Liputan6.com, Jakarta - Saat bulan suci Ramadhan dimulai, umat Muslim mempunyai kewajiban untuk berpuasa. Namun Habiba berkata bahwa dia "takut" untuk memikirkan puasa Ramadhan tahun ini.
Hal ini karena Habiba mempunyai pola makan yang tidak teratur, dan akhirnya berubah menjadi penyakit bulimia. Selama masa remajanya, dia mengidap penyakit yang membuatnya makan berlebihan dan kemudian memuntahkannya karena merasa "bersalah".
Baca Juga
Ritual puasa untuk pantang makanan dan minuman dari matahari terbit hingga terbenam, kata Habiba, dapat memperburuk kebutuhannya untuk membatasi makan dan dapat menarik dia kembali ke siklus kebiasaan yang tidak sehat.
Advertisement
Namun jika dia memilih untuk tidak berpuasa, rasanya seperti mengabaikan bagian penting dari keyakinannya, katanya lagi.
"Saya tidak percaya diri untuk berpuasa karena saya tahu ... saya akan mulai menikmati rasa lapar dan saya takut apa yang akan terjadi pada saya," kata wanita Inggris berusia 30 tahun itu kepada CNNÂ yang dikutip Senin (27/3/2023).
Habiba meminta CNN untuk menggunakan hanya nama depannya untuk alasan privasi.
"Saya memang merasa sedih. Saya merasa seperti kehilangan pengalaman yang benar-benar spiritual."
Habiba masih berusia sembilan tahun ketika dia pertama kali ingin membuat dirinya sakit secara sengaja. Pada usia sekitar 16 tahun, dia melewatkan jam makan, melacak kalori, pingsan karena lapar, berolahraga berlebihan dan muntah setidaknya 15 kali sehari.
"Saya berharap tidak ada orang yang mengidap sesuatu seperti bulimia, karena itu seperti kecanduan dan tidak mudah untuk berhenti."
Namun kenyataannya, banyak yang mengalami hal itu.Â
Ditambah dengan adanya marginalisasi ketika mencari dukungan dalam komunitas mereka sendiri, banyak dokter dan psikolog Muslim yang mencoba mengisi kesenjangan antara pemimpin agama dan jemaah seperti Habiba.
"Minoritas kurang terwakili. Bukannya mereka tidak memiliki gangguan makan, tetapi ada stigma pada siapa yang datang untuk mencari bantuan," kata Dr. Omara Naseem, seorang psikolog konseling berbasis di Inggris yang berspesialisasi dalam mengobati gangguan makan.
Ini adalah penyakit tak terlihat dan tidak pandang bulu yang melampaui usia, agama, jenis kelamin, dan seksualitas, tambahnya. "Merawat tubuh dan kesehatan adalah ibadah. Karena itu, pergi dan dapatkan bantuan tepat yang Anda butuhkan" jelas Dr. Omara Naseem.
Apa yang Dirasakan Pengidap Bulimia Saat Puasa
Selama bulan Ramadhan, umat Muslim dianjurkan untuk mengonsumsi makanan seimbang sebelum matahari terbit dan kemudian berbuka puasa dengan kurma dan air saat matahari terbenam, diikuti dengan asupan makan yang lebih besar.
Namun, tindakan berpuasa itu mirip dengan pola diet ketat yang dialami orang pengidap gangguan makan, kata Dr. Naseem. Mengontrol diri dan mengalami rasa lapar saat berpuasa dapat menimbulkan keinginan untuk makan sebanyak-banyaknya dengan terlalu cepat saat iftar (berbuka puasa).
Hal ini akan menimbulkan perasaan di luar kendali dan "malu", menciptakan "binge purge cycle" dan memundurkan waktu pemulihan untuk berhenti kebiasaan bingeing dan muntah, tambahnya.
Binge purge cycle artinya episode makan berlebihan yang tidak terkendali (disebut bingeing) dan diikuti dengan pembersihan melalui muntah yang diinduksi sendiri.
Berdasarkan Al-Qur'an, orang yang sakit itu tidak diwajibkan untuk berpuasa, selama mereka mengganti puasa setelah sehat atau memberi makan umat Islam yang kurang mampu sepanjang bulan.
Oleh karena itu, jika seseorang memiliki penyakit atau kondisi yang diverifikasi oleh seorang profesional medis, mereka tidak diwajibkan berpuasa, kata Imam Nadim Ali, seorang Muslim yang juga pemimpin agama dan konselor profesional berlisensi yang berbasis di Atlanta, Georgia.
Namun, tabu komunitas dan masyarakat luas merasa bahwa penyakit kesehatan mental tidak sama dengan penyakit yang dialami secara fisik.
Itu berarti mereka yang memilih untuk tidak berpuasa karena penyakit kesehatan mental, jadi harus menghadapi "rasa bersalah dan malu" dari komunitas mereka dan masyarakat luas.
Hal ini menambahkan rasa stress, yang merupakan salah satu faktor timbulnya penyakit bulimia.
Advertisement
Mencari Pertolongan yang Tepat
Habiba bercerita tentang pengalaman masa kecil ketika tubuhnya terus-menerus dikritik oleh keluarga besarnya, sebuah perilaku budaya yang seringkali dialami gadis Asia Selatan dan Muslim saat masa pertumbuhan.
