Sukses

Meriam Raksasa dari Desa di Atas Air Sebagai Penanda Waktu Buka Puasa

Sebuah kawasan di atas air yang bernama Jantur di Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki tradisi unik jelang berbuka puasa yakni Meriam Raksasa.

Liputan6.com, Kutai Kartanegara - Ada tradisi unik di Bulan Ramadan menjelang berbuka puasa di kawasan Jantur, Kecamatan Muara Muntai, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Namanya meriam kayu. Warga setempat menyebutnya leduman.

Jantur adalah sebuah kawasan di atas air yang terdiri dari tiga desa. Secara umum kawasan dengan penduduk lebih dari 7 ribu jiwa ini hidup di atas air.

Tradisi laduman atau meriam kayu ini bertahan sejak 50 tahun lalu. Dahulu, karena tak ada listrik, penanda waktu berbuka puasa adalah suara-suara yang bisa didengar hingga jauh.

Di Jantur, ada tiga desa yang berdiri di sisi selatan Danau Jempang. Danau ini merupakan danau terluas di Kalimantan Timur dengan luas 15 ribu hektar. Ketiga desa tersebut adalah Desa Jantur, Desa Jantur Selatan, dan Desa Jantur Baru.

Lokasinya cukup terpencil karena tak ada akses jalan darat sama sekali. Untuk keluar masuk kawasan ini, hanya melalui Sungai Mahakam menuju Danau Jempang.

Seperti biasa, sejak pukul 17.00 Wita, sejumlah pemuda dari Desa Jantur Selatan menyiapkan dua meriam yang terbuat dari batang pohon. Ukurannya sebesar pelukan orang dewasa dengan panjang mencapai 10 meter.

Dua meriam ini di taruh di dermaga di depan Masjid Jam’iyatuttaqwa. Meriam kayu diposisikan saling bersebelahan dengan moncong meriam saling berlawanan.

“Kami menyebutnya batang kayu pohon nangka,” kata Penyuluh Agama Desa Jantur Selatan, Muhriadi.

Liputan6.com hadir langsung melihat tradisi ini dan menyaksikan persiapan mereka. Tak hanya dari Desa Jantur Selatan, warga dari dua desa lainnya juga ikut membantu.

Karena berukuran besar, sebelum digunakan, meriam kayu ini harus dibersihkan. Pembersihan dilakukan agar suara yang dikeluarkan tetap menggelegar.

10 menit jelang waktu buka puasa, batu karbit yang sudah dipecah menjadi lebih kecil dimasukkan ke dalam meriam. Setelah dimasukkan, lubang yang dijadikan sumbu dan ujung meriam ditutup rapat dengan kain.

Saat waktu berbuka tiba, penutup kain dibuka. Seperti meriam pada umumnya, sebuah kayu yang sudah digumpal kain di ujungnya akan dibakar.

Saat lubang sumbu dibakar, suara menggelegar terdengar keluar dari meriam. Beberapa detik kemudian, meriam kedua juga dibunyikan.

Simak juga video pilihan berikut:

2 dari 3 halaman

Tradisi Sejak 50 Tahun Lalu

Dahulu, kawasan terpencil di pedalaman Kalimantan kebanyakan kesulitan akses listrik. Puluhan tahun mereka hidup tanpa penerangan listrik yang memadai.

“Sebagai penanda berbuka, meriam kayu inilah solusinya,” kata Muhriadi.

Meski kini desa-desa di Jantur sudah dialiri listrik 24 jam, tradisi ini tetap dipertahankan. Muhriadi mengklaim, suara ledakan meriam kayu dari desanya bisa didengar hingga radius 30 kilometer.

“Dahulu warga sangat bergantung dengan suara leduman ini. Karena sudah jadi tradisi, tetap kita pertahankan,” sambungnya.

Tiga desa di Jantur hidup bergantung dari ekosistem air tawar. Meski terpencil, rata-rata masyarakatnya tergolong sejahtera.

Profesi sebagai nelayan air tawar, baik nelayan tangkap maupun budidaya, membuat warganya bisa hidup sejahtera meski berada di kawasan terpencil.

“Bayangkan saja, di Desa Jantur Selatan saja ada 2 ribu kepala keluarga. Itu baru satu desa,” sebutnya.

Hasil ikan air tawar olahan warga Jantur dikirim hingga ke Banjarmasin dan Surabaya. Kebanyakan sudah berupa ikan asin. Ikan Biawan menjadi favorit hasil produksi warga di tiga desa ini.

3 dari 3 halaman

Kesulitan Kayu

Meski sudah menjadi tradisi, warga Jantur masih kesulitan untuk mendapatkan pohon kayu nangka air. Sebab, setiap tahun mereka harus mencari batang pohon baru.

“Batang pohon ini tidak bisa digunakan untuk tahun berikutnya, jadi harus cari lagi untuk tahun depan,” kata Muhriadi.

Ramadhan tahun lalu, warga Jantur tak merasakan tradisi ini. Upaya pencarian Pohon Nangkai Air gagal sehingga penanda berbuka puasa diganti sirine.

“Tahun ini pencariannya dilakukan lebih awal, lebih jauh dari kedatangan Bulan Ramadan sehingga bisa dilaksanakan,” sambungnya.

Rencananya, untuk Ramadhan tahun depan, pencarian batang kayu akan dilakukan tiga bulan sebelum Ramadan datang. Sebab mencari Pohon Nangka Air tak semudah dahulu.

“Kita harus masuk jauh lagi ke pedalaman hingga Kutai Barat untuk mendapatkanya,” katanya.