Sukses

Apakah Lupa Hafalan Al-Qur’an Berdosa? Begini Penjelasan Hukumnya

Kemampuan menghafal Al-Qur’an, sebagian atau selurunya yang terdiri dari 30 juz dan 114 surat merupakan suatu keutamaan selain mendapatkan pahala yang besar karena ini merupakan ibadah yang mulia.

Liputan6.com, Cilacap - Kemampuan menghafal Al-Qur’an, sebagian atau seluruhnya yang terdiri dari 30 juz dan 114 surat merupakan suatu keutamaan selain mendapatkan pahala yang besar karena ini merupakan ibadah yang mulia.

Melacak sejarah pada masa Rasulullah SAW banyak sekali sahabat yang menghafalkan Al-Qur’an secara sempurna. Para sahabat Nabi SAW yang mampu menghafalkan Al-Qur’an secara sempurna di antaranya yaitu Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ubai Bin Ka’ab, Abu Darda, Abdullah Bin Mas’ud, dan Abu Musa Al-Asy’ari.

Kemudian, generasi penghafal Al-Qur’an juga banyak bermunculan para periode sahabat dan umat Islam hingga saat ini. Bahkan bermunculan juga para penghafal Al-Qur’an dari golongan yang masih kanak-kanak.

Meskipun, kemampuan menghafal Al-Qur’an ini merupakan suatu keutamaan dan ibadah yang mulia, namun tantangannya begitu berat, yakni jika lupa dengan yang telah dihafalnya maka ancamannya sangat berat.

Namun, apakah orang yang telah hafal Al-Qur'an sebagian atau seluruhnya, akan tetapi di kemudian hari lupa akan hafalannya termasuk perbuatan dosa besar?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, di bawah ini dikutip beberapa hadis Nabi yang secara tekstual menerangkan ancaman bagi orang yang melupakan hafalan Al-Qur’annya.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Hadis Nabi SAW

Salah satu hadis Nabi SAW yang memberi peringatan kepada seorang yang melupakan hafalan yang dianugerahkan kepadanya dengan hukuman yang sangat berat sebagaimana dikutip dari NU Online .

Nabi bersabda:  

 قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عُرِضَتْ عَلَيَّ أُجُورُ أُمَّتِي حَتَّى القَذَاةُ يُخْرِجُهَا الرَّجُلُ مِنَ الْمَسْجِدِ، وَعُرِضَتْ عَلَيَّ ذُنُوبُ أُمَّتِي، فَلَمْ أَرَ ذَنْبًا أَعْظَمَ مِنْ سُورَةٍ مِنَ القُرْآنِ أَوْ آيَةٍ أُوتِيهَا رَجُلٌ ثُمَّ نَسِيَهَا  

Ditunjukkan kepada saya seluruh pahala umatku bahkan sampai sekecil kotoran (debu) yang dikeluarkan oleh seseorang dari masjid, dan ditunjukkan kepada saya dosa-dosa umatku, saya tidak melihat sebuah dosa yang lebih besar dibandingkan surat atau ayat yang diberikan kepada seseorang kemudian ia melupakannya” (Imam Turmudzi, Sunan Turmudzi [Beirut: Dar al-Gharbiy al-Islami], 1998, juz V, hal 28, hadits no 2916).

Dalam riwayat yang lain dijelaskan bahwa orang yang melupakan hafalannya kelak di hari kiamat akan menemui Tuhannya dalam keadaan “judzam”. 

  مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ ثُمَّ نَسِيَهُ لَقِيَ اللَّهَ وَهُوَ أَجْذَمُ   

Barangsiapa yang membaca Al-Qur’an kemudian ia melupakannya, kelak (di hari kiamat) bertemu dengan Allah dalam keadaan judzam” (Imam Turmudzi, Sunan Turmudzi [Beirut: Dar al-Gharbiy al-Islami], 1998, juz V, hal 28, hadits no 2916).  

Dalam riwayat lain imam al-Darimi meriwayatkan yang hampir sama esensinya dengan yang diriwayatkan oleh Imam al-Turmudzi bahwa orang yang belajar Al-Qur’an kemudian melupakannya, maka kelak ia akan menemui Tuhannya dalam keadaan judzam.

 مَا مِنْ رَجُلٍ يَتَعَلَّمُ الْقُرْآنَ ثُمَّ يَنْسَاهُ، إِلَّا لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَهُوَ أَجْذَمُ

Tidaklah seorang belajar Al-Qur’an kemudian melupakannya kecuali ia kelak di hari kiamat bertemu dengan Allah dalam keadaan judzam” (Imam al-Darimi, Sunan al-Darimi [Mekkah: Dar al-Mughni li al-Nasyr wa al-Tauzi’], 2000, juz IV, hal 2104, hadits nomor 3383).

Sebagai keterangan, arti ‘judzam’ ialah ketidak sempurnaan atau terserang penyakit kusta.

