Liputan6.com, Solo - Kementerian Agama (Kemenag) resmi menunjuk KH Abdul Rozaq Shofawi sebagai imam Masjid Sheikh Zayed, Solo, Jawa Tengah.
Bagi warga Solo, Kiai Abdul Rozak bukanlah orang asing. Beliau sebelum menjadi imam besar Masjid Sheikh Zayed menjadi imam di sejumlah masjid dan merupakan pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayyad.
Baca Juga
Waktu Terbaik Sholat Sunnah Hajat, Lengkap dengan Dzikir dan Bacaan Doanya
Top 3 Islami: Resepsi Pernikahan Seperti Ini Haram Kata Buya Yahya, Penyebab Hidup Sengsara Menurut Gus Baha
Top 3 Islami: Amalan Mudah yang Pahalanya Terus Mengalir Tak Terbatas, 3 Penyebab Seseorang Tak Dapat Syafaat Rasulullah di Hari Kiamat
Mengutip Laduni.id, KH Abdul Rozaq Shofawi merupakan putra pertama dari pasangan KH. Ahmad Shofawi, seorang ulama yang juga saudagar batik terkenal di Solo, dengan Nyai. Siti Musyarofah, putri KH. Abdul Mannan, perintis Pondok Pesantren Al-Muayyad.
Advertisement
Sejak kecil beliau sudah ditinggal oleh ibundanya ketika melahirkan anak ketiga yang kemudian meninggal sebulan setelah sang ibu wafat. Sejak itu saudara kandung Kiai Rozaq tinggal adik perempuannya, Siti Mariah, istri KH Ma’mun Muhammad Mura’i, yang kini tinggal di Yogyakarta.
Meski putra saudagar, sejak kecil Abdul Rozaq memilih hidup prihatin. Ketika bersekolah di Yogyakarta, ia mencari bekal dengan bekerja serabutan. Di sela-sela waktu belajarnya, ia pernah menjadi tukang tambal ban di pinggiran jalan Kota Gudeg. Ia juga pernah bekerja di sebuah bengkel mobil sebagai tukang cat dan mekanik.
Tak mengherankan, pengetahuannya tentang dunia otomotif sangat dalam, bahkan di kalangan para kiai ia dikenal sebagai ahli mesin. Karena itu, di sela-sela mengasuh pesantren, suami Hj. Hindun Susilowati itu mempunyai hobi mengutak-atik mesin mobil. Itu sebabnya beberapa kiai sepuh ada yang minta tolong untuk memperbaiki mobil mereka.
Pendidikan
KH Abdul Rozaq Shofawi memulai pendidikannya dengan di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak yang diasuh oleh KH. Ali Ma’shum. Selain itu, beliau juga belajar kepada KH. Dr. Tholhah Manshur, pakar hukum tata negara Universitas Gajah Mada, dan KH. Masturi Barmawi, dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Sekitar tahun 1977-1980, beliau kemudian melanjutkan pendidikannya dengan belajar kepada KH Hasan Asykari, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Mbah Mangli, di sebuah desa kecil di lereng Gunung Merbabu
Selama belajar di sana, KH. Abdul Rozaq Shofawi dipercaya sebagai sopir pribadi sang guru, beliau sering diperintahkan mengantar Mbah Mangli keliling Jawa selama seminggu penuh. Ketika berkhidmah kepada ulama kharismatik tersebut, banyak pelajaran berharga yang didapatnya.
“Ternyata Mbah Mangli benar-benar ulama yang dianugerahi kasyaf oleh Allah. Beliau weruh sak durunge winarah, (sudah tahu sebelum suatu peristiwa terjadi),” katanya.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Karomah dan Teladan Mbah Mangli
Pernah suatu ketika Kiai Rozaq diminta mengikuti sang guru ke suatu tempat. Sebelum berangkat, Mbah Mangli minta muridnya itu menempuh rute memutar jalan – rute yang tidak biasa. Menganggap jarak yang akan ditempuh semakin jauh, Kiai Rozaq memberanikan diri mengusulkan rute yang biasa. Karena Mbah Mangli diam saja, ia pun menempuh jalur biasa yang lebih singkat.
Namun, di suatu tempat, perjalanan terpaksa terhenti karena jembatan yang harus mereka lewati baru saja ambrol. Menurut penduduk setempat, diperkirakan waktu ambrolnya jembatan bersamaan dengan perintah Mbah Mangli kepada Kiai Rozaq untuk menempuh jalur memutar. Maka sang murid pun segera menyadari kesalahannya, dan minta maaf.
Setelah genap tiga tahun, Kiai Rozaq menyelesaikan pengajian sesuai perintah sang guru. Hal ini pun sepertinya merupakan isyarat sang guru, karena tak lama kemudian KH. Ahmad Umar, pendiri dan pengasuh pertama Ponpes Al-Muayyad, wafat.
