Liputan6.com, Jakarta - Wacana soal usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa menyeruak pasca-demonstrasi ratusan kepala desa di depan Gedung DPR, Jakarta Pusat pada Rabu (25/1).
Mereka menuntut perpanjangan masa jabatan kepala desa yang sebelumnya enam tahun menjadi sembilan tahun. Mereka meminta DPR merevisi masa jabatan yang diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Advertisement
Baca Juga
Menanggapi hal ini, Pengamat Politik Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ridho Al-hamdi mendorong agar Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) berhenti menyuarakan tuntutan perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun dan diperpanjang hingga 3 periode.
Ridho mengatakan, perpanjangan masa jabatan kades menjadi 9 tahun terlalu lama dan berpotensi membuka celah kejahatan dan penyelewengan yang tersistematis. Selain itu, tuntutan ini justru terkesan memuat kepentingan politik ketimbang kepentingan masyarakat luas.
“Sebenarnya saya juga membaca kalau usulan ini disetujui, seandainya menjadi 9 tahun maka ini akan menjadi alat kekuasaan untuk mengamankan Pemilu serentak 2024. Ini sudah bisa terbaca. Kedua, oh ternyata pilkades berhasil jadi 9 tahun, nah ini bagi orang-orang yang punya kepentingan juga motif politiknya, kenapa tidak untuk presiden? Untuk tidak menjadi perpanjangan periodisasi,” ucap Ridho, dikutip dari laman resmi Muhammadiyah, Jumat (27/1/2023).
Saksikan Video Pilihan Ini:
Tidak Perlu Perpanjangan Masa Jabatan Kades
Ridho pun mendorong DPR lebih mengutamakan kepentingan masyarakat luas ketimbang politik praktis. Caranya dengan menolak usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa yang bisa mencapai 27 tahun.
Ridho menegaskan tidak perlu ada perubahan masa jabatan kepala desa dalam Undang-Undang Desa karena tidak sesuai dengan prinsip demokrasi.
Seperti diketahui, APDESI dan sejumlah asosiasi kepala desa lain sebenarnya setuju dengan revisi UU Desa. Akan tetapi, mereka memasang syarat agar revisi ini tidak sekedar menjadi godaan partai politik menjelang Pemilu 2024.
Pertama, revisi UU Desa dimasukkan di Prolegnas strategis 2023 dan dibahas sebelum masa kampanye pemilu 2024. Bila tidak, maka asosiasi kepala desa menilai wacana jabatan 9 tahun hanya godaan politik menuju pemilu 2024 saja.
Kedua, revisi UU Desa harus menyertakan beberapa masalah yang disuarakan oleh asosiasi pemerintah desa. Salah satunya yaitu kenaikan anggaran dana desa 7 sampai 10 persen dari APBN atau sekitar Rp 4 sampai 5 miliar per desa.
“Dana desa yang cukup akan memberi manfaat signifikan dalam pembangunan desa,” kata Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi APDESI, Asri Anas, Senin (23/1).
Di luar itu, masih ada lagi masalah yang disuarakan oleh para kepala desa. Contohnya yaitu masalah kecilnya gaji kepala desa yang hanya Rp3,6 juta, tidak adanya biaya operasional pemerintah desa, dan pengelolaan dana desa yang belum otonom.
Tim Rembulan
Advertisement