Sukses

Ratusan Pelajar SMP dan SMA di Ponorogo Hamil di Luar Nikah, Begini Pandangan Islam

Pandangan Islam tentang Hukum Hamil di Luar Nikah

Liputan6.com, Ponorogo - Baru-baru ini, masyarakat dikejutkan dengan berita ratusan siswi di Ponorogo, Jawa Timur, hamil di luar nikah. Berita tersebut bermula dari banyaknya permohonan pengajuan dispensasi nikah di kalangan remaja.

Dilansir JatimNetwork.com dari berbagai sumber, dilaporkan ada 266 pemohon (tahun 2021), 191 pemohon (tahun 2022), dan 7 pemohon (awal 2023) untuk dispensasi nikah bagi murid SMP dan SMA di Ponorogo.

Dispensasi nikah ini dilakukan karena terdapat ratusan siswi yang hamil di luar nikah di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur (Jatim).

Berbagai pihak berupaya menekan kasus hamil di luar nikah yang tak juga berkurang. Seks bebas menjadi salah satu masalah terberat.

Lantas, bagaimana Islam memandang persoalan ini?

 

Saksikan Video Pilihan ini:

2 dari 3 halaman

Hukum Perempuan Hamil di Luar Nikah

Banyak sekali faktor yang menjadi penyebab kejadian seperti yang dijelaskan di atas. Pergaulan bebas, pengaruh tayangan negatif yang mudah diakses, serta hal lain mengakibatkan sejumlah perempuan hamil. Padahal yang bersangkutan belum diikat oleh perjanjian agung yakni pernikahan. Hamil di luar nikah menjadi salah satu masalah yang hingga kini terus terjadi dengan angka yang kian mengkhawatirkan.

Melansir dari jatim.nu.or.id, dalam hukum Islam orang yang melakukan zina terkena hukuman had. Secara umum hukuman had ini tergantung siapa pelakunya. Bisa dengan rajam, atau dengan jild (dera) dan pengasingan. Jika zinanya masuk kategori zina muhshan, maka hukuman hadnya adalah dengan rajam. Namun jika ternyata ia hamil, maka pelaksanaan rajam itu setelah melahirkan bayinya sebagaimana keterangan berikut: 

 قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ الْحَامِلَ لاَ تُرْجَمُ حَتَّى تَضَعَ  

Artinya: Ibnu al-Mundzir berkata; Para ulama telah sepakat bahwa orang hamil tidak dirajam sampai ia melahirkan. (Lihat: Wizarah al-Awqaf wa Asy-Syu’un al-Islamiyyah Kuwait, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait Dar as-Salasil, cet ke-1, 1404 H, juz, 22, halaman: 126). 

Sedang jika zina masuk dalam kategori ghairu muhsan artinya pelakunya adalah orang yang belum menikah (perjaka atau gadis, dan telah memenuhi ketentuan yang berlaku), maka hukuman hadnya adalah dengan didera seratus kali dan diasingkan selama setahun. Dan boleh saja diasingkan dulu baru kemudian didera.  

Hal ini sebagaimana keterangan yang kami pahami terdapat dalam kitab Kifayah al-Akhyar berikut ini; 

وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا تَرْتِيبَ بَيْنَ الْجِلْدِ وَالتَّغْرِيبِ فَيُقَدَّمُ مَا شَاءَ مِنْهُمَا 

Artinya: Ketahuilah, bahwa tidak ada aturan harus tertib di antara dera dan pengasingan, karenanya maka boleh salah satu di antara keduanya boleh didahulukan. (Taqiyyuddin Abi Bakr al-Husaini al-Hishni asy-Syafi’i, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayah al-Ikhtishar, Surabaya-Dar al-Ilm, tt, juz, 2, halaman: 143) 

Namun untuk menentukan seseorang dikatakan berzina sehingga layak mendapatkan had zina tidaklah semudah membalik telapak tangan. Jika ada seorang perempuan yang hamil, padahal tidak bersuami maka harus dibuktikan dulu apakah kehamilannya karena berbuat zina atau karena hal lain seperti diperkosa. Yang harus kita lakukan adalah jangan terburu-buru memvonis ia telah melakukan zina dengan seorang laki-laki jika memang kita tidak memiliki bukti yang kuat. 

3 dari 3 halaman

Syarat Kesaksian Perbuatan Zina

Dalam hukum Islam, seseorang dikatakan berzina harus dibuktikan terlebih dahulu dengan bukti yang kuat, bisa dengan menghadirkan empat orang saksi laki-laki, atau bisa juga dengan adanya pengakuan dari pihak pelakunya sendiri sebagaimana terjadi pada zaman Rasulullah SAW. Sedang mengenai saksi haruslah orang yang adil. Dan di zaman sekarang sangat susah mencari orang yang adil. Di samping dari sisi person, ada juga syarat yang harus yang harus dipenuhi dalam kesaksian tersebut. 

