Sukses

Kisah Ibrahim bin Adham dan Syaqiq Al-Balkhi: Burung yang Patah Sayapnya

Kisah ini bermula dari dialog dua orang sufi terkenal pada masanya yakni Ibrahim bin Adham dan Syaqiq Al-Balkhi tentang pentingnya menyeimbangkan kehidupan spiritual dengan sosial.

Liputan6.com, Jakarta - Dikisahkan pada suatu zaman, dua orang sufi terkenal, Ibrahim bin Adham dan Syaqiq Al-Balkhi bertemu di Makkah. Dalam pertemuan itu, Ibrahim bin Adham berhasil mengubah pemikiran Syaqiq Al-Balkhi.

Hal ini bermula ketika keduanya memulai dialog.

"Bagaimana kisah awal perjalanan spiritualmu?" demikian pertanyaan Ibrahim bin Adham pada Syaqiq, sebagaimana dikisahkan oleh Khalaf bin Buhaim dan dicatat oleh Imam Ibnu Jauzi dalam Kitab 'Uyunul Hikayat. (Ibnu Jauzi, 'Uyunul Hikayat​​​​​​, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1971], halaman 285).

Mendapat pertanyaan itu, Syaqiq langsung menceritakan pengalaman pribadinya yang menjadi titik tolaknya menempuh perjalanan spiritual.

Suatu hari Syaqiq sedang menempuh perjalanan di sebuah gurun. Merasa lelah, ia pun beristirahat untuk mengembalikan energi yang terkuras oleh panasnya terik matahari. 

Saat istirahat, tiba-tiba Syaqiq dikagetkan oleh seekor burung yang jatuh tidak jauh dari tempat istirahatnya. Setelah diperhatikan, ternyata sayap burung itu patah sehingga tidak mampu untuk terbang dan mencari makanan.

"Kita lihat, dari mana burung ini bisa mendapatkan makanan?" gumam Syaqiq dalam hatinya sambil mendekati dan terus memperhatikan burung itu.

 

Saksikan Video Pilihan ini:

2 dari 2 halaman

Jaminan Rezeki Allah Terhadap Makhluk-Nya

Ibrahim bin Adham belum memberikan respons, ia tetap mendengarkan cerita Syaqiq Al-Balkhi. Tiba-tiba, kata Syaqiq, datang seekor burung yang sehat dan normal mendekati burung yang sakit dan terjatuh.

"Burung sehat ini membawa belalang di paruhnya, lalu menyodorkan belalang itu ke paruh burung yang sayapnya patah," sambung Syaqiq.  

Peristiwa tersebut membuat hati Syaqiq tertegun. Ia pun memuji kekuasaan Allah yang telah memberikan rezeki berupa makanan kepada burung yang tak berdaya di tengah gurun.

"Allah juga pasti akan memberiku rejeki di mana pun aku berada," kata Syaqiq penuh keyakinan.

Sejak saat itu, masih kata Syaqiq kepada Ibrahim bin Adham, ia memilih memfokuskan diri untuk beribadah dan tidak bekerja karena yakin bahwa Allah akan tetap memberi rezeki, sebagaimana burung yang sayapnya patah itu.

Setelah Syaqiq selesai bercerita, Ibrahim bin Adham memberikan pertanyaan sekaligus pernyataan yang membuat Syaqiq tercengang.  

“Wahai Syaqiq, mengapa engkau malah memilih menjadi seperti burung yang sayapnya patah itu, mengapa tidak memilih menjadi burung yang sehat dan memberi makan burung yang sakit tersebut?" ucap Ibrahim bin Adham pada Syaqiq.  

 Tidak berhenti di situ, Ibrahim bin Adham juga mengutip hadis Rasulullah SAW

"Tidakkah engkau mendengar bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah?” ucap Ibrahim bin Adham.

"Bukankah di antara tanda seorang mukmin sejati adalah menginginkan satu dari dua derajat yang lebih tinggi dari berbagai hal, hingga dia mencapai tingkatan Al-Abrar?” sambung Ibrahim bin Adham.

Usai mendengar penjelasan Ibrahim bin Adham, Syaqiq AI-Balkhi langsung memegang dan mencium tangan Ibrahim bin Adham seraya berkata: “Anda guru kami, wahai Abu Ishaq.”

Dari kisah ini dapat dipetik hikmah, menempuh perjalanan spiritual tidak harus meninggalkan kehidupan sosial. Lebih dari itu, bisa ditingkatkan dengan selalu menebarkan kebaikan dan terus memberikan manfaat kepada orang lain.