Sukses

Tatkala Letusan Gunung Tambora Picu Kiamat di Asia hingga Eropa, Ini Kisahnya

Letusan Gunung Api di Indonesia Ini Picu Kiamat di Eropa, Ini Kisahnya

Liputan6.com, Jakarta - Al-Qur’an menyebut gunung memiliki fungsi sebagai penyeimbang bumi. Fungsi gunung sebagai penyeimbang ini terdapat dalam surat An-Nahl ayat 15, yang artinya, 

Dan Dia menancapkan gunung di bumi agar bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk.”

Fungsi gunung juga terdapat dalam Al-Qur'an surah An-Naba ayat ketujuh. Dalam ayat ini disebutkan bahwa gunung berfungsi sebagai pasak bumi, yang artinya, “Dan gunung-gunung sebagai pasak?”.

Tafsir Tahlili yang bersumber dari Kemenag via NU Online menjelaskan terkait ayat ini bahwa Allah SWT menjadikan gunung-gunung sebagai pasak untuk mengokohkan bumi, sehingga tidak bergoyang karena guncangan-guncangan yang ada di bawahnya.

Dari beberapa ayat Al-Qur’an yang telah disebutkan sebelumnya menunjukkan bahwa fungsi gunung adalah untuk stabilitas bumi. Namun, dalam ayat lain yakni Al-Qariah ayat 5 disebutkan bahwa gunung-gunung itu akan hancur pada hari kiamat. “Dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.”

Berdasarkan Tafsir Tahlili Kemenag yang dikutip dari NU Online, dalam ayat ini Allah mengungkapkan bahwa gunung-gunung yang telah hancur itu beterbangan dari tempatnya seperti bulu halus yang diterbangkan angin. Itu terjadi pada hari kiamat.

Keadaan gunung pada hari kiamat juga termaktub dalam Al-Qur’an surah Al-Muzzammil ayat 14. Dalam ayat ini disebutkan bahwa gunung akan menjadi pasir yang tercurah.

"(Ingatlah) pada hari (ketika) bumi dan gunung-gunung berguncang keras, dan menjadilah gunung-gunung itu seperti onggokan pasir yang dicurahkan."

Gunung diriwayatkan akan meletus dahsyat saat kiamat kubra tiba. Meski begitu, dalam sejarahnya letusan gunung juga menyebabkan kiamat kubra.

Dalam Islam, kiamat kubra adalah kiamat besar atau berakhirnya kehidupan seluruhnya. Sementara, kiamat sugra adalah kiamat kecil, meliputi kematian makhluk, satu per satu, maupun kematian massal akibat suatu sebab. Salah satunya musibah letusan gunung berapi.

Salah satu yang tercatat dalam sejarah modern adalah letusan Gunung Tambora. Satu supervulkano yang ada di indonesia. Letusan pada 1815 itu diperkirakan menyebabkan 100 ribu lebih manusia meninggal, dan memicu bencana alam lain dengan jumlah korban jiwa yang bahkan disebut lebih banyak. 

Berikut ini adalah kisah letusan Gunung Tambora yang pernah memicu kiamat di Asia hingga Eropa.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

2 dari 6 halaman

Ketika Gunung Tambora Batuk, Orang-Orang Salah Duga

 

Seperti ditulis di kanal Citizens Liputan6.com, saat Gunung Tambora mulai batuk, 5 April 1815, tak ada yang mengira malapetaka akan datang. Gunung itu sudah lama tidur. Letusan terakhirnya terjadi antara tahun 3890 SM and 800 Masehi, terlalu lama menghilang dari memori manusia. 

Yang kemudian terjadi justru salah sangka. Para pedagang dan penjelajah Inggris mengira, gelegar Gunung Tambora adalah bunyi meriam yang ditembakkan. Mereka khawatir, pertempuran di tengah laut sedang terjadi tak jauh dari sana.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Sir Thomas Stamford Bingley Raffles juga menuliskan soal informasi yang simpang siur itu di bukunya, History of Java, yang terbit 1817.

