Liputan6.com, Mataram - Agama Islam tersebar di seluruh daerah di Indonesia. Di masing-masing daerah, Islam menampilkan corak yang berbeda, berpadu dengan adat istiadat dan budaya wilayah setempat.
Berikut adalah ulasan Islam Wetu Telu, yang berkembang di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), melansir Indonesia.go.id.
Pulau Seribu Masjid. Demikianlah nama yang disematkan pada Pulau Lombok di Nusa Tenggara Barat (NTB). Sudah tentu frasa itu hanyalah metafora. Bernada hiperbolis, frasa itu melukiskan tak terhingganya jumlah masjid sebagai penanda kuatnya Islam berakar di masyarakat. Mari kita coba bayangkan frasa itu!
Advertisement
Seperti diketahui secara geografis NTB terdiri dari dua pulau besar. Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Di samping itu, juga terdapat ratusan pulau-pulau kecil di sekelilingnya. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 279 pulau. Sejumlah 235 pulau di antaranya merupakan pulau tak berpenghuni.
Baca Juga
Total luas wilayah NTB 20.153,15 km persegi. Sedangkan khusus Pulau Lombok, luas wilayahnya hanya sepertiga, yaitu 5.435 km persegi. Menurut data BPS 2016, seluruh Provinsi NTB jumlah pemeluk Islam mencapai 96,78 persen. Khusus Pulau Lombok, tercatat Lombok Barat berjumlah 94,33 persen, Lombok Timur 99,92 persen, dan Lombok Tengah 99,65 persen.
Agaknya itulah sebab, jika Anda bertandang ke Pulau Bali akan melihat ribuan pura, maka ketika Anda bertandang ke Pulau Lombok segera akan melihat ribuan masjid.
BPS 2017 mencatat, total jumlah masjid di Provinsi NTB sebanyak 5.224. Terbanyak berada di Kabupaten Lombok Timur berjumlah 1.341 masjid, Kabupaten Lombok Tengah 1.227 masjid, dan Kabupaten Lombok Barat 610 masjid. Angka ini sangat mungkin melonjak tajam, sekiranya musala dan langgar juga dihitung.
Hampir bisa dipastikan tiap kampung memiliki masjid. Ukuran masjid-masjid itu sering terbilang besar. Mulai bisa dibayangkan bukan, asosiasi frasa Pulau Seribu Masjid?
Wajar saja saat World Halal Travel Summit di Abu Dhabi 2016 menyematkan 12 penghargaan bagi Indonesia, 3 kategori disematkan bagi pulau di sisi sebelah timur Pulau Bali itu. Pertama, World's Best Halal Beach Resort: Novotel Lombok Resort & Villas, kedua, World's Best Halal Honeymoon Destination: Sembalun Valley Region, dan ketiga World's Best Halal Travel Website: www.wonderfullomboksumbawa.com.
Setahun sebelumnyapun begitu. World Halal Travel Summit 2015 menyematkan dua penghargaan bagi Pulau Seribu Masjid ini. Yaitu, World's Best Halal Honeymoon Destination dan World's Best Halal Tourism Destination.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Ragam Destinasi Wisata di Pulau Lombok
Ada ratusan pulau-pulau kecil. Mudah dibayangkan, panorama alamnya sangat menarik. Jika Anda penikmat wisata laut, panorama pantai menawarkan pantai berpasir putih lembut hingga pantai berpasir pink nan romantis; banyak spot menyelam jika ingin melihat kekayaan aneka rupa terumbu karang dan ikan-ikannya.
Atau Anda ingin berselancar di atas gelombang pun, tak sedikit spot pilihan. Kegiatan menyisiri pulau-pulau kecil tak berpenghuni, pun bisa jadi alternatif pilihan jalan-jalan.
Tentu tak hanya wisata laut dan pantai. Predikat World's Best Halal Honeymoon Destination yang merujuk Desa Sembalun, jelas merupakan destinasi alam pegunungan. Berada di lembah Gunung Rinjani, Desa Sembalun berada di ketinggian 1.156 mdpl.
Bukan hanya menawarkan udara sejuk plus panorama gunung-gemunung dan beberapa air terjun nan indah, beranjangsana ke Sembalun juga bakal ditemukan wisata desa adat Sasak. Dari Desa Sembalun pulalah, Anda dapat mulai mendaki Gunung Rinjani.
Jika Gunung Agung menjulang megah di tengah Pulau Bali, maka di tengah Pulau Lombok juga menjulang anggun Gunung Rinjani. Keindahan panorama gunung api setinggi 3.726 mdpl telah kesohor ke seantero dunia. Lihatlah, berderet penghargaan telah disematkan.
