Sukses

Bolehkah Menerima dan Memakan Takjil Buka Puasa Pemberian Nonmuslim? Ini Hukumnya

Urusan memberi dan menerima makanan takjil adalah ranah mu'amalah. Adapun hukum bermu'amalah dengan nonmuslim adalah diperbolehkan sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani.

Liputan6.com, Jakarta Berbagai macam sajian kuliner lokal yang menggugah selera kerap memenuhi setiap sudut Ibu Kota begitu memasuki bulan suci Ramadhan. Ya, itulah kekhasan Ramadhan dalam rupa takjil. 

Tak hanya umat muslim, saudara-saurada nonmuslim pun ikut berburu takjil. Bahkan tak sedikit pula yang berbagi makanan untuk diberikan kepada umat muslim yang tengah berpuasa. Aksi sosial ini biasanya dilakukan di jalan-jalan. 

Inilah salah satu bentuk cerminan toleransi dan saling menghargai antarumat beragama di Tanah Air.  

Lantas, bagaimana hukum menerima dan memakan takjil buka puasa dari nonmuslim? Simak beberapa penjelasan di bawah ini: 

Pertama, pemberian takjil

Pemberian dalam fiqih dikenal dengan beberapa istilah, yakni sedekah, hibah atau hadiah, yang membedakannya adalah niat pemberi juga shighat atau ungkapan saat memberikannya:

والحاصل أنه إن ملك لأجل الاحتياج أو لقصد الثواب مع صيغة، كان هبة وصدقة، وإن ملك بقصد الإكرام مع صيغة، كان هبة وهدية، وإن ملك لا لأجل الثواب ولا الإكرام بصيغة، كان هبة فقط. وإن ملك لأجل الاحتياج أو الثواب من غير صيغة، كان صدقة فقط، وإن ملك لأجل الإكرام من غير صيغة، كان هدية فقط

Artinya, "Walhasil, (1) apabila seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan membantu orang tersebut atau disertai maksud mengharap pahala disertai shigat dalam melakukannya, maka yang demikian dinamakan hibah dan sedekah.

(2) Namun, apabila seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan memuliakannya disertai shigat, maka yang demikian disebut hibah dan hadiah. (3) Apabila seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain tidak dengan maksud mengharap pahala, tidak juga untuk memuliakannya plus menggunakan shigat dalam melakukannya, maka yang demikian dinamakan hibah. (4) Apabila seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan membantu atau disertai maksud mengharap pahala, namun tidak menggunakan shigat, maka yang demikian dinamakan sedekah. (5) Apabila seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan memuliakannya tanpa disertai shigat dalam melakukannya, maka yang demikian disebut hadiah." (Abu Bakar bin Ustman bin Muhammad Syatha Ad-Dimyati, Hasyiyah I'anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr], juz III, halaman 171).

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa status makanan yang diberikan non muslim menurut hukum fiqih berstatus sebagai hibah atau hadiah.

Kedua, soal jenis makananya

Melihat realita yang ada di lapangan, takjil yang dibagi-bagikan adalah roti, makanan siap saji dengan berbagai menu, buah-buahan, minuman kemasan, es dengan berbagai macamnya, kolak dan lain sebagainya. Makanan tersebut berupa makanan halal dikonsumsi oleh orang muslim.

Dari sini dapat dipastikan makanan atau minuman yang dibagikan adalah makanan yang dapat dijamin kehalalannya dan mereka yang nonmuslim sebagai pemberi takjil juga mengetahui akan hal itu. 

2 dari 2 halaman

Ketiga, Hukum Menerima Pemberian Nonmuslim

Urusan memberi dan menerima makanan takjil tentu adalah ranah mu'amalah. Adapun hukum bermu'amalah dengan nonmuslim adalah diperbolehkan sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Kitab Fathul Bari sebagai berikut:

قَالَ بن بَطَّالٍ مُعَامَلَةُ الْكُفَّارِ جَائِزَةٌ إِلَّا بَيْعَ مَا يَسْتَعِينُ بِهِ أَهْلُ الْحَرْبِ عَلَى الْمُسْلِمِينَ الي ان قال وَجَوَازُ قَبُولِ الْهَدِيَّةِ مِنْهُ

Artinya, Ibnu Baththal berkata bahwa melakukan transaksi dengan nonmuslim hukumnya boleh kecuali dalam kasus jual beli sesuatu yang dapat mendukung kafir harbi untuk memerangi kaum muslim, ... dan diperbolehkan menerima hadiah dari non muslim." (Ahmad bin Ali bin Hajar Abu Fadhal Al-Asqalani, Fathul Bari Syarhu Shahih Bukhari, [Bairut, Darul Ma'rifat: 1378 H], juz IV, halaman 410).