"Letupan pertama terdengar di pulau ini pada 5 April petang, bisa didengar di setiap sudut, dan berlanjut secara berkala hingga hari berikutnya," tulis Raffles, seperti dikutip dari situs thoughtco.com.

Awalnya, orang-orang mengira itu bunyi meriam yang ditembakkan dari jarak jauh, entah di mana.

"Sampai-sampai satu detasemen pasukan dikerahkan dari Yogyakarta, mengira pos tetangga sedang diserang. Dan, di sepanjang pantai, kapal-kapal dikerahkan untuk mencari bahtera yang diduga dalam bahaya."

 

3 dari 6 halaman

Letusan Terdahsyat di Abad Modern

Pada 10 April 1815, erupsi makin menjadi. Kemudian, Gunung Tambora meletus dahsyat. Kekuatannya mencapai level 7 Volcanic Explosivity Index (VEI).

Dari jarak 25 kilometer, tiga kolom api terlihat melesat ke langit. Seorang saksi mata yang berada sekitar 16 km dari Tambora mengungkapkan, gunung itu seakan meleleh.

Kekuatannya jadi yang terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah. Empat kali lipat dari amuk Krakatau pada 1883, dan 10 kali lipat dari erupsi Gunung Pinatubo di Filipina pada 1991.

Erupsi diiringi halilintar sambung-menyambung, bunyinya menggelegar bagaikan ledakan bom atom, terdengar hingga ratusan kilometer. Langit gelap. Batu dan abu turun deras dari langit, mengubur apapun yang ada di bawahnya.

"Sekitar pukul 19.00 malam tiga bola api besar keluar dari Gunung Tombora (sebutan lain Tambora). Kemudian tiga bola api itu bergabung di udara dalam satu ledakan dahsyat," demikian keterangan Raja Sanggar pada Letnan Owen Philips yang diutus Raffles, seperti dikutip dari BBC.

Suara dentuman yang dihasilkan jauh lebih keras dari sebelumnya. Awak kapal Benares mengungkapkan, bunyinya mirip tiga atau empat meriam ditembakkan sekaligus. "Saking kuatnya, kapal sampai terguncang." Setelah itu hujan abu datang dan kegelapan melanda. Lilin-llin dinyalakan pukul 16.00.

Di Sumatera, pemimpin setempat yang mendengar suara ledakan keras pada 11 April 1815 cepat-cepat menuju Fort Marlborough, pemukiman Inggris di Bengkulu. Mereka mengira, konflik sedang pecah.

Pun dengan pemimpin lainnya lain di Sumatera dan sekitarnya. Setelah menerima informasi bahwa tak ada serangan yang terjadi, mereka mengaitkannya dengan kejadian supranatural.

"Para tetua menyimpulkan itu adalah adu kuat para jin, demikian dilaporkan pejabat di Fort Marlborough.Sementara itu di Gresik, Jawa Timur, penduduk setempat sepakat bahwa suara itu adalah 'meriam supranatural' penguasa laut selatan, Nyi Roro Kidul yang ditembakkan untuk merayakan pernikahan salah satu anaknya.

"Dan abu adalah ampasnya," demikian dikutip dari buku The Year Without Summer: 1816 and the Volcano That Darkened the World and Changed History Paperback karya William K. Klingaman.

Sementara itu di Gresik, Jawa Timur, penduduk setempat sepakat bahwa suara letusan Gunung Tambora adalah 'meriam supranatural' penguasa laut selatan, Nyi Roro Kidul yang ditembakkan untuk merayakan pernikahan salah satu anaknya.

 

4 dari 6 halaman

Efek Mengerikan

Hempasan yang dipicu letusan Gunung Tambora mengamuk bak angin topan. Sejumlah saksi mata melaporkan terjadi guncangan mirip gempa. Wilayah-wilayah sekitarnya terkubur dari abu tebal. 

Tsunami pertama mencapai Jawa Timur sekitar tengah malam pada 10-11 April. Tremor melanda wilayah tengah, 18 jam setelah letusan, merenggut hidup puluhan ribu orang.

