Sukses

Peran Lingkungan Geologi pada Perkembangan Islam di Kerajaan Kutai Kertanegara

Jika dilihat dari sudut pandang geologi, Kita bisa melihat perkembangan Islam di Kerajaan Kutai Kartanegara.

Liputan6.com, Samarinda - Sungai Mahakam di Kalimantan Timur memiliki panjang lebih dari 900 kilometer dan lebar kawasan muaranya lebih dari satu kilometer, membuka ke Selat Makassar. Ekosistem Sungai Mahakam tak hanya tentang sungai, tapi juga rawa, danau dan delta.

Peran penting ekosistem Sungai Mahakam bagi masyarakat, utamanya sebagai sarana perhubungan, sumber makanan, mata pencarian atau perekonomian, hingga pemukiman. Kerajaan Kutai Kartanegara adalah kerajaan yang bermula di tepi Sungai Mahakam kawasan Anggana, kabupaten Kutai Kertanegara, pada abad ke-13 dengan trah kerajaan dimulai dari Aji Batara Agung Dewa Sakti.

Kerajaan ini berbeda dengan kerajaan Kutai Martapura yang berpusat di Muara Kaman, bermula di abad ke-4, dengan temuan tujuh prasasti yupa dengan trah kerajaan dimulai oleh Kundungga yang menjadi awal sejarah tulis di Indonesia.

Kerajaan Kutai Kertanegara mengalami tiga kali perpindahan pusat kerajaan, yang terdiri dari satu perpindahan minor dan dua perpindahan mayor. Perpindahan minor terjadi di kawasan Anggana, dari lokasi bukit Jahitan Layar ke lokasi Tepian Batu (Sarip, 2017) berjarak 1000-an meter.

Sebutan bukit Jahitan Layar adalah merujuk ke sisi selatan kawasan perbukitan yang menghadap ke Sungai Mahakam. Perpindahan mayor pusat kerajaan terjadi di masa Sultan Aji Muhammad Idris pada kurun tahun 1732 ke kawasan Pemarangan (Jembayan, kecamatan Loa Kulu) sebelum akhirnya pindah lagi ke Tenggarong pada kisaran tahun 1781 pada masa Sultan Aji Muhammad Muslihuddin (https://samarindakota.go.id/).

Perbukitan Jahetan Layar sendiri memanjang menjauhi Sungai Mahakam, berarah relatif utara-selatan. Sungai Mahakam yang tampak, adalah pecahan sisi utara dari Sungai Mahakam utama, yang jalur sungainya kemudian dikenal sebagai Muara Berau. Sementara pecahan sisi selatan dari Sungai Mahakam utama, disebut sebagai Muara Jawa. Pecahnya alur Sungai Mahakam utama, terjadi ketika muara Sungai Mahakam saat itu ada di kawasan Sungai Mariam dan berhadapan dengan arus Selat Makassar, memecah endapan Sungai Mahakam menjadi gugusan pulau alluvium sejak sekitar enam ribu tahun lalu (Roberts and Sydow, 1996; Bachtiar et al, 2010).

Batuan penyusun perbukitan ini adalah batupasir kuarsa berbutir halus yang mudah tererosi membentuk alur paritan atau tebing yang khas, bagian dari Formasi Kampung Baru yang secara geologi memang didominasi batupasir kuarsa dengan sisipan batulempung dan batubara. Tanah yang terbentuk dari proses pelapukan batuan pada kawasan ini berupa podsolik merah kuning, yang umumnya miskin hara sehingga vegetasinya utamanya berupa ilalang dan perdu.

Selepas Raja Aji Mahkota Islam (1525 – 1589) masuk Islam (https://sapos.co.id/) atas ajakan ulama Tuan Tunggang Parangan, masjid didirikan di tepi Sungai Mahakam, sisi dermaga saat ini (Disparbud Kukar dan Arkenas, 2007). Raja Aji Mahkota Islam dan anak beliau, Raja Aji Dilanggar, kemudian dimakamkan pada bukit yang ada dekat tepi Sungai Mahakam, dengan batuan penyusun berupa batupasir kuarsa berbutir halus yang bersifat karbonan dengan pecahan cangkang kerang besar dan kecil.

Pada sisi dataran rawa belakang sungai berjarak 120 dari makam para raja, terdapat makam Tuan Tunggang Parangan.

Simak juga video pilihan berikut:

2 dari 3 halaman

Penyebaran Islam

Islam kemudian menyebar luas ke penjuru kerajaan Kutai Kertanegara. Penyebarannya utamanya pada kawasan pesisir Sungai Mahakam maupun Selat Makassar, sebagai kawasan yang menjadi tempat pemukiman masyarakat seiring perhubungan utama antar wilayah dilakukan dengan kapal atau perahu. Masjid-masjid berkembang di antara hunian masyarakat pesisir. Pada beberapa kawasan yang dipandang strategis sebagai sumber makanan, pemukiman berkembang di anak Sungai Mahakam maupun kawasan Delta Mahakam/pesisir Selat Makassar.

