Sukses

Hukum Jual Beli Online dalam Islam, Sah atau Tidak?

Kemajuan teknologi menjadikan perubahan-perubahan mendasar di segala lini kehidupan. Semuanya dapat dilakukan dengan cepat dan mudah. Sebagai misal, perihal jual beli, dahulu orang berbelanja harus mendatangi langsung lokasi belanja yang dimaksud dan bertemu langsung dengan si penjual.

Liputan6.com, Cilacap - Kemajuan teknologi memicu perubahan-perubahan mendasar di segala lini kehidupan. Semuanya dapat dilakukan dengan cepat dan mudah. Salah satunya ialah kemudahan dalam melakukan transaksi jual beli.

Dahulu orang berbelanja harus mendatangi langsung lokasi belanja yang dimaksud dan bertemu langsung dengan si penjual. Namun saat ini belanja dapat dilakukan secara online.

Seiring fenomena jual beli online ini, banyak bermunculan toko-toko online yang menyediakan segala macam kebutuhan manusia.

Jual beli online dilakukan tidak dengan cara bertemu langsung dengan pihak penjual. Tidak hanya itu saja, pembeli tidak harus mengambil sendiri barang yang ia pesan. Namun ketika transaksi telah di lakukan secara on line, maka otomatis kita tinggal menunggu datangnya barang yang langsung di antar ke alamat si pembeli.

Tren jual beli online ini mengalami puncaknya ketika terjadi pandemi Covid-19 dan hingga kini banyak orang yang melakukan jual beli secara online.

Menanggapi fenomena itu, lalu bagaimana hukum jual beli online dalam Islam?

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

2 dari 2 halaman

Hukum Jual Beli Online

Seperti dikutip dari laman NU, bahwasannya hukum akad (transaksi) jual beli melalui alat elektronik adalah sah, apabila sebelum transaksi kedua belah pihak sudah melihat mabi’ (barang yang diperjualbelikan) atau telah dijelaskan baik sifat maupun jenisnya, serta memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun jual beli lainnya dengan dasar pengambilan hukum:

1. Syarh al-Yaqut an-Nafis karya Muhammad bin Ahmad al-Syatiri:

وَالْعِبْرَةُ فِي الْعُقُودِ لِمَعَانِيهَا لَا لِصُوَرِ الْأَلْفَاظِ وَعَنِ الْبَيْعِ وَ الشِّرَاءِ بِوَاسِطَةِ التِّلِيفُونِ وَالتَّلَكْسِ وَالْبَرْقِيَاتِ كُلُّ هذِهِ الْوَسَائِلِ وَأَمْثَالِهَا مُعْتَمَدَةُ الْيَوْمِ وَعَلَيْهَا الْعَمَلُ

Yang diperhitungkan dalam akad-akad adalah subtansinya, bukan bentuk lafalnya. Dan jual beli via telpon, teleks dan telegram dan semisalnya telah menjadi alternatif utama dan dipraktikkan.

2. Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj karya Syihabuddin Ar-Ramli:

(وَالْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَا يَصِحُّ) فِي غَيْرِ نَحْوِ الْفُقَّاعِ كَمَا مَرَّ (بَيْعُ الْغَائِبِ) وَهُوَ مَا لَمْ يَرَهُ الْمُتَعَاقِدَانِ أَوْ أَحَدُهُمَا ثَمَنًا أَوْ مُثَمَّنًا وَلَوْ كَانَ حَاضِرًا فِي مَجْلِسِ الْبَيْعِ وَبَالِغًا فِي وَصْفِهِ أَوْ سَمْعِهِ بِطَرِيقِ التَّوَاتُرِ كَمَا يَأْتِي أَوْ رَآهُ فِي ضَوْءٍ إنْ سَتَرَ الضَّوْءُ لَوْنَهُ كَوَرَقٍ أَبْيَضَ فِيمَا يَظْهَرُ

(Dan menurut qaul al-Azhhar, sungguh tidak sah) selain dalam masalah fuqa’-sari anggur yang dijual dalam kemasan rapat/tidak terlihat- (jual beli barang ghaib), yakni barang yang tidak terlihat oleh dua orang yang bertransaksi, atau salah satunya. Baik barang tersebut berstatus sebagai alat pembayar maupun sebagai barang yang dibayari.

Meskipun barang tersebut ada dalam majlis akad dan telah disebutkan kriterianya secara detail atau sudah terkenal secara luas -mutawatir-, seperti keterangan yang akan datang. Atau terlihat di bawah cahaya, jika cahaya tersebut menutupi warna aslinya, seperti kertas putih.

Demikian menurut kajian yang kuat, dalam pandangan madzhab Syafi’i (sebagaimana referensi kedua),  barang yang diperjual belikan disyaratkan dapat  dilihat secara langsung oleh kedua belah pihak.

Hal ini merupakan bentuk kehati-hatian agar tidak terjadi penipuan (ghoror) dalam jual beli karena Rasulullah melarang praktek yang demikian, sebagaimana  dalam sebuah hadis dinyatakan:

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Artinya: Rasulullah saw melarang jual beli yang didalamnya terdapat penipuan. (HR.Muslim). 

Meskipun sah akan tetapi perlu diketahui bahwa seharusnya barang yang di tawarkan lewat media online atau daring seharusnya juga mencerminkan kondisi sesungguhnya barang tersebut.

Tidak boleh adanya manipulasi gambar dengan memperlihatkan kondisi yang bagus rupanya, namun pada kenyataannya tidak atau hal-hal lain yang tidak sesuai kenyataan. Hal-hal ini tentunya menghindari adanya ketidak puasaan dari pihak si pembeli.

Hal ini disebabkan bahwa Islam sangat menekankan kepuasan atau keridlaan (taradhin) di antara pihak penjual dan pembeli disamping juga mengantisipasi terjadinya penipuan dalam transksi jual beli. Wallahu A'lam.

 

Penulis: Khazim Mahrur