Liputan6.com, Jakarta - Indonesia dikenal sebagai negara majemuk. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku dan agama yang berbeda-beda.
Di lain sisi, salah satu kekhasan Indonesia adalah toleransi dan sikap tenggang rasanya. Dalam ibadah keagamaan misalnya, secara umum masyarakat saling menghormati dan menghargai.
Hal ini sesuai dengan semangat toleransi, sekaligus batasan yang terdapat dalam firman Allah SWT, surah Al-Kafirun. Umat Islam bisa menampilkan wajah inklusif dan toleran, akan tetapi juga tak mencampuradukkan ajaran agama satu dengan lainnya.
Advertisement
Baca Juga
Dalam ajaran Islam toleransi tentu ada batas-batasnya. Ada prinsip-prinsip yang tak boleh dicampurbaurkan.
Misalnya pada saat perayaan Natal. Ada kalanya, ada umat Islam yang ingin menghadiri perayaan Natal. Pertanyaannya, bagaimana hukum menghadiri perayaan Natal?
Terkait hal itu, ada baiknya kita membaca hasil Bahtsul Masail Forum Musyawarah Pondok Pesantren se-Jawa Madura (FMPP) ke-37 yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Al-Hamid Cilangkap Jakarta Timur, pada 13-14 Safar 1444 H/10-11 September 2022 M, membahas hukum menghadiri perayaan hari raya agama lain.
Bagaimana hukum seorang muslim menghadiri perayaan hari raya agama lain? Apakah boleh atau justru dilarang?
Berikut ini keputusan lengkap Bahtsul Masail FMPP se-Jawa Madura ke-37 tentang Hukum Menghadiri Perayaan Hari Raya Agama Lain.
Â
Saksikan Video Pilihan Ini:
Deskripsi Masalah
Mengutip laman NU, Indonesia adalah negara dengan beragam suku, budaya, agama dan bahasa. Bhineka Tunggal Ika telah menjadi semboyan untuk saling memberikan toleransi antarperbedaan dalam rangka membangun kerukunan dan persatuan. Di antaranya adalah semangat toleransi antarumat beragama.
Dewasa ini, semangat toleransi antarumat beragama semakin semarak dan berkembang di tengah kehidupan bermasyarakat. Salah satunya dalam perayaan hari raya Natal, banyak di antara umat Kristiani memiliki rasa ingin berbagi antarsesama saudara sebangsa dan setanah air. Mereka biasa mengundang tetangganya yang muslim untuk ikut merayakan hari Natal di rumahnya.
Di sebagian wilayah Indonesia bagian timur misalnya, seperti: Maluku dan Papua yang notabenenya dipimpin oleh pejabat pemerintah non-muslim, justru mengundang pengurus ormas Islam untuk datang ke rumah atau gedung pemerintah dalam rangka untuk perayaan Natal.
Mereka menyambut perwakilan ormas Islam yang datang dengan penuh hormat seperti halnya tamu-tamu dari nonmuslim. Sejumlah makanan lezat dan beraneka ragam turut pula dihidangkan sebagai bentuk penghormatan mereka kepada tamu muslim yang datang.
Pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat muslim di Jawa juga mendapatkan undangan dari umat Kristiani untuk menghadiri acara Natal di rumah-rumah yang di selenggarakan setiap 25 Desember.
Kentalnya suasana toleransi ini akan berpotensi menyebabkan rasa malu dan sungkan bagi mereka yang tidak memenuhi undangan tersebut, dan mungkin akan menimbulkan rasa kecewa yang sangat besar bagi umat kristiani.
Begitu semaraknya acara Natal, ternyata juga berpengaruh terhadap naiknya omzet para pedagang. Tak jarang momen ini dimanfaatkan oleh para pedagang makanan dan minuman, atau bahkan pedagang musiman (mereka yang memanfaatkan momen tertentu) untuk mencari rezeki dari meriahnya acara Natal.
Para pedagang biasanya akan berjualan di mall, bazar, dan lain-lain dari sebelum sampai sesudah acara Natal dan tahun baru. Banyak di antara pedagang yang menyematkan beberapa simbol perayaan natal seperti pohon cemara, ucapan "Selamat Natal", memasang patung sinterclaus di toko miliknya dalam rangka menarik minat pembeli.
Bahkan ada pula pedagang yang lumayan kreatif dengan membentuk beberapa makanan tertentu agar menyerupai simbol-simbol yang menjadi ciri khas perayaan Natal, seperti: pohon cemara, boneka salju, kereta sinterclaus, dan lain sebagainya.
Pertanyaan Apa hukum memenuhi undangan perayaan Natal bagi pejabat muslim, pengurus ormas Islam, dan warga muslim sekitar sebagaimana dalam deskripsi?
Â
Advertisement
Jawaban Hukum Menghadiri Perayaan Natal
Menghadiri dan mengikuti hari raya agama lain yang bernuansa kebaktian agama adalah tidak diperbolehkan karena termasuk menghadiri dan menyaksikan kemungkaran. Namun diperbolehkan dalam kondisi ketika mengandung maslahat yang lebih besar daripada tidak memenuhi undangan.
Demikian keputusan Bahtsul Masail Forum Musyawarah Pondok Pesantren se-Jawa Madura (FMPP) ke-37 yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Al-Hamid Cilangkap Jakarta Timur, pada 13-14 Safar 1444 H/10-11 September 2022 M tentang Hukum Menghadiri Perayaan Hari Raya Agama Lain.
Referensi yang menjadi rujukan pembahasan adalah Al-Adabus Syar’iyah, juz 3 halaman 122; Al-‘Alaqatul Ijtima’iyah bainal Muslimin wa Ghairil Muslimin, halaman 141; dan Bariqah Mahmudiyah, juz 2 halalaman 353.
Hadir sebagai musahih dalam Komisi A: KH Ardani Ahmad, KH Athoillah Sholahuddin Anwar, KH Ali Saudi, KH M Ibrohim, KH Bahrul Huda, K Fauzi Hamzah, KH Asyhar Shofwan, K Muh Anas, K Abdul Mannan, dan KH M Shobih. Selain itu aktif sebagai perumus dalam Komisi A: K Fahrurozi, K M Halimi, K Faedy Lukman Hakim, K Nur Mufid, K Zainal Abidin, K Mihron Zubaidi, K Rofiq Ajhuri, K Asnawi Ridwan, K M Hamim HR, dan K Ahmad Muntaha AM.
Tim Rembulan