Di antara syarat yang disepakati para ulama adalah bahwa kesaksian tersebut: 

 وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ مِنْ شُرُوطِ هَذِهِ الشَّهَادَةِ أَنْ تَكُونَ بِمُعَايَنَةِ فَرْجِهِ فِي فَرْجِهَا وَأَنْ تَكُونَ الشَّهَادَةُ بِالتَّصْرِيحِ لَا بِالْكِنَايَةِ  

Artinya: Para ulama sepakat bahwa di antara syarat kesaksian ini ialah dengan melihat secara langsung alat vital pihak laki-laki masuk ke lubang vagina pihak perempuan, dan kesaksian tersebut harus diungkapkan dengan bahasa yang jelas (tashrih) tidak dengan bahasa sindiran (kinayah). (Abdurraham al-Juzairi, Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 5, halaman: 29) 

Pertanyaan selanjutnya yang harus diajukan di sini adalah, apakah kehamilan seorang perempuan yang tidak bersuami bisa dijadikan sebagai alat bukti bahwa ia telah melakukan zina sehingga ia harus dihad?  

Mayoritas pakar hukum Islam menyatakan bahwa kehamilan seorang perempuan yang tidak punya suami tidak dengan serta merta menunjukkan ia berbuat zina sehingga harus dihad.

 وَإِذَا ظَهَرَ بِالْمَرْأَةِ الْحُرَّةِ حَمْلٌ لَا زَوْجَ لَهَا وَكَذَلِكَ الْأَمَةُ الَّتِي لَا يُعْرَفُ لَهَا زَوْجٌ وَتَقُولُ أُكْرِهْتُ ، أَوْ وُطِئْتُ بِشُبْهَةٍ فَلَا يَجِبُ عَلَيْهَا حَدٌّ كَمَا قَالَهُ : أَبُو حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ فِي أَظْهَرِ رِوَايَتَيْهِ  

Artinya: Apabila tampak adanya kehamilan pada seorang perempuan merdeka yang tidak bersuami, begitu juga budak yang tidak bersuami, dan ia mengatakan saya dipaksa atau saya disetubuhi dengan persetubuhan syubhat maka ia tidak wajib dihad. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal menurut dalam riwayatnya yang adhhar. (Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfah al-Habib ‘ala Syarh al-Khathib, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1417 H/1996 M, juz, 5, halaman: 15)  

Pandangan ini mengandaikan bahwa kehamilan seorang perempuan yang tidak memiliki suami belum tentu akibat dari perbuatan zina, tetapi bisa jadi karena ia dipaksa, diperkosa, atau karena ia mengalami wathi syubhat. Ini artinya kehamilan itu masih mengandung pelbagai kemungkinan. Sedangkan sesuatu yang mengandung pelbagai kemungkinan tidak bisa dijadikan sebagai bukti utama untuk menentukan sebuah ketetapan hukum.  

Berangkat dari penjelasan ini, maka status hukum perempuan yang hamil dan tidak mempunyai suami sampai ia melahirkan anaknya dalam hukum Islam belum tentu disebut sebagai pezina yang berhak mendapat hukuman had. Bahkan seandainya ia benar-benar melakukan zina, ia tetap disunnahkan untuk menutupinya, bahkan ada pendapat yang mewajibkannya. 

Ia baru bisa dikatakan sebagai pelaku zina dan berhak mendapatkan hukuman had jika memang telah terpenuhi buktinya, seperti kesaksian empat orang laki-laki yang adil yang melihat dengan jelas kejadiannya, atau atas dasar pengakuannya. Apabila memang ia telah terbukti, maka dalam hukum Islam ia berhak mendapatkan had. Sedang hadnya adalah didera 100 kali kemudian diasingkan. Jika ia adalah orang yang belum pernah menikah (zina ghairu muhshan), namun jika ia janda, maka dirajam (zina muhshan).     

Lantas siapakah yang melaksanakan hukuman tersebut? Negara adalah pelaksananya sehingga masyarakat tidak boleh main hakim sendiri. Namun di negara kita hukuman had zina sampai hari belum diberlakukan. Karenanya, yang terbaik adalah dengan memintanya untuk segera bertobat. Biarlah apa yang ia lakukan menjadi urusannya dengan Allah SWT.  

Dan bersikaplah hati-hati dalam memberikan penilaian kepada orang lain, jangan terlalu mudah memberikan tuduhan yang tercela kepadanya kecuali memang ada bukti kuat. Dan sebagai masyarakat kita harus taat hukum yang berlaku di negara kita, dan jangan main hakim sendiri.