Liputan6.com, Jakarta Berpuasa di Bulan Ramadan hukumnya wajib. Mencari nafkah juga wajib walau terkadang harus membutuhkan tenaga ekstra.
Namun, kewajiban puasa itu tidak bermaksud menghalangi manusia untuk mencari nafkah.
Adakalanya aktivitas mencari nafkah ini memerlukan tenaga besar dan kondisi fisik yang prima. Bagi sebagain orang pada profesi tertentu puasa dapat mengurangi tenaga yang diperlukan.
Advertisement
Baca Juga
Pada dasarnya, apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya mampu dilakukan manusia (umat Islam). Tidak mungkin Allah membebankan sesuatu di luar kemampuan manusia.
Dalam pelaksanaan kewajiban beribadah, Islam juga mengukur dengan kemampuan individu. Inilah yang dimaksud dengan rukhsah (keringanan).
Lalu bolehkah pekerja berat tidak berpuasa pada saat Bulan Ramadan?
Dilansir dari laman resmi Muhammadiyah, idealnya selama bulan Ramadan umat Muslim hendaknya bekerja disesuaikan dengan kemampuan fisik yang sedang puasa.
Jika tidak mampu berpuasa, selama itu tidak dibuat-buat, dan jika dipaksa bisa menimbulkan petaka (sakit), maka tidak berdosa.
Allah melarang umat manusia mencelakakan dirinya sendiri, sebagaimana yang difirmankannya:
البقرة:١۹٥…وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ …
“…Wa lā tulqụ bi`aidīkum ilat-tahlukati wa aḥsinụ…,”
Artinya: “…dan janganlah kamu mencampakkan dirimu ke dalam kebinasaan…” (QS Al-Baqarah: 195)
Banyak para ulama yang menggolongkan para pekerja berat ke dalam kelompok ‘orang-orang yang tidak mampu berpuasa’.
Dalam QS Al Baqarah ayat 185 diatas, mereka seumpama yang dimksud adalah para pekerja tambang, para abang becak, para masinis, para sopir sehari-hari menjalani pekerjaan berat dapat dimasukkan ke dalam kelompok ini, sehingga boleh tidak berpuasa sejak pagi hari.
Ketidakmampuan berpuasa tersebut bisa digantikan dengan membayar fidyah. Akan tetapi jika punya kesempatan untuk mengqadha maka lebih baik mengqadha puasa di lain hari.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Syarat dan Ketentuan
Sementara itu, menurut kitab Bughyatul Mustarsyidin, halaman: 141, Darul Kutub Al-Ilmiyah menerangkan, pekerja berat tidak boleh tidak berpuasa kecuali memenuhi beberapa persyaratan:
لا يجوز الفطر لنحو الحصاد وجذاذ النخل والحراث إلا إن اجتمعت فيه الشروط. وحاصلها كما يعلم من كلامهم ستة : أن لا يمكن تأخير العمل إلى شوال، وان يتعذر العمل ليلا، أو لم يغنه ذلك فيؤدي إلى تلفه أونقصه نقصا لا يتغابن به, وان يشق عليه الصوم مشقة لا تحتمل عادة بأن تبيح التيمم أو الجلوس في الفرض خلافا لابن حجر، وان ينوي ليلا ويصبح صائما الا عند وجود العذر، وان ينوي الترخص بالفطر ليمتاز ليمتاز الفطر المباح عن غيره
Dilansir dai NU Online, tidak diperbolehkan membatalkan puasa bagi pekerja kecuali memenuhi enam syarat antara lain:
1. Pekerjaannya tidak bisa dikerjakan di waktu malam, atau bisa dikerjakan pada malam hari akan tetapi akan mengalami kerugian atau malah menyebabkan rusaknya panen.
2. Tidak bisa ditunda sampai pada bulan Syawal.
3. Bila berpuasa akan merasa sangat kepayahan.
4. Harus niat pada malam hari dan baru boleh berbuka ketika merasa sangat payah.
5. Ketika berbuka harus niat dengan memperoleh kemurahan.
6. Bekerja bukan dengan tujuan agar mendapatkan keringanan.
Perihal pekerja berat, Syekh Said Muhammad Ba’asyin dalam Busyrol Karim mengatakan,
ويلزم أهل العمل المشق في رمضان كالحصادين ونحوهم تبييت النية ثم من لحقه منهم مشقة شديدة أفطر، وإلا فلا. ولا فرق بين الأجير والغني وغيره والمتبرع وإن وجد غيره، وتأتي العمل لهم العمل ليلا كما قاله الشرقاوي. وقال في التحفة إن لم يتأت لهم ليلا، ولو توقف كسبه لنحو قوته المضطر إليه هو أو ممونه علي فطره جاز له، بل لزمه عند وجود المشقة الفطر، لكن بقدر الضرورة. ومن لزمه الفطر فصام صح صومه لأن الحرمة لأمر خارج، ولا أثر لنحو صداع ومرض خفيف لا يخاف منه ما مر.
Artinya: “Wajib bagi para pekerja untuk tetap niat berpuasa di malam hari hingga bila di tengah puasanya mengalami kepayahan dan ada kekhawatiran akan membahayakan jiwanya, maka ia diperbolehkan untuk membatalkan puasanya.” (Lihat Syekh M Said Ba’asyin, Busyrol Karim, Darul Fikr, Beirut).
Status wajib puasa bagi pekerja juga dapat ditemukan dari Syeikh M Nawawi Al-Bantani dalam karyanya Nihayatuz Zain fi Irsyadin Mubtadi’in:
فللمريض ثلاثة أحوال إن توهم ضررا يبيح التيمم كره له الصوم وجاز له الفطر وإن تحقق الضرر المذكور أو غلب على ظنه أو انتهى به العذر إلى الهلاك أو ذهاب منفعة عضو حرم الصوم ووجب الفطر وإن كان المرض خفيفا بحيث لا يتوهم فيه ضررا يبيح التيمم حرم الفطر ووجب الصوم ما لم يخف الزيادة وكالمريض الحصادون والملاحون والفعلة ونحوهم
Artinya, “Ulama membagi tiga keadaan sakit. Pertama, kalau misalanya penyakit diprediksi kritis yang membolehkannya tayammum, maka makruh untuk berpuasa. Ia diperbolehkan tidak berpuasa. Kedua, jika penyakit kritis, yang dapat menyebabkannya kehilangan nyawa atau menyebabkan disfungsi salah satu organ tubuhnya, maka penderita haram berpuasa. Ia wajib membatalkan puasanya. Ketiga, kalau sakit ringan yang sekiranya tidak sampai keadaan kritis yang membolehkannya tayammum, haram membatalkan puasanya. Sama status hukumnya dengan penderita sakit adalah buruh tani, petani tambak garam, buruh kasar, dan orang-orang dengan profesi seperti mereka,” (Lihat Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani, Nihayatuz Zein fi Irsyadil Mubtai’in, Al-Ma’arif, Bandung, Tanpa Tahun, Halaman 189).
Dari beberapa keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa pekerjaan seberat apapun, kewajiban puasa Ramadhan tetap harus dijalankan.
Sedangkan bila di tengah pekerjaan ia mengalami kepayahan yang luar biasa, maka ia diperbolehkan membatalkan puasanya.
Advertisement