3 dari 4 halaman

Apakah Melupakan Hafalan Al-Qur’an Berdosa?

Imam al-Qurthubi menegaskan bahwa orang yang hafal Al-Qur’an (secara sempurna) atau sebagiannya, maka ia mendapatkan pangkat yang tinggi dibandingkan orang yang tidak hafal Al-Qur’an.

Jika pangkat ini terkotori (oleh perilakunya) hingga menjadi jauh darinya, maka sepantasnya ia mendapatkan hukuman atas itu. Sebab melalaikan apa yang sudah dianugerahkan itu sama saja kembali ketidakhafalan dan tidak hafal setelah hafal itu lebih parah (hukumannya) (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari fi Syarh Sahih al-Bukhari [Beirut: Dar al-Makrifat], 1379, juz IX, hal 86).

Dari pemaparan di atas, dapat diuraikan bahwa melalaikan hafalan Al-Qur’an akan mendapatkan ancaman. Namun demikian, apa esensi dari “nisyan” melalaikan?. Apakah melupakan hafalan termasuk kategori dosa besar?

Dalam hal ini ulama mengklasifikasi tentang esensi melalaikan hafalan. Menurut sebagian ulama, jika lupa itu disebabkan oleh faktor kesibukan yang bersifat keagamaan seperti berjihad, mencari ilmu dan lain-lainnya, maka hal itu tidak masalah.

Artinya tidak termasuk orang yang melalaikan dan tidak tercatat sebagai pendosa. Namun jika lupa itu disebabkan oleh faktor keduniaan, apalagi perbuatan yang dilarang, maka hal tersebut dianggap berdosa dan termasuk melakukan dosa besar (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari fi Syarh Sahih al-Bukhari [Beirut: Dar al-Makrifat], 1379, juz IX, hal 85).  

Dari kalangan al-Syafi’iyah, seperti Abu al-Makarim dan al-Ruyani mengatakan bahwa berpaling dari membaca Al-Qur’an menjadi sebab hilangnya hafalan dan melupakan hafalan menunjukkan tidak adanya perhatian terhadap Al-Qur’an dan meremehkan perintahnya (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari fi Syarh Sahih al-Bukhari [Beirut: Dar al-Makrifat], 1379, juz IX, hal 86).  

Oleh karena demikian, jika para hamil (penghafal) Al-Qur’an itu berprofesi sebagai agamawan, pendakwah, peneliti, pengajar dan lain-lain, sehingga tidak memungkinkan untuk mengulang hafalannya secara konsisten, namun tetap mengulang hafalannya dengan semampunya, maka dalam hal ini ia tidak masuk dalam ancaman hadits di atas.

Namun jika para penghafal Al-Qur’an itu berprofesi yang tidak ada sangkut pautnya dengan keagamaan, sehingga ia melalaikan hafalannya dan tidak ada usaha untuk mengulang hafalannya dengan kadar kemampuannya, maka ia masuk dalam ancaman hadits di atas.  

Sementara itu, sebagian ulama yang lain menjelaskan bahwa yang dimaksud “melupakan” itu adalah melalaikan isi kandungan Al-Qur’an setelah mengetahuinya. Artinya, jika seseorang telah mengetahui isi kandungan Al-Qur’an; perintah dan larangannya, kemudian ia melalaikannya dan meremehkannya, maka orang tersebut masuk dalam kategori ancaman hadits di atas, ia telah melakukan dosa besar.

Dalam hal ini yang menjadi persoalan adalah meremehkan ajaran Al-Qur’an.   Namun menurut penulis syarah kitab “Al-Mahabih” sebagaimana dikutif oleh Imam al-Syaukani dalam karyanya “Nailul Authar” bahwa yang dimaksud dosa dalam hadits itu adalah bagian dari dosa kecil, karena melupakan hafalan Al-Qur’an bukan termasuk dosa besar selama tidak meremehkan dan mengurangi ketakziman terhadap Al-Qur’an.

Sebab ancaman yang disampaikan oleh Nabi kepada para penghafal Al-Qur’an sebagai motivasi untuk menjaga hafalan (Imam al-Syaukani, Nailul Authar [Mesir: Dar al-Hadits], 1993, juz II, hal 178).

4 dari 4 halaman

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Jika lupa disebabkan karena secara sengaja melalaikannya tanpa ada sebab yang dapat dibenarkan, maka melupakannya hukumnya berdosa.

2. Jika lupa disebabkan kesibukan yang dapat dibenarkan seperti berprofesi sebagai agamawan, pendakwah, peneliti, pengajar dan lain-lain, sehingga tidak memungkinkan untuk mengulang hafalannya secara konsisten, namun tetap mengulang hafalannya dengan semampunya, maka dalam hal ini ia tidak masuk dalam ancaman hadis di atas.

 

Penulis: Khazim Mahrur

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.