Vulkanolog dari Cambridge University, Clive Oppenheimer dalam bukunya Eruptions that Shook the World memperkirakan, 60.000-120.000 nyawa terenggut, baik secara langsung -- oleh awan panas, tsunami -- maupun tak langsung, akibat kelaparan dan wabah penyakit yang berjangkit berbulan-bulan kemudian.

Kabar pertama meletusnya Tambora mencapai Inggris pada November 1815. Media The Times mempublikasikan secarik surat dari seorang pedagang di Hindia Belanda. "Kita baru mengalami letusan paling luar biasa yang mungkin belum pernah terjadi di manapun di muka Bumi," tulis dia, seperti dimuat situs sains, NewScientist.

Lautan sejauh mata memandang dipenuhi batang pohon, batu yang mengapung, juga jasad manusia yang menghalangi laju kapal.

Dua hari setelah letusan dahsyat, Sumbawa gelap gulita. "Tanaman padi sama sekali rusak, tak ada yang tersisa. Manusia dalam jumlah besar tewas seketika, lainnya meregangnyawa setiap harinya."

EfekAbu dan panas sulfur dioksida yang disemburkan Gunung Tambora melubangi atmosfer. Partikelnya yang luar biasa halus kemudian menetap di stratosfer selama bertahun-tahun.

Menjelang musim dingin 1815–1816, selubung abu yang hampir tak terlihat itu menutupi dunia, memantulkan sinar matahari yang mencoba menerobos, mempertahankan suhu dingin, dan mendatangkan malapetaka pada pola cuaca dunia.

Suhu rata-rata global merosot 2 derajat Celcius atau sekitar 3 derajat Fahrenheit. Akibatnya tak terbayangkan. Pada 1816, tak ada musim panas di Eropa.

5 dari 6 halaman

Malapetaka di Eropa

Kegelapan menyelimuti langit Eropa. Tak ada sinar matahari. Benua biru diselimuti suasana suram. Panen gagal, orang-orang lapar.

"Bahan makanan berkurang, orang-orang terpaksa makan kucing dan tikus. Warga Eropa dan sisi timur Amerika Utara mengalami kesulitan tak terbayangkan," kata Stephen Self, profesor ilmu bumi dan planet di University of California, Berkeley, seperti dimuat situs Imperial Valley News.

Orang-orang mengira, kiamat akan segera terjadi. Kepanikan tak terkendali. "Seorang gadis membangunkan bibinya dan berteriak, 'dunia akan segera berakhir'. Sang bibi yang terkejut, kena serangan jantung, lalu koma."

Sementara di Ghent, pasukan kavaleri yang melintas saat badai, meniup terompet mereka, tanpa diduga, dua pertiga penduduk turun ke jalan, berlutut. Mereka mengira telah mendengar sangkakala pertanda kiamat," demikian digambarkan London Chronicle.

Demikian pula di Yunan, Daratan Tiongkok, orang-orang terpaksa memakan tanah liat, karena cuaca yang buruk menggagalkan panen padi.

Penyair Li Yuyang dalam puisinya mengisahkan tentang rumah-rumah yang tersapu banjir. Para orangtua terpaksa menjual anak-anak mereka, ditukar dengan sekantung gandum. Suami menyaksikan istri dan buah hatinya mati perlahan akibat kelaparan.

Tambora bahkan mengubah peta sejarah, 18 Juni 1815, cuaca buruk yang diakibatkan Tambora konon ikut membuat Napoleon Bonaparte kalah perang di Waterloo. Itu adalah hari terpedih dalam sejarah gilang-gemilang Sang Kaisar Prancis.

Di sisi lain, kegelapan yang menyelimuti Bumi menginspirasi novel-novel misteri legendaris misalnya, 'Darkness' atau 'Kegelapan' karya Lord Byron, 'The Vampir' atau 'Vampir' karya Dr John Palidori dan novel 'Frankenstein' karya Mary Shelley.

