Liputan6.com, Jakarta - Kekhawatiran mengenai kembali menguatnya politik identitas menyeruak mendekati Pemilu 2024.
Bangsa Indonesia menjadi saksi betapa berbahayanya penggunaan isu SARA dalam politik pada Pilpres 2019 dan Pilkada Jakarta 2017.
Sejumlah tokoh bersuara keras soal politik identitas ini. Salah satunya, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya). Dalam beberapa kesempatan, dia bersuara keras perihal penggunaan politik identitas dalam politik.
Advertisement
Dia mengimbau agar semua pihak, utamanya warga nahdliyin (NU) untuk menghindari politik identitas demi menjaga reputasi bangsa.
“Kita harus mulai dari Indonesia, karena Indonesia sudah memiliki reputasi sebagai bangsa yang menjadi teladan dunia terkait dengan toleransi, suku, etnik, maupun agama,” kata Gus Yahya, dikutip dari NU Online, Kamis (29/12/2022).
Baca Juga
Gus Yahya mengungkapkan, jauh sebelum kepemimpinannya, dalam muktamar ke-27 NU di Situbondo tahun 1984, NU menolak secara tegas dijadikan alat atau senjata politik oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab. Menurutnya, pendekatan tanpa memandang politik identitas menjadi cara NU dalam menyelesaikan masalah.
“Sudah sejak 1984 pada muktamar di Situbondo menolak politik identitas, dan pada periode kepemimpinan saya sekarang ini kita berulang kali menegaskan bahwa NU menolak dijadikan sebagai alat/senjata politik apapun, baik etnik, ras, agama, atau apapun. Apalagi identitas NU sebagai alat kendaraan politik,” tegas kiai kelahiran Rembang, 1966 itu.
Seperti diketahui, pada muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984, NU menegaskan gerakannya untuk tidak terjun dalam politik praktis dan lebih mengutamakan melakukan gerakan sosial keagamaan yaitu NU kembali ke khittah 1926.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Tidak Boleh Ada Politik Identitas
Pernyataan serupa juga diserukan Gus Yahya dalam konferensi pers forum Religion of Twenty (R20) atau G20 Religion Forum di Jakarta, beberapa waktu lalu. Ia mengingatkan, firqah atau kelompok identitas merupakan perkara yang diharamkan dalam Al Qur’an.
“Tidak boleh ada politik identitas,” terang dia.
Bahkan, ia menyampaikan bahwa dirinya sudah berkali-kali mengingatkan umat Islam agar tidak menciptakan permusuhan dengan kelompok mana pun, termasuk pada penganut aliran Wahabi atau kelompok yang dianggap radikal.
Sebab, baginya, penetapan radikalisme sebagai identitas dan menghadapi kelompok radikal sebagai musuh pada akhirnya hanya melahirkan masalah baru, sementara masalah awal pun belum ditemukan solusinya.
“Kalau kita melihat ada masalah dan mau mencari jalan keluar dari masalah, ya kita harus bicara dengan pihak-pihak yang terlibat dengan masalah itu untuk mencari jalan keluar,” tandas Pengasuh Pondok Raudlatut Thalibien Rembang itu.
Tim Rembulan
Advertisement