Sukses

Musafir Boleh Tidak Puasa? Simak Dalil dan Penjelasannya

Islam memiliki ketentuan khusus bagi orang yang berpuasa selama bulan Ramadan maupun di waktu lain

Liputan6.com, Jakarta Berpuasa pada bulan Ramadan wajib hukumnya bagi setiap muslim yang sudah akil baligh

Namun, bagi orang-orang yang tidak mampu, boleh tidak puasa. Seperti para musafir yang melakukan perjalanan jauh. 

Islam memiliki ketentuan khusus bagi orang yang berpuasa selama Bulan Ramadan maupun di waktu lain. Dirangkum dari berbagai sumber, Islam memberi toleransi bagi umatnya yang sedang musafir.

Terdapat beberapa dalil mengenai keutamaaan puasa bagi musafir. Bahkan, ada beberapa dalil yang memperbolehkan tidak puasa bagi kaum musafir:

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“fa mang kāna mingkum marīḍan au 'alā safarin fa 'iddatum min ayyāmin ukhar,”

Artinya: “Barangsiapa di antara kalian sedang sakit atau perjalanan, maka gantinya adalah pada hari-hari yang lain.” (QS Al-Baqarah: 184).

Salah satu hadis dari Ka’b bin Ashim menyebutkan, Rasulullah bersabda: 

لَيْس لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ

Artinya: “Tidak ada kebaikannya sama sekali puasa bagi orang yang sedang bepergian.” (Sunan Ibni Majah, juz 1, halaman 1664).

Menurut pengikut Mazhab Dzahiri, hadis itu menyatakan orang yang bepergian tidak sah puasanya. Namun bagi sebagian ulama, puasanya tetap sah karena melihat perilaku Rasulullah saw saat pergi di bulan Ramadhan terkadang berpuasa, sementara di lain waktu tidak puasa.

Keutamaan puasa bagi musafir, Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i menyatakan jika masih kuat, lebih baik berpuasa.

وَقَالَ جَمَاهِير الْعلمَاء وَجَمِيع أهل الْفَتْوَى يجوز صَوْمه فِي السّفر وَينْعَقد ويجزيه وَاخْتلفُوا فِي ان الصَّوْم أفضل أم الْفطر أم هما سَوَاء فَقَالَ مَالك وَأَبُو حنيفَة وَالشَّافِعِيّ وَالْأَكْثَرُونَ ان الصَّوْم أفضل لمن اطاقه بِلَا مشقة ظَاهِرَة وَلَا ضَرَر فَإِن تضرر بِهِ فالفطر أفضل

Artinya: “Menurut mayoritas ulama dan semua ahli fatwa, orang musafir boleh berpuasa dan puasanya mengikat keabsahannya. Para ulama hanya berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama antara puasa atau tidak atau masing-masing mempunyai kedudukan hukum yang seimbang bagi orang musafir? Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i serta mayoritas ulama menyatakan puasa lebih utama bagi orang yang kuat, tidak merasakan kepayahan. Bagi yang tidak kuat, tidak puasa lebih utama.” (Syarah Ibni Majah, halaman 120).

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Berangkat Setelah Subuh

Lalu bagaimana hukum orang yang pergi dengan tujuan jarak jauh, namun berangkatnya dari rumah setelah subuh?

Ada dua kriteria rukhshah (dispensasi/keringanan) bagi umat muslim untuk tidak berpuasa, yakni, berjarak 88,749 km dan sudah meninggalkan rumah sebelum subuh.

Hal ini penting supaya orang yang berpuasa tersebut tidak menyandang dua status sekaligus, yakni, status sebagai orang yang ada di rumah dan bepergian pad siang hari. Jika ada orang yang melakukan hal tersebut, maka statusnya sebagai musafir tidak penuh. Hal ini akan berdampak bahwa ia tidak boleh membatalkan puasa walaupun perginya sangat jauh di hari itu juga. 

Demikian dikatakan Imam Nawawi:

ومن أصبح في الحضر صائما ثم سافر لم يجز له ان يفطر في ذلك اليوم 

Artinya: “Barangsiapa yang memasuki waktu subuh masih di rumah dalam keadaan berpuasa, baru kemudian pergi, maka ia tidak boleh membatalkan puasanya pada hari itu.” (Al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, [Darul Fikr], juz 6, halaman 260).

Berbeda pendapat dengan Al-Muzani. Ia mengatakan bahwa orang yang pergi jauh di siang hari, di tengah perjalanan, ia boleh membatalkan puasanya. Logikanya seperti orang yang sedang sakit. Orang yang paginya sehat lalu di tengah hari mendadak sakit, boleh membatalkan puasa.

وقال المزني له أن يفطر كما لو أصبح الصحيح صائما ثم مرض فله أن يفطر 

Artinya: “Al-Muzani berkata ‘Bagi orang yang pergi setelah subuh boleh membatalkan puasa sebagaimana orang yang masuk pada waktu subuh dalam keadaan sehat, kemudian mendadak sakit, boleh membatalkan puasa.”

Sementara ulama Mazhab Syafi'i berpendapat hal itu tidak boleh membatalkan puasa. Argumentasinya, kasus orang sakit dengan orang pergi berbeda. Kecuali jika ada orang pergi lalu sakit, hukumnya adalah hukum orang sakit.

والمذهب الأول والدليل عليه انه عبادة تختلف بالسفر والحضر فإذا بدأ بها في الحضر ثم سافر لم يثبت له رخصة السفر كما لو

 دخل في الصلاة في الحضر ثم سافر في اثنائها ويخالف المريض فان ذلك مضطر الي الافطار والمسافر مختار

Artinya: “Yang menjadi acuan serapan mazhab adalah yang pertama. Argumentasinya bahwa ibadah bisa berbeda sebab pergi dan di rumah. Apabila dimulai dari rumah kemudian pergi, maka tidak mendapatkan dispensasi bepergian sebagaimana orang yang shalat di rumah lalu pergi di tengah-tengah waktu shalat itu, hukumnya tidak mendapatkan rukhshah. Berbeda dengan orang yang sakit. Orang yang sakit memang terdesak atau darurat untuk membatalkan puasa sedangkan orang yang pergi itu opsional, bisa memilih.”

Dari keterangan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendapat kuat orang yang pergi setelah memasuki waktu subuh adalah tidak diperkenankan meninggalkan puasa. Jika perginya lebih dari dua hari, maka hari kedua dan seterusnya baru boleh meninggalkan puasa. 

Apabila hari ketiga pulang ke rumah setelah dzuhur sedangkan ia tidak puasa sejak pagi karena pergi, ia tetap wajib imsak (menahan makan minum) hingga waktu maghrib.