Juga sepeda. Kelaparan dan kurangnya pasokan pangan membuat orang tak mampu menyediakan pakan bagi kuda-kuda tunggangan yang satu-persatu mati karena kurang makan.

Bencana akibat erupsi Tambora menginspirasi pejabat kehutanan Jerman, Karl von Drais menemukan 'kuda-kudaan' yang disusun dari dua roda, tanpa pedal, yang jadi cikal-bakal sepeda.

6 dari 6 halaman

Pengaruh global

Mengutip Wikipedia, tetusan gunung Tambora tahun 1815 mengeluarkan sulfur ke stratosfer, menyebabkan penyimpangan iklim global.

Metode berbeda telah memperkirakan banyaknya sulfur yang dikeluarkan selama letusan: metode petrologi, sebuah pengukuran berdasarkan pengamatan anatomi, dan metode konsentrasi sulfat inti es, menggunakan es dari Tanah Hijau dan Antartika. Perkiraan beragam tergantung dari metode, antara 10 Tg S hingga 120 Tg S.

Pada musim semi dan musim panas tahun 1816, sebuah kabut kering terlihat di timur laut Amerika Serikat. Kabut tersebut memerahkan dan mengurangi cahaya matahari, seperti bintik pada matahari yang terlihat dengan mata telanjang. Baik angin atau hujan tidak dapat menghilangkan "kabut" tersebut. "Kabut" tersebut diidentifikasikan sebagai kabut aerosol sulfat stratosfer.

Pada musim panas tahun 1816, negara di Belahan Utara menderita karena kondisi cuaca yang berubah, disebut sebagai Tahun tanpa musim panas. Temperatur normal dunia berkurang sekitar 0,4-0,7 °C, cukup untuk menyebabkan permasalahan pertanian di dunia.

Pada tanggal 4 Juni 1816, cuaca penuh es dilaporkan di Connecticut, dan dan pada hari berikutnya, hampir seluruh New England digenggam oleh dingin. Pada tanggal 6 Juni 1816, salju turun di Albany, New York, dan Dennysville, Maine.

Kondisi serupa muncul untuk setidaknya tiga bulan dan menyebabkan gagal panen di Amerika Utara. Kanada mengalami musim panas yang sangat dingin. Salju setebal 30 cm terhimpun didekat Kota Quebec dari tanggal 6 sampai 10 Juni 1816.

1816 adalah tahun terdingin kedua di Belahan Bumi Utara sejak tahun 1400 Masehi, setelah letusan gunung Huaynaputina di Peru tahun 1600.[19] Tahun 1810-an adalah dekade terdingin dalam rekor sebagai hasil dari letusan Tambora tahun 1815 dan lainnya menduga letusan terjadi antara tahun 1809 dan tahun 1810.

Perubahan temperatur permukaan selama musim panas tahun 1816, 1817 dan tahun 1818 sebesar -0,51, -0,44 dan -0,29 °C, dan juga musim panas yang lebih dingin, bagian dari Eropa mengalami badai salju yang lebih deras.

Perubahan iklim disalahkan sebagai penyebab wabah tifus di Eropa Tenggara dan Laut Tengah bagian timur di antara tahun 1816 dan tahun 1819. Banyak ternak meninggal di New England selama musim dingin tahun 1816-1817. Suhu udara yang dingin dan hujan besar menyebabkan gagal panen di Kepulauan Britania.

Keluarga-keluarga di Wales mengungsi dan mengemis untuk makanan. Kelaparan merata di Irlandia utara dan barat daya karena gandum, haver dan kentang mengalami gagal panen. Krisis terjadi di Jerman, harga makanan naik dengan tajam.

Akibat kenaikan harga yang tidak diketahui menyebabkan terjadinya demonstrasi di depan pasar dan toko roti yang diikuti dengan kerusuhan, pembakaran rumah dan perampokan yang terjadi di banyak kota-kota di Eropa. Ini adalah kelaparan terburuk yang terjadi pada abad ke-19. Wallahua'lam.

Tim Rembulan