Pada 2004, gunung ini menerima penghargaan dari Conservation International and National Geographic Traveler di ajang World Legacy Award dalam kategori Destination Stewardship. Pada 2005, Taman Nasional Gunung Rinjani masuk dalam 3 besar Tourism for Tommorow Award dalam kategori Destination Award dari World Travel & Tourism Council. Dan pada 2007, Gunung Rinjani menjadi finalis di ajang Tourism for Tommorow Award.
Tak hanya itu. Dalam acara Internasional Conference on UNESCO Global Geopark di Itali pada September 2018, Gunung Rinjani ditetapkan menjadi UNESCO Global Geopark.
Bicara kekayaan panorama alam, jelas Pulau Seribu Masjid ini tak bakal kalah dengan tetangga dekatnya si-Pulau Seribu Pura, Pulau Bali. Pertanyaannya, bagaimana dengan potret wisata budayanya?
Advertisement
Islam Lokal
Bicara aspek demografi, populasi terbesar di Pulau Lombok ialah etnis Sasak. Jumlahnya ditaksir mencapai kisaran 80 persen. Di samping itu, juga ada etnis Mbojo di Pulau Bima dan etnis Sumbawa di Pulau Sumbawa. Pun etnis Bali dan Jawa tanpa terkecuali.
Menarik dicatat, seorang antropolog Judith L Ecklund pernah mengatakan, “Menjadi Sasak ialah berarti menjadi Muslim”. Meskipun begitu menyederhanakan wajah keislaman etnis Sasak ialah sebagai satu model, tentu sebuah kesalahan. Pasalnya Lombok adalah potret sebuah mozaik keislaman yang mencerminkan adanya keragaman wajah Islam di Indonesia.
Pun jika sementara ini Islam di Lombok dikenal secara stereotipe cenderung dipraktekkan secara ortodoksi dan kaku dibandingkan daerah lain, tentu padangan itu tak sepenuhnya benar. Pulau Lombok juga menyimpan variasi model keislaman lain.
Beranjangsanalah ke Desa Sembalun di kaki Gunung Rinjani, misalnya. Bisa dipastikan seluruh masyarakat di desa itu pasti mengaku diri memeluk Islam. Tapi, jika diobservasi secara mendalam maka segera terlihat bagaimana model keislaman masyarakat di lembah tersebut masih lekat dengan warna ritual warisan nenek moyang.
Tak jauh beda dari masyarakt di lereng Gunung Agung Pulau Bali, sebagian masyarakat di lereng Gunung Rinjani juga masih memercayai kekuatan adikodrati yang menjaga gunung. Seperti umum diketahui, Gunung Rinjani oleh masyarakat Sasak dianggap sebagai sumber kekuatan spiritual dan sekaligus tempat bermukimnya Dewi Anjani.
Konon, Dewi Anjani ialah sosok perempuan sakti yang semula adalah seorang manusia, tetapi kemudian berubah menjadi ratu jin. Konon lagi, silsilah Dewi Anjani ialah anak penyebar agama Islam di Pulau Lombok. Oleh karena itu pula, masyarakat di sekitar lereng Gunung Rinjani juga meyakini, masyarakat jin yang mendiami gunung itu ialah jin Islam.
Jika bertandang ke Desa Bayan di Kabupaten Lombok Utara, bukan saja segera didapati sebuah desa tradisional yang masih memiliki adat istiadat kuat. Di sana bakal juga ditemui adanya model keislaman masyarakat Sasak yang khas.
“Wetu Telu”. Demikianlah bentuk keislaman etnis Sasak lazim disebut. Boleh dikata Desa Bayan ialah episentrum bagi komunitas Islam Wetu Telu.
Istilah ini dikenal luas melalui publikasi karya Dr J van Ball yang ditulis pada 1940. Karya ini kemudian diterjemahkan oleh Koentjaraningrat dengan judul Pesta Alip di Bayan. Pesta Alip adalah sebuah ritual yang dilaksanakan delapan tahun sekali. Ritual ini bertujuan memelihara makam para leluhur Bayan di kompleks makam Masjid kuno Bayan.
Sebenarnya tidak terlalu jelas sejak kapan terminologi Islam Wetu Telu ini mulai muncul. Pasalnya istilah “wetu” ternyata tak dikenal dalam kosa kata bahasa Sasak-Bayan. Sayangnya, istilah wetu sering disalahartikan sebagai bermakna “waktu”.
Karena ditengarai Islam disebarkan oleh Orang Jawa, maka istilah wetu sering dipadankan dengan istilah “metu” dalam bahasa Jawa, yang artinya ialah “muncul” atau “keluar”. Sedangkan kata “telu” dalam bahasa Sasak-Bayan berarti “tiga”.
Alhasil, penggabungan dari dua suku kata tersebut Metu Telu atau Wetu Telu ialah bermakna muncul dari tiga hal. Tak aneh, sering dipahami Islam Wetu Telu mempunyai pandangan hidup yang serba telu (tiga), seolah-olah angka itu merupakan angka sakral.
