Sukses

Kejanggalan yang Dirasakan Aminah Saat Mengandung Nabi Muhammad SAW

Ibunda Siti Aminah mulai mengandung Nabi Muhammad SAW pada bulan Rajab. Aminah merasakan kejanggalan karena tidak merasakan beratnya mengandung sebagaimana perempuan hamil lainnya

Liputan6.com, Jakarta - Rajab adalah salah satu bulan yang dimuliakan. Pada bulan Rajab, terjadi sejumlah peristiwa luar biasa yang tercatat dalam sejarah Islam.

Salah satunya adalah awal mula nur nubuwah (cahaya kenabian) Rasulullah SAW diletakkan di rahim ibundanya, sang ibunda, Aminah.

Mengutip laman NU, Syekh Yusuf bin Isma’il an-Nabhani dalam kitabnya, Al-Anwârul Muḫamamdiyah (yang disarikan dari kitab Mawâhibul Laddûniyah) menjelaskan, ketika hendak menitipkan Nabi Muhammad dalam rahim Siti Aminah pada malam Jumat di bulan Rajab, Allah SWT memerintahkan Malaikat Ridwan (malaikat penjaga pintu surga) untuk membuka pintu Surga Firdaus sebagai bentuk penghormatan.

Saat itu pula, terdengar seruan malaikat yang terdengar di langit dan bumi, “Perhatian, sesungguhnya cahaya suci yang sejatinya adalah Nabi Muhammad, pada malam ini sudah berada dalam rahim Aminah. Muhammad adalah sosok yang mempunyai akhlak mulia yang sempurna dan diutus sebagai pembawa kabar gembira sekaligus peringatan. (Yusuf bin Isma’il an-Nabhani, Al-Anwârul Muḫamamdiyah, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1997], h. 15).

Memang, para ulama sendiri berselisih pendapat terkait kapan janin Nabi Muhammad SAW mulai dikandung oleh Aminah. Namun jika merujuk pendapat ulama yang mengatakan Nabi lahir pada bulan Rabi’ul Awwal, maka jelas Nabi berada dalam kandungan ibunya selama sembilan bulan dengan dimulai dari Rajab. Menurut Syekh Az-Zurqani dalam Syarah Mawâhibul Laddûniyah, pendapat ini sahih. (Az-Zurqani, Syarah Al-Mawahibul Ladduniyah, [Maktabah Syamilah Online], juz I, h. 257).

Dalam hadis Ibnu Ishaq dijelaskan, Siti Aminah pernah menceritakan kisah saat dirinya sedang mengandung janin Nabi Muhamad. Ada suara tanpa rupa yang berkata padanya, “Sungguh engkau sedang mengandung seorang pemimpin umat.”

Namun, Aminah tetap merasa janggal. Sebab, dia tak merasakan beban berat sebagaimana wanita hamil pada umumnya. Hanya saja, Aminah memang telat haid.

Ini diriwayatkan ketika Aminah menjawab suara tanpa rupa tersebut. “Aku tidak merasa bahwa diriku sedang hamil, juga tidak merasakan berat sebagaimana yang dirasakan oleh wanita hamil pada umumnya. Hanya saja, aku merasa janggal karena aku tidak mengalami datang bulan (salah satu ciri-ciri wanita hamil).” (Yusuf bin Isma’il an-Nabhani, h. 15).

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

2 dari 2 halaman

Kesucian Nasab Nabi

 

Berbicara tentang kelahiran Nabi Muhammad SAW, akan lebih lengkap jika kita ulas juga kesucian nasabnya yang terpelihara sejak zaman Nabi Adam AS.

Dikisahkan, begitu Allah swt menciptakan Siti Hawa untuk menjadi pendamping Nabi Adam, keduanya pun menjalin hubungan hingga memiliki beberapa keturunan.

Berkaitan dengan nur Muhammad, Nabi Adam sudah berwasiat kepada anaknya agar tidak sembarangan memberikan nur tersebut kecuali pada wanita suci.

Hingga kemudian nur itu berpindah kepada Nabi Syit, salah satu putra Adam. Syit pun berwasiat kepada putranya agar nur tidak diberikan kepada wanita sembarangan.

Wasiat ini terus terjaga dari satu generasi ke generasi berikutnya, hingga nur tersebut sampai ke Abdul Muthalib dan turun ke anaknya, Abdullah.

Selama itu pula, Allah SWT menjaga nasab Nabi Muhammad agar tetap suci, sehingga tidak ada satu pun nenek moyang Nabi yang melakukan hubungan di luar pernikahan yang sah. Banyak sekali hadis-hadis yang menegaskan terjaganya nasab Nabi Muhammad sejak Nabi Adam. Salah satunya adalah sabda Nabi berikut:

خَرَجْتُ مِنْ نِكَاحٍ وَلَمْ أَخْرُجْ مِنْ سِفَاحٍ مِنْ لَدُنْ آدَمَ إِلَى أَنْ وَلَدَنِي أَبِي وَأُمِّي, لَمْ يُصِبْنِي مِنْ سِفَاحِ الْجَاهِلِيَّةِ شَيْءٌ

Artinya: “Aku lahir dari nikah dan aku tidak dilahirkan dari luar nikah sejak dari Adam hingga sampai aku dilahirkan oleh kedua orang tuaku, dan aku tidak menyentuh dari pernikahan orang-orang jahiliyah pada apapun.” (HR ath-Thabrani) (Ahmad bin Muhammad al-Qastalani, Mawâhibul Laddûniyah, [Bairut: Al-Maktab al-Islami, 2004], juz I, h. 85)

Tim Rembulan