Liputan6.com, Jakarta Sebagai salah satu Walisongo, Sunan Kalijaga pada masa mudanya dikenal sosok yang memiliki perangai buruk dengan sering melakukan aksi pencurian, begal dan perampokan.
Namun keburukan perilakunya didasari keinginannya untuk mngentaskan kemiskinan yang terjadi pada masa kerajaan Majapahit di daerah Tuban.Karena kegemaran Raden Sahid dengan mencuri harta kaum bangsaawan, ayahnya Wilatikta yang seorang Adipati Tuban lalu mengusirnya ke luar daerah.
Baca Juga
Raden Sahid lalu pergi mengembara dan hingga akhirnya ia menetap di Hutan Jatisari (perbatasan antara Kudus dan Pati). Saat di Hutan Jatiwangi, Lasem, Rembang Raden Sahid bertemu lelaki tua yang memiliki tongkat berdaun emas.
Advertisement
Tak disangka orang yang ia temui adalah Sunan Bonang, salah satu Walisongo lainnya. Sunan Kalijagakemudian merampas tongkatnya.
Melihat hal itu, Sunan Bonang justru terharu dengan menasehati Raden Sahid tentang tindakannya yang seakan berniat suci, tetapi dilakukan dengan cara yang kotor.
Sebelum pergi meninggalkan Raden Sahid, dengan rasa iba Sunan Bonang pun mengubah buah kolang-kaling yang masih di pohon menjadi emas. Seketika itu pula Raden Sahid menjadi pengikut sosok yang baru dijumpainya, untuk berguru ilmu kesejatian.
Dari Sunan Bonang, Raden Mas Syahid menyadari bahwa yang dilakukannya adalah perbuatan keliru. Kepedulian pada rakyatnya memang sikap yang mulia, namun karena dilakukan dengan cara yang salah, kepedulian tersebut menjadi sesuatu yang keliru.
Sebagai seorang murid, Raden Sahid sangat patuh pada Sunan Bonang. Bahkan pada saat Sunan Bonang memintanya untuk menunggu di tepi sungai, Raden Sahid tidak pernah beranjak sedikitpun dari tempatnya hingga Sunan Bonang datang kembali. Menurut beberapa literatur, Raden Syahid menunggu selama tiga tahun hingga bertemu kembali dengan gurunya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Menuntut Ilmu Agama
Dalam kisah lain diceritakan bahwa Raden Syahid menunggu Sunan Bonang dengan cara bersemedi di pinggir sungai. Saking khusyuk dan lamanya dia bersemedi, tubuh Raden Sahid tertutup oleh tumbuhan merambat dan semak belukar di sepanjang pinggiran kali.
Ketika Sunan Bonang kembali, beliau awalnya kesulitan mencari muridnya. Namun berkat keyakinan yang kuat dan mata batin yang tajam, Sunan Bonang dapat menemukan Raden Syahid di tempat semula.
Setelah itu, Sunan Bonang mulai mengajarkan ilmu-ilmu agama dan spiritual pada Raden Sahid. Semua ilmu yang diajarkan oleh Sunan Bonang dapat diserap dengan baik oleh Raden Syahid.
Selain itu, dia juga tidak cepat merasa puas dan masih ingin mencari ilmu agama di tempat lain. Untuk memenuhi rasa penasaran muridnya, Sunan Bonang kemudian memperkenalkan Raden Syahid kepada Sunan Ampel dan Sunan Giri.
Saat itu, Raden Syahid tak menyia-nyiakan kesempatan sama sekali, dia menyatakan ingin berguru kepada mereka berdua. Dari dua guru barunya, Raden Syahid mendapatkan ilmu baru dan semakin mengetahui hakikat manusia kepada Sang Pencipta.
Hal itu membuat Raden Sahid memahami dan menguasai kesusastraan Jawa, pengetahuan falak, serta ilmu pranatamangsa (pembacaan cuaca) bahkan ilmu-ilmu ruhaniah dalam ajaran Islam juga beliau kuasai.
Advertisement
Dakwah di Cirebon
Usai memperoleh gelar Sunan Kalijaga, Sunan Bonang menyarankannya untuk pergi haji ke Baitullah. Dalam perjalannnya, ia singgah di Pasai atau Malaka sambil menyebarkan Islam hingga ke Patani, Thailand Selatan.
Di wilayah itu, Raden Syahid juga dikenal sebagai tabib hebat yang bisa menyembuhkan penyakit kulit yang diderita oleh Raja Patani. Berkat popularitasny, Raden Syahid mendapat julukan ‘Syekh Sa’id’ atau “Syekh Malaya”.
Di daerah tersebut, Raden Sahdi juga sempat bertemu dengan Maulana Maghribi dan Nabi Khidir. Mereka menyarankan Sunan Kalijaga untuk kembali berdakwah di Jawa.
“Daripada sekadar melihat Ka’bah bikinan Nabi Ibrahim secara zhahir, yang justru rentan menjadi berhala di hati jika terus terbayang-bayang, alangkah baiknya engkau ajarkan ilmumu kepada masyarakat di Tanah Jawa,” begitu nasehat dari guru barunya.
Sunan Kalijaga menuruti untuk kembali ke Jawa dan memutuskan untuk mengawali dakwah di daerah Cirebon, tepatnya di desa Kalijaga, Kecamatan Harjamukti, hingga Indramayu dan Pamanukan, Subang.