Sukses

17 Parpol Berlaga di Pemilu 2024, Ini Pandangan Al-Qur’an tentang Politik

Percaturan politik di 2024 mendatang terasa semakin hangat pasca Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi mengumumkan 17 partai politik atau Parpol yang dinyatakan lolos sebagai peserta Pemilu 2024 pada Rabu (14/12/22).

Liputan6.com, Cilacap - Percaturan politik di 2024 mendatang terasa semakin hangat setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi mengumumkan 17 partai politik atau Parpol yang dinyatakan lolos sebagai peserta Pemilu 2024, Rabu (14/12/22).

Informasi ini diperoleh langsung dari Ketua KPU Hasyim Asyari dalam gelaran acara pengundian dan penetapan nomor urut bagi Partai Politik peserta pemilu 2024 di Kantor KPU Jakarta Pusat.

"Menetapkan 17 partai politik yang memenuhi syarat peserta Pemilu, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tahun 2024," katanya sebagaimana dikutip dari kanal Politik Liputan6.com, Kamis (15/12/22).

Sebagai informasi, beberapa Parpol berdasarkan nomor urut yang telah ditetapkan adalah sebagai berikut:

1. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),

2. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra),

3. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP),

4. Partai Golongan Karya (Golkar),

5. Partai Nasional Demokrat (Nasdem),

6. Partai Buruh,

7. Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora),

8. Partai Keadilan Sejahtera (PKS),

9. Partai Kebangkitan Nasional (PKN),

10. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura),

11. Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda)

12. Partai Amanat Nasional (PAN)

13. Partai Bulan Bintang (PBB)

14. Partai Demokrat

15. Partai Solidaritas Indonesia (PSI)

16. Partai Persatuan Indonesia (Perindo) dan

17. Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Terlepas dari hangatnya suhu politik yang puncaknya dapat kita rasakan di 2024 mendatang, ternyata Al-Qur’an, sebagai kitab suci umat Islam telah berbicara masalah politik. Lalu bagaimana pengertian politik perspektif Al-Qur'an? Tulisan ini akan membahasnya.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Makna Politik Perspektif Al-Qur’an

Pembahasan pengertian politik agar lebih komprehensif terlebih dahulu mengembalikan asal muasal kata politik tersebut. Kata politik pada mulanya terambil dari bahasa Yunani dan atau Latin politicos atau politocus yang  berarti  relating to citizen.

Keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata politik sebagai segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat,  dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain. Juga dalam arti kebijakan, cara  bertindak (dalam menghadapi atau menangani satu masalah).

Sementara, Mengutip laman NU, dalam kamus-kamus bahasa Arab modern, kata politik biasanya diterjemahkan dengan kata siyasah. Kata ini terambil dari akar kata sasa-yasusu yang biasa diartikan mengemudi, mengendalikan, mengatur, dan sebagainya. Dari akar kata yang sama ditemukan kata sus yang berarti penuh kuman, kutu, atau rusak.

Menurut Pakar Tafsir Muhammad Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (2000) menjelaskan bahwa dalam Al-Qur’an tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar kata sasa-yasusu, namun ini bukan berarti bahwa Al-Qur’an tidak menguraikan soal politik. Sekian banyak ulama Al-Qur’an yang menyusun karya ilmiah dalam bidang politik dengan menggunakan Al-Qur’an dan  sunnah Nabi sebagai rujukan.

Sebagai informasi, Ibnu Taimiyah (1263-1328) menamai salah satu karya ilmiahnya dengan as-siyasah asy-syar'iyah (politik keagamaan). Uraian Al-Qur’an tentang politik secara sepintas dapat ditemukan pada ayat-ayat yang berakar kata hukm.

Kata ini pada mulanya berarti menghalangi atau melarang dalam rangka perbaikan. Dari akar kata yang sama terbentuk kata hikmah yang pada mulanya berarti kendali. Makna ini sejalan dengan asal makna kata sasa-yasusu-sais siyasat, yang berarti mengemudi, mengendalikan, pengendali, dan cara pengendalian.

Hukum dalam bahasa Arab tidak selalu sama artinya dengan kata hukum dalam bahasa Indonesia yang oleh kamus dinyatakan antara lain berarti putusan.  Dalam bahasa Arab kata ini berbentuk kata jadian, yang bisa mengandung berbagai makna, bukan hanya bisa digunakan dalam arti "pelaku hukum" atau diperlakukan atasnya hukum, tetapi juga ia dapat berarti perbuatan dan  sifat.

Sebagai "perbuatan" kata hukm berarti membuat atau menjalankan putusan, dan sebagai sifat yang menunjuk kepada  sesuatu yang diputuskan. Kata tersebut jika dipahami sebagai membuat atau menjalankan keputusan, maka tentu pembuatan dan upaya menjalankan itu, baru dapat tergambar jika ada sekelompok yang terhadapnya berlaku hukum tersebut. Ini menghasilkan upaya politik.

3 dari 3 halaman

Politik adalah Kebijaksanaan

Kata siyasah sebagaimana dikemukakan di atas diartikan dengan politik dan juga sebagaimana terbaca, sama dengan kata hikmat. Di sisi lain terdapat persamaan makna antara pengertian kata hikmat dan politik.

Sementara ulama mengartikan hikmat sebagai kebijaksanaan, atau kemampuan menangani satu masalah sehingga mendatangkan manfaat atau menghindarkan mudharat. Pengertian ini sejalan dengan makna kedua yang dikemukakan Kamus Besar Bahasa Indonesia tentang arti politik, sebagaimana dikutip di atas.

Dalam Al-Qur’an ditemukan dua puluh kali kata hikmah, kesemuanya dalam konteks pujian. Salah satu di antaranya adalah surat Al-Baqarah (2): 269: Siapa yang dianugerahi hikmah, maka dia telah dianugerahi kebajikan yang banyak.

 يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

Allah menganugerahkan al hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur'an dan As-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS Al-Baqarah: 269)

Melihat perpolitikan tanah air saat ini, hendaknya partai politik dan para kadernya memahami kembali makna dan tujuan berpolitik yang bermuara pada kebijaksanaan atau hikmat untuk mewujudkan kebermanfaatan masyarakat banyak. Akhlak dan respon negatif yang banyak bertebaran di media sosial juga hadir dari para simpatisan politik.

Hal ini tidak lepas dari cara berpolitik para elitnya. Padahal partai politik dan para kadernya juga punya kewajiban dan tanggung jawab melakukan edukasi politik kepada warga negara dengan cara yang baik dan benar.

 

Khazim Mahrur