Saat berusia 15 tahun, dia ingat pamannya mengatakan bahwa dia "tambah gemuk" setelah kembali liburan. "Komentar seperti itu melekat selamanya," katanya. Selama tahun-tahun berikutnya, berat badannya turun drastis.
Pada waktu yang bersamaan, dia mengingat bahwa dia tidak diperbolehkan main skateboard di luar dengan sepupu laki-lakinya. Sebaliknya, dia dorong untuk bergaul dengan teman-teman perempuannya bermain riasan.
Dia yakin gangguan makannya merupakan respons terhadap tekanan untuk menyesuaikan diri dengan peran gender ketat yang ditetapkan oleh komunitasnya dan masyarakat luas.
Ketika dia berusia sekitar 16 tahun, Habiba mengatakan gejala gangguan makannya memburuk sampai orang tua membawa dia ke dokter dan menerima perawatan psikiatri rawat jalan di unit kesehatan mental anak-anak hingga berusia 18 tahun. Kemudian dia dipindahkan ke unit kesehatan mental dewasa.
Namun, dia mengatakan perbedaan budaya antara dirinya dan terapis kulit putih yang menjadi psikiater dia saat itu, membuatnya tidak dapat memahami tekanan dari komunitasnya yang dia rasakan saat itu.
"Saya memiliki terapis kulit putih yang tidak mengerti masalah saya dan benar-benar akan menjadi sangat merendahkan, terhadap hal-hal yang ingin saya bicarakan atau perjuangkan."
Farheen Hasan, seorang psikolog penelitian berusia 27 tahun yang berbasis di Bristol, setuju bahwa terapis perlu memahami tekanan budaya tertentu.
"Saya pikir kami membutuhkan akses ke terapis yang memahami budaya, agama, dan perjuangan kami – dan yang dapat memberikan bimbingan dan dukungan profesional," kata Farheen Hasan, kepada CNN melalui email.
Hasan sendiri mengalami penyakit ini saat usia 18 tahun, seperti mempunyai pola makan yang tidak teratur berupa menghindari makanan, berolahraga berlebihan, dan terobsesi dengan makan sehat. Setiap tahunnya, dia juga menghadapi pergumulan internal tentang apakah akan berpuasa selama Ramadhan atau tidak.
Stigma Dalam Masyarakat
Kisah Habiba dan Hasan mencerminkan tantangan sistemik yang dihadapi banyak orang dari komunitas yang kurang terlayani ketika mengakses dukungan kesehatan mental.
Meskipun orang kulit berwarna memiliki tingkat gangguan kesehatan mental yang lebih tinggi daripada orang kulit putih, mereka menghadapi perbedaan yang besar dalam mendapatkan bantuan karena diskriminasi institusional dan rasisme.
Orang kulit hitam, pribumi, dan kulit berwarna secara signifikan lebih kecil kemungkinannya daripada orang kulit putih untuk ditanyai mengenai gejala gangguan makan, menurut sebuah laporan oleh US National Association of Anorexia Nervosa dan Gangguan Terkait.
Halima Eid, seorang konselor klinis profesional berlisensi dan salah satu pendiri AMALY, sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di California bertujuan untuk menantang stigma seputar kesehatan mental di komunitas Muslim, mengatakan akan sulit bagi orang-orang untuk mengakses informasi yang mereka butuh.
Halima mendirikan AMALY pada tahun 2020 untuk menawarkan layanan terapi yang disesuaikan dengan komunitas Muslim setempat di San Diego, California. Dia juga menawarkan layanan online yang menjangkau Muslim secara global.
Musim semi lalu, dia membentuk kelompok pendukung virtual untuk membantu umat Islam dengan gangguan makan saat mereka menjalani Ramadhan. Dia mengatakan bahwa terdapat sekitar 30 orang Muslim yang awalnya terdaftar dari AS, Australia, dan Inggris. Dia berniat menjalankan grup yang sama tahun ini.
"Ini adalah pengalaman yang sangat sepi untuk menderita penyakit atau kelainan apa pun sendirian," kata Halima. "Kemudian ada rasa bersalah bahwa mereka tidak menyenangkan Allah dan mereka tidak menjadi Muslim yang baik. Jadi, kami menantang perfeksionisme dalam Islam, perfeksionisme sebagai Muslim selama Ramadhan, karena banyak orang yang berjuang."
Hasan, psikolog riset yang berbasis di Bristol, mengatakan umat Islam dalam posisinya membutuhkan "penerimaan sosial" dari tokoh masyarakat.
"Banyak tekanan dan kerugian mental yang akan berkurang bila kita memiliki penerimaan dan pengakuan di komunitas bahwa orang berjuang dengan cara yang berbeda, dan kita harus memahami dan menerima mereka, bukan menstigmatisasi mereka," katanya.
"Islam adalah agama yang tidak ingin orang membahayakan hidup mereka untuk melakukan ibadah," katanya Hasan. "Saya pikir yang penting bagi kita para pemimpin agama untuk dapat menunjukkan empati kepada yang terkecil di antara kita, yang paling rentan di antara kita."
Advertisement