Kitab “Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara” yang ditulis Khatib Muhammad Thahir tahun 1849 (https://nomorsatukaltim.com/) memuat nama beberapa kampung tua pesisir sungai atau Selat Makassar yang sebagian masih dikenali keberadaannya hingga kini meski ada transliterasi/penyesuaian dialek.

Pada ekosistem endapan fluvial Sungai Mahakam, terdapat nama kampung Pulau Atas, Sambutan, Karang Mumus, Karang Asam, Loa Bakung, Mangkupalas (Kota Samarinda). Pada ekosistem delta Mahakam atau pesisir laut, terdapat beberapa nama yang masih bisa dikenali antara lain Sanga-Sanga, Muara Kembang, Dondang, Tanah Merah (kabupaten Kutai Kartanegara), Manggar (Kota Balikpapan). Wujud peradaban islam pada kampung-kampung pesisir, utamanya berupa sarana peribadatan (langgar/musholla/masjid) dan sarana pemakaman (nisan berhuruf Arab atau kuburan muslim).

Sesuai dengan ekosistem yang ada dan langgam saat itu, sarana peribadatan umumnya menggunakan bangunan panggung berbahan tiang ulin, dinding papan, dengan atap bergaya punden berundak. Masyarakat sudah memahami perilaku lingkungan pemukiman di pesisir pada kondisi pasang surut sungai/laut dan banjir yang dapat mengganggu struktur pondasi atau membanjiri lantai/dinding bangunan.

Bangunan kayu memungkinkan untuk penataan kembali struktur bangunan baik bangunan yang miring maupun peninggian tiang rumah akibat pengaruh abrasi tepi sungai/laut. Pada kawasan tepi sungai yang kemudian bersisian dengan jalan, sarana peribadatan berkembang pesat seiring kelancaran moda perhubungan yang tak hanya perairan tapi juga daratan. Pada ruas Sungai Karang Mumus (Kota Samarinda) dari muara sungai di Jembatan Satu hingga Jembatan Baru yang berjarak 2,7 kilometer, terdapat 13 langgar/ masjid atau berjarak rata-rata 210 meter.

Beberapa masjid kawasan Kota Samarinda di kawasan pesisir sungai yang memiliki sejarah panjang antara lain masjid Shiratal Mustaqiem (Samarinda Seberang), Raya Darussalam (Samarinda Kota), Jami Nurul Huda (Sungai Kunjang).

Pada sarana pemakaman, umumnya juga bertempat tak jauh dari tepi sungai atau laut, baik pada sisi dataran maupun bukitnya. Pada kawasan Samboja (Kutai Kartanegara), terdapat makam pendakwah keturunan Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, yakni Makam Tuan Guru H. Masdar Ahmad Azid (tepi  sungai, kawasan Muara Sembilang) dan K.H. Ahmad Marzuki bin Nuh bin Tamin bin Qadhi H. Abu Naim bin Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari (kawasan muara Sungai Raden).

Pada Kota Samarinda, terdapat makam berkelambu kuning di dekat simpang jalan Slamet Riyadi, Kyai Pagar Alam (Sungai Keledang), Syekh Ahmad Abdul Mukarim bin Tarbi Madinah (Loa Bakung), Keramat Mangkupalas (Samarinda Seberang), Keramat Sungai Kerbau (Selili). Pada kawasan perbukitan, antara lain terdapat makam Makam Habib Abdurrahman bahasyim dan K.H Muhammad Natsir di gunung Selendang (Sanga-Sanga, Kutai Kartanegara).

Bukit tersebut, juga dijadikan sarana kubur sekunder berupa 52 tajau berisi tulang-belulang yang dikubur antara tahun 1530 hingga 1770 (Yudono, 2010) dan menjadikannya kuburan kuno terbesar di Kalimantan, bahkan di Indonesia.  Beberapa makam berada pada pulau tak berpenghuni, seperti makam Wali Yupa di pulau Yupa (Embalut, Kutai Kartanegara), makam Bani bin Yahya (Pulau Senumpak, Kutai Timur).

3 dari 3 halaman

Pusat Pemerintahan dan Pusat Ekonomi

Kota Samarinda yang menjadi pusat niaga utama di Kalimantan Timur, sudah dikembangkan sejak kerajaan Kutai Kertanegara berkuasa, yang memisahkannya dengan pusat pemerintahan yang berkedudukan di Tenggarong. Kini, pemerintah Republik Indonesia melakukan hal serupa. Peran Jakarta ke depan, dominan sebagai pusat perekonomian.

Pusat pemerintahan perlu ada di wilayah yang berbeda. Diinisiasi Presiden Soekarno, dipelihara mimpinya oleh presiden sesudahnya, dan mulai diwujudkan Presiden Joko Widodo, dengan menetapkan sebagian kawasan kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara sebagai pusat pemerintahan yang baru, bernama Ibu Kota Negara (https://ikn.go.id/).

Penulis: Fajar Alam (Kepala Program Studi Teknik Geologi, Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur)