Sukses

Kisah Wali Pitu, Penyebar Islam di Pulau Dewata Bali dan Muasal Penyebutannya

Habib Toyyib Zaen Arifin Assegaf yang merupakan pengasuh Jam'iyah Manaqib Al Jamali (Jawa-Madura-Bali) menyebut situs (peninggalan) makam-makam Wali Pitu (wali tujuh) yang lokasinya menyebar di beberapa wilayah di Bal

Liputan6.com, Denpasar - Ketika memperbincangkan jejak Islam di Bali, ada kisah yang selalu disodorkan masyarakat, yakni Wali Pitu yang dipahami sebagai tujuh wali penyebar Islam di "Pulau Dewata" itu.

Namun, jejak itu tidak sepenuhnya akurat. Hal itu sempat ditelusuri penulis dalam silaturahim atau ziarah Wali Pitu dari makam ke makam selama pandemi COVID-19 (2020-2021), dari barat (Jembrana) hingga timur (Karangasem).

"Kalau menyebut Wali Pitu, sebagai orang yang sudah lama berada di Bali, kami tertawa, karena Wali Pitu itu rute wisata religi dari biro travel saja,"ujar salah seorang tokoh masyarakat Karangasem, Rudi pada Senin (17/5), dikutip Antara.

Ya, jika merujuk istilah "Wali Pitu" di Bali, maka orientasinya pada Walisongo di Jawa yang merupakan Dewan Wali yang dibentuk Kanjeng Raden Rahmat (Sunan Ampel) Surabaya, Jawa Timur pada 1404.

Merekalah, sembilan penyebar Islam di Tanah Jawa, yang mendakwahkan Islam, melalui metode dakwah yang strategis hingga mampu diterima masyarakat Jawa, atau mampu mengislamkan masyarakat Jawa hingga melebihi 90 persen.

Apakah di Bali juga ada semacam Dewan Wali itu? Faktanya, istilah "Wali Pitu" itu justru disusun Habib Toyyib Zaen Arifin Assegaf dalam bukunya bertajuk "Sejarah Wujudnya Makam 'Sab'atul Auliya', Wali Pitu di Bali" (Ponpes Lirboyo, Kediri, Jatim, 1998).

Dalam buku itu, Habib Toyyib Zaen Arifin Assegaf yang merupakan pengasuh Jam'iyah Manaqib Al Jamali (Jawa-Madura-Bali) menyebut situs (peninggalan) makam-makam Wali Pitu (wali tujuh) yang lokasinya menyebar di beberapa wilayah di Bali.

Habib Toyyib Zaen Arifin Assegaf mendaku ketujuh nama itu diketahuinya lewat pengalaman rohani yang memberikan petunjuk-petunjuk kepadanya pada Bulan Muharam 1412 H/1992 M. (H. Bagenda Ali, AswajaDewata.com, 16/10/2020).

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

2 dari 4 halaman

Munculnya Istilah Wali Pitu

Awalnya, istilah "Wali Pitu" itu tidak dikenal umat Islam di Bali. Istilah itu baru ada dari pelaku wisata religi di Jawa sekitar tahun 1990-2000 yang melancong ke Bali, hingga akhirnya diperkenalkan sebagai paket wisata religi oleh para agen travel wisata dengan tarif tertentu.

Dalam buku Habib Toyyib Zaen yang ditulis pada 1998 itu, nama-nama yang didaku sebagai Wali Pitu di Bali dari hasil pengalaman rohani pada 1992 adalah:

1. Raden Mas Sepuh/Pangeran Mangkuningrat (Keramat Pantai Seseh, Mengwi, Kabupaten Badung)

2. Habib Umar bin Maulana Yusuf Al Maghribi (Keramat Bukit Bedugul, Kabupaten Tabanan)

3. Habib Ali bin Abu Bakar bin Umar bin Abu Bakar Al Hamid di (Keramat Pantai Kusamba, Kabupaten Klungkung)

4. Habib Ali Zainal Abidin Al Idrus (Keramat Bungaya, Kabupaten Karangasem)

5. Syekh Maulana Yusuf Al Baghdi Al Maghribi (Keramat Karangasem)

6. Syekh Abdul Qodir Muhammad (Keramat Karangrupit, Temukus, Kabupaten Buleleng)

7. Habib Ali bin Umar Bafaqih (Keramat Loloan Barat, Kabupaten Jembrana).

Dalam versi lain ada yang mencantumkan nama Dewi Siti Khadijah (Putri dari Raja Cokorde Pemecutan III yang masuk Islam setelah menikah dengan Prabu Cakraningrat IV, Bangkalan, Madura), sehingga para peserta wisata religi juga sering singgah ke makam putri di Kota Denpasar itu.

Jadi, keberadaan Wali Pitu perlu dipertanyakan akurasinya, karena bersifat "oral story" dari cerita ke cerita tanpa didukung fakta sejarah yang akurat, seperti Pangeran Mas Sepuh atau Pangeran Mangkuningrat dan Habib Umar bin Maulana Yusuf Al Maghribi (H. Bagenda Ali, AswajaDewata.com,16/10/2020).