Karena almarhum tidak berputra, para kiai sepuh memerintahkan Abdul Rozaq sebagai kemenakan tertua almarhum, yang memang sudah lama dibimbing oleh Kiai Umar untuk mengasuh Pondok Pesantren Al-Muayyad.
Padahal ketika itu usianya baru 36 tahun, terbilang masih cukup muda untuk memikul amanat kepengasuhan yang cukup berat. Dalam tradisi pesantren, kedekatan seorang santri dengan ulama kharismatik, apalagi menjadi santri kesayangan, merupakan sebuah keistimewaan. Dalam beberapa hal, posisi seperti itu sering kali juga menjadi semacam pengakuan atas kapasitas dan integritas si santri.
Setelah selesai menempuh pendidikan di beberapa pesantren akhirnya KH. Abdul Rozaq Shofawi meneruskan kepemimpinan Pondok Pesantren Al-Muayyad.
Selain mendapatkan ilmu agama dari Mbah Mangli, KH. Abdul Rozaq Shofawi juga belajar ilmu kedermawanan. Menurutnya, dalam hal yang satu ini sang guru terbilang sangat luar biasa. Ia tidak pernah menolak pengemis yang datang meminta-minta. Dan, sebagaimana ajaran agama, sang guru selalu menasihati bahwa sedekah tidak pernah membuat seseorang menjadi miskin. Bahkan sebaliknya, dengan bersedekah, harta seseorang malah berlipat ganda karena berkah.
Namun, Kiai Rozaq sendiri mengakui, menjadi seorang dermawan bukan hal yang mudah. “Persoalan terbesar yang selalu menghadang orang yang ingin menjadi dermawan ialah penyakit hubbud dun-ya, terlalu cinta materi. Penyakit ini sangat berbahaya, karena bisa mematikan hati seseorang,” katanya.
“Kerusakan moral yang melanda banyak pemimpin negeri ini berawal dari hubbud dun-ya itu. Ini bertolak belakang dengan contoh-contoh yang diajarkan oleh tokoh-tokoh Islam generasi awal," tambahnya.
Advertisement
Kedermawanan KH Abdul Rozaq
Jauh sebelumnya, pengalaman paling berharga mengenai kedermawanan itu didapatnya dari sang ayah, Kiai Shofawi. Saudagar batik yang kaya di Tegalsari, Solo, itu selalu menasihati putra-putrinya bahwa orang kaya harus menjadi semacam keran, yang selalu mengucurkan air bagi setiap orang yang membutuhkan.
Lagi-lagi pelajaran itu tidak hanya disampaikan dalam bentuk teori. Sepanjang hidupnya, sang ayah dikenal sebagai dermawan. Sering orangtua yang ingin memondokkan anaknya ke pesantren, tapi tak punya biaya, sowan kepada sang ayah. Maka bisa dipastikan, orang tersebut tidak akan pulang dengan tangan hampa.
Hingga kini jejak kedermawanannya masih terlihat, berupa Pondok Pesantren Al-Muayyad dan Masjid Takmirul Islam, Tegalsari, yang merupakan amal jariyah almarhum. Bahkan Masjid Tegalsari, yang dibangun sekitar seabad silam, dan merupakan masjid swadaya masyarakat yang pertama di Solo itu, dibangun dengan sisa ongkos naik haji tiga orang ulama yang diberangkatkan dengan biaya Kiai Shofawi.
Alkisah, pada tahun 1985 di Solo, sudah lebih dari seminggu isu penjualan daging ayam yang disembelih tidak Islami merebak di tengah masyarakat, dan meresahkan umat Islam. Apalagi ketika itu hampir semua ayam potong yang dijual di pasar hanya berasal dari satu atau dua agen.
Kegelisahan yang sama juga mengusik KH. Abdul Rozaq Shofawi, pengasuh sebuah pesantren di Kota Bengawan itu. Tak tinggal diam, ia segera bertindak. Setiap pukul dua dinihari, mengenakan pakaian seperti orang kebanyakan, ia melamar bekerja di agen pemotongan ayam. Dua jam kemudian ia kembali ke pesantren menjadi imam shalat Subuh.
Demikianlah, selama dua minggu sang kiai telah menyembelih ribuan ekor ayam untuk dikonsumsi masyarakat. Kesempatan itu juga ia manfaatkan untuk menularkan ilmu menyembelih sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Setelah yakin penyembelihan ayam yang dilakukan karyawan lain sudah benar, ia pun mengundurkan diri sebagai tukang potong ayam.
Meski tampak sederhana, apa yang dilakukan sang kiai sesungguhnya luar biasa. Dalam pandangannya sebagai ulama, halal-haramnya suatu makanan bukan hal sepele. Sebab, di samping merupakan masalah hukum, hal itu juga sangat berpengaruh pada upaya pembangunan mental seseorang. Hingga kini, kepeduliannya terhadap persoalan halal-haram tetap kuat, bahkan menjadi salah satu thariqah-nya.
Tim Rembulan