Sukses

Mengenal Idham Chalid, Ulama yang Menjelma Politisi

Nama KH Idham Chalid mungkin sudah tidak asing bagi orang yang sering memegang uang kertas pecahan Rp5.000-an. Ya, dalam uang pecahan tersebut ada gambar seorang Pahlawan Nasional yang di bawahnya tertulis nama “Dr. KH. Idham Chalid”.

Liputan6.com, Jakarta - Nama KH Idham Chalid mungkin sudah tidak asing bagi orang yang sering memegang uang kertas pecahan Rp5.000-an. Ya, dalam uang pecahan tersebut ada gambar seorang Pahlawan Nasional yang di bawahnya tertulis nama “Dr. KH. Idham Chalid”.

Wajah Idham Chalid ada dalam uang kertas pecahan Rp5.000 sejak emisi 2016. Pahlawan Nasional ini kembali diabadikan dalam uang pecahan yang sama emisi 2022.

Di balik wajah Idham Chalid yang terpampang pada uang kertas terdapat perjalanan panjang dalam sejarah hidupnya. Ia bukan hanya dikenal sebagai ulama, tapi juga politisi yang pernah merasakan banyak jabatan strategis. 

Idham Chalid lahir di Setui Kalimantan Selatan, 27 Agustus 1922. Ia menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) Amuntai, Madrasah Al Rasyidiyyah, dan Madrasah Muallimin Tinggi Pondok Modern Gontor Ponorogo. Pada 1957 ia mendapat Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar Cairo.

Idham Chalid adalah tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Ia aktif dalam Gerakan Pemuda Ansor sejak dekade 1950-an. Kemudian terpilih sebagai Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode kepemimpinan KH Maskur.

Sejak 1956 ia menjabat sebagai Ketua Umum PBNU sampai 1984. Selama 28 tahun ia memimpin NU dan ini adalah jabatan yang paling lama dalam sejarah NU.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Perjalanan Politik

Perjalanan politik Idham Chalid telah melanglang buana. Ia beberapa kali menjabat Wakil Perdana Menteri Republik Indonesia di era demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin.

Melansir Kemenag.go.id yang ditulis pemerhati sejarah dan agama, M. Fuad Nasar, Idham Chalid tercatat pernah menjadi Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Ali-Roem-Idham (1956-1957), Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Djuanda (1957-1959), dan Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Dwikora (1966). 

Selain itu, ia menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Wakil Ketua MPRS (1962-1966). Dalam episode akhir Orde Lama, ia menjabat Menteri Koordinator pada Kabinet Kerja dan Kabinet Dwikora.

Ketika Orde Baru berkuasa, Idham Chalid diangkat menjadi Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Kabinet Pembangunan I (1968-1973) dan Menteri Sosial ad interim (1970 -1971). 

Setelah Pemilihan Umum 1971, ia terpilih menjadi Ketua DPR/MPR-RI periode 1971-1977. Selanjutnya menjabat Ketua DPA-RI periode 1978-1983, dan anggota Tim P7 (Penasihat Presiden Tentang Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dengan ketuanya Dr. H. Roeslan Abdulgani. Dalam organisasi keulamaan Idham Chalid duduk sebagai anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat mulai tahun 1985.

Di tengah perjalanan tersebut, Idham Chalid turut mendirikan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 5 Januari 1973. Ia dipercaya menjadi presiden partai berlambang Ka’bah itu. 

Idham Chalid disebut pernah ditawari untuk mendampingi Soeharto sebagai wakil presidennya. Namun, tawaran tersebut ditolak. Bagi Idham zamannya sudah lewat.

3 dari 3 halaman

Penggerak Pendidikan Umat

Sebelum terjun ke dunia politik, Idham Chalid dikenal sebagai penggerak pendidikan umat. Masa mudanya digunakan untuk mengabdi kepada almamaternya dengan mengajar di Pondok Pesantren Darussalam Gontor. Idham juga menjadi Direktur Noormal Islam School di Amuntai Kalimantan Selatan.

Selain itu, ia juga mendirikan dua yayasan pendidikan agama Islam Darul Maarif di Jakarta Selatan dan Darul Qur'an di Cisarua, Bogor. Pendidikan ini tidak boleh dikomersilkan. Hal ini merupakan komitmen seorang Idham Chalid.

Idham Chalid wafat pada 11 Juli 2010 yang bertepatan dengan 28 Sya’ban 1431 H pada usia 80 tahun. Ia dimakamkan di Cisarua, Bogor dengan upacara militer. 

Atas jasanya pada negeri, Idham Chalid dianugerahkan gelar Pahlawan Nasional pada 7 November 2011. Pada tahun yang sama, gelar Pahlawan Nasional juga diberikan pemerintah kepada dua tokoh Islam lainnya yakni Prof. Dr. Hamka dan Mr. Sjafruddin Prawiranegara.