Tidak hanya Pangeran Mas Sepuh dan Habib Umar, Habib Ali Zainal Abidin Al Idrus (Keramat Bungaya, Karangasem) juga dipertanyakan statusnya yang hanya guru silat dan guru tarekat, tetapi makamnya sering diziarahi.

"Mungkin karena lokasinya di pinggir jalan, maka dimasukkan 'paket' wisata religi, padahal di sini masih ada makam yang lebih tua yakni makam Saren Jawa yang tidak masuk rute Wali Pitu, tapi dari abad ke-15," kata Rudi dari Karangasem.

 

3 dari 4 halaman

Peran Penyebaran Islam

Bisa jadi, tokoh-tokoh yang disebut dalam Wali Pitu itu memiliki peran dalam syiar Islam di "Pulau Dewata", namun status mereka bukan seperti Walisongo di Tanah Jawa.

Selain itu, tokoh Islam (bukan wali) yang berkiprah dalam masuknya Islam ke Pulau Bali itu juga bukan hanya "pitu" (tujuh) orang, tapi banyak,misalnya Syekh R.K. Abd. Jalil yang dimakamkan di kawasan Saren Jawa, Karangasem.

"Kalau Habib Ali Zainal Abidin Al Idrus (Keramat Bungaya, Karangasem) itu dari abad ke-20 atau bahkan lebih, tapi Syekh R.K. Abd. Jalil (Saren Jawa, Karangasem) itu justru mendirikan Kampung Islam di Saren Jawa pada 1410, jadi lebih dulu dari Habib Ali," kata tokoh masyarakat Karangasem, Ustadz Yusuf.

Ia menceritakan Syekh R.K. Abd. Jalil salah satu dari 44 pengawal Putri Demak saat bersilaturahim ke Raja Klungkung, karena Raja Demak ingin menjadikan Raja Klungkung sebagai menantu.

Namun, Raja Klungkung menolak dengan mengajukan syarat dirinya siap menikahi Putri Demak bila sang putri bisa mencabut rambut di kakinya, ternyata gagal, sehingga sang putri pun pulang ke Demak.

"Saat pulang itu, Putri Demak menyatakan para pengawal bisa ikut pulang ke Demak tapi bisa juga menetap di Karangasem. Nah, salah satu pengawal yang menetap dan membuka hutan di Saren Jawa adalah Syekh R.K. Abd. Jalil," katanya.

Pada masa lalu, Saren Jawa merupakan hutan yang di dalamnya ada sapi yang suka mengamuk dan tidak akan yang bisa menaklukkan, kecuali Syekh R.K. Abd. Jalil yang akhirnya mendapatkan lahan di hutan seluas lokasi amukan sapi itu dan saat ini dikenal dengan Kampung "Saren Jawa".

 

4 dari 4 halaman

Kampung Islam di Bali

Di makam Syekh R.K. Abd. Jalil di Kampung Saren Jawa (perintis Kampung Islam 'Saren Jawa' pada 1410) juga ada dua makam yakni K.H. Dauddan Jero Tauman yang dimakamkan pada 1610. Status keduanya belum jelas, namun diduga berperan dalam pembukaan Kampung Islam "Saren Jawa" itu.

Di Kampung Saren Jawa yang dihuni 170 KK Muslim itu hingga saat ini juga masih berkembang tradisi Burdah, Rudat, dan Banjari."Kalau Nyepi, kami juga menghormati masyarakat Hindu dengan tidak keluar dari kampung kami," katanya.

Selain Syekh R.K. Abd. Jalil, di Karangasem juga ada Raden Datuk Maspakel atau Sunan Mumbul yang makamnya di dekat pantai di Pantai Ujung.

"Beliau tidak seberapa dikenal karena pengembara sendirian yang mengajarkan agama kepada masyarakat Karangasem, tapi masyarakat menghormati makam beliau," katanya.

Agaknya, masuknya Islam ke Bali tidak melalui proses dakwah mirip Wali Songo, namun melalui "hubungan baik" seperti hubungan kekeluargaan, kerja sama antarkerajaan (latihan perang, pembuatan sarana/alat perang), kerja sama antarmasyarakat (nelayan, tabib/pengobatan), dan pernikahan umat Hindu-Muslim.

Misalnya, di Desa Sindu, Sidemen, Kabupaten Karangasem, yang umat Islam hanya 100 KK juga ada jalinan kekerabatan antara Muslim-Hindu.

"Awalnya, kakek saya juga beragama Hindu dan akhirnya menjadi generasi pertama yang masuk Islam hingga ayah saya menjadi tokoh Islam diSindu menjadi kepercayaan Tuan Guru Nuruddin," tutur tokoh Muslim Sindu, H. Sak Abdullah.