Liputan6.com, Jakarta - Pada bulan Ramadhan, umat Islam dianjurkan untuk meningkatkan ibadah, baik pada siang maupun malam hari. Sejumlah aktivitas yang biasa dilakukan dengan leluasa di luar bulan Ramadhan mesti dibatasi.
Salah satunya yakni pemenuhan kebutuhan biologis atau seks. Hubungan intim suami dan istri mau tak mau harus menyesuaikan aturan-aturan di bulan Ramadhan.
Advertisement
Baca Juga
Suami istri lazimnya akan berhubungan intim pada malam hari. Bahkan, seringkali saat santap sahur pun mereka belum mandi junub.
Namun, kebanyakan lebih memilih langsung mandi junub begitu usai melakukan hajatnya.
Mandi di tengah malam atau dinihari tentu menjadi tantangan tersendiri, terlebih kini berbagai wilayah Indonesia sedang musim hujan. Apalagi di daerah dataran tinggi yang memang bersuhu dingin,
Mandi air hangat kemudian menjadi pilihan. Lantas, bolehkah mandi junub dengan air hangat?
Saksikan Video Pilihan Ini:
Hukum Mandi dengan Air Hangat
Mengutip laman NU, berdasarkan literatur yang ada, tidak terdapat ayat-ayat al-Quran dan sunah Nabi yang menyatakan bahwa tidak sah mandi junub dengan air hangat yang telah kita panaskan dengan panci, periuk, dan sebagainya. Tentu tidak kemasukan benda-benda najis, sepertidarah, bangkai, kotoran manusia atau benda najis lainnya.
Di antara dalil yang menunjukkan boleh mandi junub dengan air hangat adalah dari Aslam al-Qurasyiy al-‘Adawy, mantan budak Umar bin Khattab r.a, beliau bercerita:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ يَغْتَسِلُ بِالْمَاءِ الْحَمِيمِ
“Sesungguhnya Umar dahulu mandi dari air yang hangat.” (HR Abdurrazzaq) Ibnu Hajar mengatakan sanadnya sahih
Ibnu Hajar menjelaskan:
وأما مسألة التطهر بالماء المسخن فاتفقوا على جوازه الا ما نقل عن مجاهد
“Masalah bersuci dengan air hangat, para ulama sepakat boleh kecuali riwayat dari Mujahid.” (Fathul Bari, 1:299)
Kemudian terdapat riwayat dari Atha’ bahwa beliau mendengar Ibnu Abbas r.a mengatakan:
لَا بَأْسَ أَنْ يُغْتَسَلَ بِالْحَمِيمِ وَيُتَوَضَّأُ مِنْهُ
“Boleh seseorang mandi atau wudu dengan air hangat.” (HR Abdurrazzaq)
Adapun hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha, yang mengatakan:
دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ سَخَّنْتُ مَاءً فِي الشَّمْسِ ، فَقَالَ : لَا تَفْعَلِي يَا حُمَيْرَاءُ فَإِنَّهُ يُورِثُ الْبَرَصَ
“Rasulullah saw masuk menemuiku sementara saya telah menghangatkan air dengan sinar matahari. Maka beliau bersabda: jangan kamu lakukan itu wahai Humaira (Aisyah) karena itu bisa menyebabkan penyakit sopak.”
Perihal hadis Nabi SAW dari Aisyah RA para ulama hadis berpendapat bahwa hadis di atas memang tidak dikategorikan oleh para ulama hadis dalam tingkatan shahih, namun hadis ini dapat digunakan sebagai acuan untuk meraih kesempurnaan dalam beramal (fadhail al-a’mal).
Advertisement
Boleh Menggunakan Air Hangat untuk Mandi Junub
Oleh karena itulah Imam ar-Rafi’i menjadikan hadis ini sebagai acuan penetapan hukum bersuci dengan menggunakan air panas karena terik matahari hukumnya makruh.
Pandangan ini tentu berbeda dengan ketiga madzhab lain (selain madzhab Syafi’i) yang tidak menghukumi makruh atas penggunaan air panas karena terik matahari untuk bersuci. Pendapat dari salah seorang imam besar dalam madzhab Syafi’i ini adalah bentuk kehati-hatian dalam menjalankan syariat dan ternyata selaras dengan pandangan para dokter yang menyebutkan adanya efek samping penggunaan air panas seperti munculnya penyakit kulit dan penyakit-penyakit lain.
Sejatinya hukum kemakruhan dalam madzhab Syafii ini tidak serta merta disepakati secara bulat, diantara mereka masih terdapat perbedaan pendapat. Imam Nawawi tidak sepakat dengan pendapat yang menganggap bahwa bersuci dengan air panas akibat terik matahari hukumnya makruh.
Beliau berpendapat bahwa menggunakan air panas karena terik matahari hukumnya boleh. Begitu juga dengan air panas atau hangat karena alat pemanas listrik atau kompor gas.
Para ulama yang berpandangan mengenai kemakruhan penggunaan air panas atau hangat tersebut juga memberikan banyak catatan sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih madzhab Syafi’i seperti Al-Bujairaimi, Kifayat al-Ahyar, Al-Bajuri dan lain-lain.
Diantara catatan yang menjadi titik tekan adalah apabila dalam penggunaan air tersebut berdampak negatif atau berpotensi negatif bagi penggunanya, seperti penderita jenis penyakit tertentu yang tidak diperkenankan menggunakan air panas atau akan bertambah sakit jika menggunakan air hangat atau perubahan suhu tubuh yang begitu drastis pasca mandi maupun wudhu.
Hukum kemakruhan ini juga berlaku pula pada air yang sangat panas dan air yang sangat dingin meskipun dengan perantara selain matahari sebagaimana dijelaskan dalam kitab Bujairimi ‘Ala al-Khatib:
فَالْجُمْلَةُ ثَمَانِيَةٌ كَمَا فِي شَرْحِ م ر. وَهِيَ الْمُشَمَّسُ وَشَدِيدُ الْحَرَارَةِ وَشَدِيدُ الْبُرُودَةِ، وَمَاءُ دِيَارِ ثَمُودَ إلَّا بِئْرَ النَّاقَةِ، وَمَاءُ دِيَارِ قَوْمِ لُوطٍ، وَمَاءُ بِئْرِ بَرَهُوتَ، وَمَاءُ أَرْضِ بَابِلَ، وَمَاءُ بِئْرِ ذَرْوَانَ. اهـ
Artinya: “Jumlah air yang makruh digunakan ada delapan sebagaimana terdapat dalam penjelasan Muhammad Ar-Ramli yaitu air musyammas (panas karena terik matahari), air sangat panas, air sangat dingin, air kaum tsamud, air kaum Luth, air sumur Barahut, air Babilonia, dan air sumur Dzarwan.”
Berdasarkan keterangan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa hukum mandi dengan menggunakan air hangat yang dipanaskan dengan panci, periuk, dan sebagainya dibolehkan. Hanya saja perihal air yang dipanaskan oleh terik matahari dalam hal ini ulama berpeda pendapat, yakni ada yang mengatakan makruh dan ada yang membolehkannya.
Tim Rembulan