Sukses

MK Tolak Gugatan Pernikahan Beda Agama, Ini Respons MUI

Ketentuan agama sudah jelas mengatur larangan pernikahan beda agama tersebut. Hal ini karena peristiwa pernikahan itu bukan sekedar hubungan kontrak sosial semata, tetapi berdimensi ibadah, dan terikat oleh aturan agama

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi menolak gugatan Undang-Undang Nomor 1/1974 tentang Perkawinan, terutama dalam pasal perkawinan beda agama. Penolakan tersebut tertuang dalam amar putusan perkara Nomor 24/PUU-XX/2022.

Putusan MK tersebut menguatkan bahwa perkawinan beda agama itu tertolak dalam sistem hukum Indonesia.

Menanggapai ini, Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof KH Asrorun Niam Sholeh, menyatakan penolakan uji materi oleh MK menegaskan secara konstitusional terhadap penolakan perkawinan beda agama.

Terkait dengan konsekuensi amar itu, Kiai Niam berpendapat upaya legalisasi perkawinan agama adalah bertentangan dengan hukum. Dengan demikian, pihak yang menganjurkan, mempraktikkan, terlebih memfasilitasi, adalah tindakan melawan hukum.

“Jadi sudah final, setop perkawinan beda agama,” kata dia, dikutip dari laman MUI, Selasa (1/1/2023).

Dia juga menegaskan ketentuan agama sudah jelas mengatur larangan pernikahan beda agama tersebut. Hal ini karena peristiwa pernikahan itu bukan sekedar hubungan kontrak sosial semata, tetapi berdimensi ibadah, dan terikat oleh aturan agama.

“Pernikahan adalah peristiwa yang sakral, untuk tujuan membangun keluarga yang harmonis. Masa dimulai dengan mengakali hukum,” kata dia.

Kiai Niam menegaskan Undang-Undang Nomor 1/1974 tentang Perkawinan mengonfirmasi itu dan mengatur bahwa keabsahan perkawinan itu tergantung pada aturan agama masing-masing.

Kiai Niam juga mengingatkan dengan diterbitkannya amar ini kampanye nikah beda agama bisa dimaknai melanggar konstitusi.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

2 dari 2 halaman

Kepastian Hukum Perkawinan Beda Agama

Sebelumnya, Majelis Hakim MK menolak gugatan Undang-Undang Nomor 1/1974 tentang Perkawinan yang diajukan E. Ramos Petege, usai gagal meresmikan jalinan asmaranya dengan gadis pujaannya karena perbedaan agama.

Diketahui, pemohon E. Ramos Petege merupakan seorang pemeluk Katolik, sementara perempuan yang ingin dinikahinya beragama Islam.

“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Prof Anwar Usman saat membacakan amar putusan perkara Nomor 24/PUU-XX/2022 di Jakarta, Selasa (31/1/2023).

Hakim MK Prof Enny Nurbaningsih mengatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak yang diakui Indonesia yang kemudian tertuang dalam UUD 1945 sebagai hak konstitusionalitas warga negara.

Meskipun demikian, hak asasi manusia berlaku di Indonesia haruslah sejalan dengan falsafah ideologi Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila sebagai identitas bangsa.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatan berkaitan dengan perkawinan beda agama bisa memberikan kepastian.

“Jadi, yang selama ini di dalam ruang abu-abu, grey area, yang menjadi polemik, menjadi perdebatan, kalau sudah diputuskan MK menjadi terang benderang,” kata Muhadjir.

Tim Rembulan