Dalam konteks makna inilah, Islam Wetu Telu mengenal tiga sistem reproduksi: mentioq (berbenih), mentelok (bertelur), dan menganak (beranak). Ketiga sistem reproduksi ini jadi cikal bakal seluruh kehidupan di kosmos semesta sebagai bukti kebesaran Tuhan.
Sumber lain menyebutkan, ungkapan Wetu Telu berasal dari bahasa Jawa yaitu Metu Saking Telu, yang berarti keluar atau bersumber dari tiga hal: Al-Quran, Hadis dan Ijma. Artinya, ajaran-ajaran komunitas penganut Islam Wetu Telu juga bersumber dari tiga otoritas tersebut.
Syahadat Berbahasa Jawa
Namun demikian, sekalipun keislaman Islam Wetu Telu mengklaim ajarannya bersumber dari tiga otoritas, yaitu Al Quran, Hadis dan Ijma, bicara doktrin Rukun Islam justru terlihat perbedaan implementasi antara Islam Wetu Telu dan Islam pada umumnya.
Bicara Syahadat, misalnya, pada dasarnya tidak ada perbedaan substansi antara syahadat Islam Wetu Telu dan Syahadat Islam secara umum. Syahadat Islam Wetu Telu juga berisi pengakuan terhadap ke-Esa-an Allah dan Muhammad sebagai Rasul Allah. Namun demikian—di sinilah menariknya—pengucapan Syahadat Islam Wetu Telu tidak dibaca menggunakan bahasa Arab melainkan bahasa Jawa.
“Weruh ingsun nora ana pangeran liane Allah, lan weruh ingsun setuhune Nabi Muhammad utusan Allah”.
Terkait salat, beberapa etnograf lokal memaparkan, dari sumber ‘native’ masyarakat Bayan sendiri (exploring from the native point of view) telah terkonfirmasi mereka melakukan salat sebanyak lima waktu sehari. Alias tidak berbeda daripada penganut Islam secara umum: yaitu salat Subuh, Zuhur, Ashar, Magrib, dan Isya.
Namun sumber etnograf lokal lain juga masih mencatat, penganut Islam Wetu Telu hanya melakukan salat pada tiga momen semata. Yakni, salat Jumat, salat jenazah, dan salat dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha). Menariknya, pada momen salat Jumat, sehari itu penganut Islam Wetu Telu akan mengerjakan tiga salat pada tiga momen waktu: dini hari (salat Subuh), senja hari (salat Magrib), dan malam hari (salat Isya).
Perbedaan keislaman Islam Wetu Telu pun tampak dalam ritual puasa. Bagi penganut Islam Wetu Telu, puasa pun hanya dilakukan pada momen tiga waktu di bulan Ramadan. Yakni, pada permulaan bulan, di pertengahan bulan, dan yang terakhir di penghujung bulan.
Dalam melaksanakan ibadah puasa, penganut ajaran Islam Wetu Telu juga memiliki beberapa pantangan, antara lain, tidak boleh melakukan pekerjaan, tidak boleh berbohong, dan tidak boleh keluar rumah.
Bicara soal zakat, penganut Islam Wetu Telu tidak memberikan zakat pada fakir miskin, melainkan justru pada kyai sebagai bentuk balas budi. Bagi mereka, zakat diserahkan pada kyai-nya dengan niat mencari kesejahteraan dan perbaikan kehidupan di dunia maupun akhirat. Sedangkan Rukun Islam terakhir yaitu berhaji, boleh dikata tidak dikenal.
Di balik seluruh perbedaan keislaman Islam Wetu Telu ini tersimpan kata kunci penting: “pantang melupakan leluhur”.
Ajaran Islam Wetu Telu memandang keberadaan leluhur sebagai entitas perantara yang bisa mewakili hubungan manusia dan Tuhan. Mereka percaya, leluhur membawa berkah Tuhan, sanggup memberikan perlindungan dan kesejahteraan pada anak keturunannya. Sebagai perantara, keberadaan leluhur berfungsi mendekatkan hubungan anak keturunannya kepada Tuhan.
Sebaliknya, juga akan muncul sanksi jika anak keturunan mengabaikan keberadaan leluhur. Sanksi itu bersifat supranatural seperti kesialan, kesusahan hidup, dan hal lain semacam itu. Dalam bahasa Sasak-Bayan, sanksi itu disebut sebagai kebendon, ketemuk, dan tulah manuh.
Ya, dalam kehidupan sehari-hari memang terlihat masyarakat Islam Wetu Telu kukuh berpegang tata aturan dan nilai-nilai tradisi. Oleh mereka aturan itu disebut “pemalik”. Bagi pemeluk Islam Wetu Telu khususnya di Desa Bayan, pemalik bukan sekadar dianggap sekumpulan larangan atau pantangan. Melainkan juga, norma dan aturan main yang harus dipegang sekaligus diturunkan dari satu generasi ke generasi berikut.
Advertisement