rugikan Perempuan dan Anak, Ini Hukum Nikah Siri atau di Bawah Tangan

Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang nikah di bawah tangan untuk dijadikan pedoman. Fatwa MUI No 10 Tahun 2008 tentang Nikah di Bawah Tangan menyatakan beberapa kesimpulan

Liputan6.com, Banyumas - Undang-undang perkawinan mensyaratkan sebuah pernikahan harus tercatat oleh negara. Sejak itu, secara perlahan nikah siri atau nikah secara agama perlahan berkurang.

Meski telah berkurang secara drastis, bukan berarti praktik nikah siri telah hilang sama sekali. Seringkali terjadi, pasangan memilih menikah siri dengan berbagai alasan berbeda.

Lantaran tak tercatat, tidak jarang praktik nikah di bawah tangan ini menimbulkan dampak negatif (madharat) terhadap istri ataupun anak yang dilahirkannya. Sebab meski sah secara agama, tetapi pernikahan tidak memiliki kekuatan hukum sehingga dianggap tidak pernah ada dalam catatan negara.

Dampak negatif yang bisa saja terjadi misalnya, status anak disamakan dengan anak di luar nikah, atau istri dan anak tidak memiliki hak waris di mata hukum.

Selain itu, secara hukum suami tidak memiliki kewajiban untuk memberi nafkah. Sehingga jika suatu saat suami pergi begitu saja dan menelantarkan anak istrinya, maka istri akan sulit menggugat dan menuntut hak atas diri dan anaknya.

Oleh karenanya, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang nikah di bawah tangan untuk dijadikan pedoman. Fatwa MUI No 10 Tahun 2008 tentang Nikah di Bawah Tangan menyatakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Mengutip laman MUI, ketentuan umum yaitu nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah “Pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan”.

Sementara itu, ketentuan hukum yang pertama, pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat madharrat.

Kedua, pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk menolak dampak negatif madharrat (saddan lidz-dzari’ah).Dalam fatwa yang ditandatangani di Jakarta, 17 September 2008 ini, mengutip sejumlah ayat Al-Qur'an dan hadis. Di antara dalil ayat al-quran adalah sebagai berikut:

Surat Ar Rum ayat 21

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Q Ar-Rūm [30]:21)

Surat An-Nisa ayat 59

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat).” (QS An-Nisā’ [4]:59)

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

2 dari 2 halaman

Dasar Hadis untuk Penetapan Fatwa

Di samping dalil dari ayat Alquran di atas, terdapat beberapa hadits Rasulullah SAW yang dijadikan landasan penetapan fatwa, yaitu:

اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ

“Dengarlah dan taatilah sekalipun yang memimpin kalian adalah seorang budak habsyi, seolah-olah kepalanya gimbal.” (HR. Bukhari)

َ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

“Wanita itu (boleh) dinikahi karena empat hal, (1) karena hartanya, (2) karena keturunannya, (3) karena kecantikannya dan (4) karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Muttafaq ‘alaih)

أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

“Laksanakanlah walimah sekalipun hanya dengan menyembelih seekor kambing.” (HR. Bukhari)

َأَعْلِنُوا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفِّ

“Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana ntuk mengumumkannya.” (HR Hakim, Ahmad, dan at-Tirmidzi)

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

“Tidak boleh berbuat mudarat dan hal yang menimbulkan mudarat.” (HR. Ibnu Majah, Malik, dan Ahmad)

Selain itu, acuan yang dirujuk oleh MUI dalam mengesahkan fatwa adalah dengan meninjau kaidah fikih yang berbunyi:

درء المفاسد مقدم علي جلب المصالح

“Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) dari pada mengambil kemaslahatan.”

Demikian beberapa landasan atau dalil dalam fatwa MUI terkait hukum nikah di bawah tangan. Diharapkan fatwa ini bisa dijadikan pedoman, sehingga praktek nikah di bawah tangan yang tidak dicatat secara resmi di instansi berwenang dapat diminimalkan.

(Sumber:https://mui.or.id/tanya-jawab-keislaman/muamalah/40468/nikah-siri-bisa-dihukumi-haram-ini-penjelasan-dan-argumentasinya/)

Tim Rembulan