Untuk diketahui banyak riwayat yang menceritakan Nabi Muhammad SAW menerima hadiah dari nonmuslim. Salah satunya tertuang dalam hadis Shahih Muslim yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib sebagai berikut:

أَنَّ أُكَيْدِرَ دُومَةَ أَهْدَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَوْبَ حَرِيرٍ، فَأَعْطَاهُ عَلِيًّا، فَقَالَ: شَقِّقْهُ خُمُرًا بَيْنَ الْفَوَاطِمِ، وقَالَ أَبُو بَكْرٍ، وَأَبُو كُرَيْبٍ: بَيْنَ النِّسْوَةِ

Artinya, "Ukaidar Dumah telah memberikan hadiah kepada Nabi SAW pakaian sutera, lalu oleh beliau diberikan kepada Ali seraya bersabda: “Robeklah untuk dijadikan khimar (kerudung) bagi tiga orang Fatimah (Fatimah binti Rasulullah, Fatimah binti Asad, Fatimah binti Hamzah). Abu Bakar dan Abu Kuraib berkata: "Bagi perempuan-perempuan." (HR. Muslim).

Menurut Imam Nawawi pensyarah Shahih Muslim, hadis di atas sebagai dalil kebolehan menerima hadiah dari nonmuslim.

في هذا الحديث جواز قبول هدية الكافر

Artinya, "Dengan hadis ini diperbolehkan menerima hadiah dari nonmuslim." (Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf An-Nawawi, Syarah Nawawi 'ala Muslim, [Beirut: Darul Ihya'it Turats], juz XV, halaman 51).

Penjelasan di atas memberikan pemahaman kebolehan menerima hadiah atau hibah dari nonmuslim yang dalam hal ini berupa makanan takjil untuk berbuka puasa.

Keempat, hukum memakan pemberian nonmuslim

Setelah diketahui kebolehan menerima makanan takjil dari nonmuslim, lantas bolehkan mengonsumsinya, mengingat nonmuslim dalam memperoleh hartanya bisa jadi tidak sesuai dengan aturan syariat Islam atau kita asumsikan mayoritas hartanya haram.

Berikut penjelasan Ibnu Munzir sebagaimana dikutip Ibnu Baththal dalam kitabnya Syarah Shahih Bukhari:

قال ابن المنذر: واختلف العلماء فى مبايعة من الغالب على ماله الحرام وقبول هداياه وجوائزه، فرخصت طائفة فى ذلك ، كان الحسن البصرى لا يرى بأسا أن يأكل الرجل من طعام العشار والصراف والعامل، ويقول: قد أحل الله طعام اليهود والنصار، وأكله أصحاب رسول الله، وقد قال تعالى فى اليهود: أكالون للسحت

Artinya, "Ibnu Mundzir mengatakan, ulama berbeda pendapat perihal mu'amalah dengan orang yang hartanya lebih dominan haram; perihal menerima hadiah dan pemberiannya. Sekelompok ulama memberikan rukhshah. Imam Al-Hasan Al-Bashri berpandangan tidak masalah seseorang mengonsumsi makanan (pemberian) petugas pemungut 1/10 harta, kasir, dan petugas pembayar gaji. Al-Hasan berkata: "Allah menghalalkan makanan orang Yahudi dan Nasrani. Para sahabat Rasulullah SAW juga memakannya. Padahal, Allah telah menyifati orang Yahudi sebagai pemakan riba." (Ibnu Baththal, Syarah Shahih Bukhari, [Riyadh, Maktabah Ar-Rusyd: tt], juz VI, halaman 338).