Sukses

Kisah Haru Gelandang Muslim Maroko Hakim Ziyech, Kehilangan Ayah dan Motivasi Ibu

Performa apik Maroko di pesta akbar empat tahunan ini tidak lepas dari peran ofisial dan pemain. Salah satu kunci kesuksesan Singa Atlas di Piala Dunia adalah kehadiran Hakim Ziyech, gelandang muslim andalan Maroko yang bermain di Chelsea untuk level klub.

Liputan6.com, Bogor - Semua orang terkejut dengan performa tim negara Islam Maroko di Piala Dunia 2022, Qatar. Tim non-favorit juara Piala Dunia ini sukses melaju ke babak semifinal usai menumbangkan Portugal dengan skor tipis 1-0. Wakil Afrika ini akan menghadapi tim kuat Eropa Prancis pada Kamis (15/12/2022) dinihari WIB.

Tak ada yang menyangka jika tim berjuluk Singa Atlas itu mampu memuncaki klasemen Grup F, menumbangkan mantan juara Piala Dunia 2010, hingga terbaru memulangkan Cristiano Ronaldo dan kawan-kawan di babak 8 besar.

Performa apik Maroko di pesta akbar empat tahunan ini tidak lepas dari peran ofisial dan pemain. Salah satu kunci kesuksesan Singa Atlas di Piala Dunia adalah kehadiran Hakim Ziyech, gelandang muslim andalan Maroko yang bermain di Chelsea untuk level klub.

Di balik kegemilangan Hakim Ziyech di dunia sepak bola ada kisah haru yang pernah dialami oleh pemain berusia 29 tahun itu. Jauh sebelum menjadi pemain sepak bola seperti sekarang, ia menghadapi berbagai persoalan kehidupan.

Melansir Brilio.net, Hakim Ziyech lahir di Dronten, Belanda pada 19 Maret 1993 dari pasangan ibu asli Maroko dan ayah asli Belanda. Dia merupakan anak bungsu dari 9 bersaudara. 

Bintang Chelsea ini bukan berasal dari keluarga kaya. Latar belakang keluarga yang cukup miskin membuat Hakim Ziyech tak punya banyak fasilitas untuk menghabiskan masa mudanya. Hiburan masa kecilnya adalah bermain sepak bola di jalanan bersama kakak laki-lakinya.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kehilangan Sosok Ayah

Pada usia 5 tahun Ziyech mulai bergabung dengan akademi sepak bola. Lalu pada 2001 ia bergabung dengan klub lokal bernama Reaal Dronten.

Namun, ketika lagi semangat-semangatnya mengejar mimpi ia harus kehilangan sang ayah. Ayah Ziyech meninggal lantaran mengidap multiple sclerosis, yakni gangguan saraf pada otak, mata, dan tulang belakang.

“Saya ingat betul, saat itu musim dingin, tepat setelah Natal. Ayah saya berada di tempat tidur di ruang tamu. Dia telah sakit selama beberapa waktu, semakin buruk. Saya harus tidur malam itu, tetapi saya ingin tinggal bersamanya," kata Ziyech dikutip dari AD.nl via Brilio.net.

 "Akhirnya saya tertidur di tepi ranjangnya. Sekitar tengah malam, saya bangun dan pergi ke kamar saya. Beberapa jam kemudian, sekitar pukul 03.00, saya mendengar anggota keluarga menangis di lantai bawah. Saya pergi ke ruang tamu. Ayah saya sudah meninggal," tambah dia.

Kehilangan ayah di usianya yang masih kecil menguburkan mimpinya menjadi pemain sepak bola profesional. Ia mulai putus asa. Namun, berkat motivasi sang ibu akhirnya gelandang paling kreatif di Maroko itu bangkit dari keterpurukannya. Ia mulai kembali aktif di akademi sepak bola.

Kehilangan sosok ayah di masa kecilnya justru menguatkan mental Ziyech ketika menjadi seorang pemain sepak bola profesional saat dewasa.

“Saya tidak membutuhkan pelatih mental untuk tetap kuat. Saya telah melalui banyak hal dalam hidup saya. Kehilangan seorang ayah adalah hal terburuk yang bisa terjadi pada seorang anak laki-laki. Segala sesuatu yang terjadi selanjutnya dalam hidup adalah relatif," katanya dikutip dari Mirror.

3 dari 4 halaman

Titik Balik Ziyech

Selain karena ibu dan keluarganya, titik balik Ziyech setelah kepergian sang ayah selama-lamanya ketika bertemu dengan Aziz Doufikar. Dia adalah pemain Maroko pertama yang merumput di Eredivisie Belanda yang turut merawat mimpi Ziyech.

Semangat untuk menjadi pesepakbola profesional tak pernah padam. Ia semakin menjadi-jadi. Karier profesionalnya dimulai ketika Ziyech bergabung klub SC Heerenveen pada usia 19 tahun. Di SC Heerenveen, Ziyech berhasil menorehkan 11 gol dari 36 penampilan selama dua musim.

Performa bagus dari pemain muda ini membuat FC Twente tertarik untuk merekrutnya. Ia lantas bergabung dengan The Tucker kemudian menggunakan nomor punggung 10 dan menjadi kapten di musim selanjutnya.

Keberhasilannya di FC Twente menarik perhatian klub tersukses di Belanda, Ajax Amsterdam. Di klub ini, bersama deretan talenta muda penuh bakat seperti Frenkie De Jong, Matthijs de Ligt, Donny Van De Beek, dan David Nerres, Ziyech berhasil menyabet berbagai prestasi di liga sepak bola kasta teratas Belanda. 

Sejak musim 2016 hingga 2020 Ziyech membantu Ajax memenangkan empat gelar mayor di level domestik maupun Eropa. Kemudian pada Ziyech bergabung dengan Chelsea sejak tahun 2020 hingga saat ini.

4 dari 4 halaman

Tak Melupakan Ibu

Kesuksesan Ziyech menjadi sepak bola diakui tidak terlepas dari sosok ibu yang selalu mendukungnya. Ketika terpilih menjadi pemain Belanda terbaik, ia mengajak ibunya naik ke panggung untuk menerima penghargaan bersama-sama.

“Saya ingin berterima kasih kepada semua orang. Tapi khususnya kepada ibu saya. Kamu memberi saya kekuatan. Jika bukan karenamu mungkin hidup saya sudah berakhir. Hadiah ini untukmu,” katanya seperti dikutip dari situs resmi Ajax Amsterdam.

Sosok ibu bagi Ziyech sangat penting, terlebih ayahnya sudah tiada. Meski telah menjadi bintang di dunia sepak bola, Ziyech tetap berbakti dan ingat kepada ibunya. 

Bahkan, pada perhelatan Piala Dunia 2022 sang ibu ada mendampingi secara langsung di stadion. Ziyech pun terekam kamera saat memeluk ibu dan mencium keningnya. Sungguh, ini adalah pemain sepak bola yang tak melupakan jasa ibunya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.