Liputan6.com, Jakarta - Bulan Ramadhan merupakan kesempatan untuk meningkatkan keimanan dan takwa. Di bulan Ramadhan, umat Islam dianjurkan untuk lebih banyak beribadah dan beramal baik.
Berbagai amal dan ibadah pada Ramadhan ini tentu saja mesti ditopang dengan ilmu yang cukup. Dengan begitu, umat Islam tidak terjebak dalam pemahaman yang keliru.
Advertisement
Baca Juga
Ketua Divisi Fatwa dan Pengembangan Putusan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Ruslan Fariadi mengungkapkan ada sejumlah pandangan tentang atau terkait puasa Ramadhan yang dasarnya lemah, yakni berasal dari hadis lemah bahkan hadis palsu.
Salah satunya yakni hadis tentang tidurnya orang berpuasa. Disebut dalam hadis tersebut tidurnya orang berpuasa adalah ibadah. Benarkah demikian?
Berikut ini adalah hadis lemah yang kerap dijadikan dasar oleh umat Islam saat berpuasa Ramadhan, dan bahkan disampaikan oleh pendakwah, mengutip laman muhammadiyah.or.id:
Saksikan Video Pilihan Ini:
Hadis Lemah dan Palsu Terkait Puasa Ramadhan
1. Hadis tentang hubungan puasa dan kesehatan
Hadis tersebut berbunyi: “Berpuasalah, (niscaya) kalian akan sehat.” Hadis ini diriwayatkan Abu Nu’aim di At Thibb al-Nabawi sebagaimana dikatakan Al Hafidz al Iraqi di Takhrij al-Ihya. Hadis ini lemah, bahkan ada ulama yang menegaskan bahwa hadis ini palsu.
“Jika terdapat penelitian ilmiah yang menunjukkan bahwa puasa itu dapat menyehatkan tubuh, maka secara ilmiah dapat dibenarkan, namun tidak boleh dianggap sebagai Sabda Nabi Saw,” ucap Ruslan dalam kajian jelang buka puasa di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan pada Ahad (02/04), dikutip dari laman Muhammadiyah, Selasa (4/4/2023).
2. Hadis tentang tidurnya orang berpuasa
Hadis tersebut berbunyi: “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, doanya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.”
Hadis ini diriwayatkan al Baihaqi di Syu’ab al-Iman dengan kualitas lemah.
“Tidak semua tidur itu bernuansa ibadah, malah bisa makruh. Kalau misalnya dari pagi hingga sore tidur terus, hanya bangun untuk salat. Ini bukan ibadah, tapi justru telah menghilangkan kesempatan-kesempatan yang sangat banyak untuk melaksanakan amal saleh,” terang Ruslan.
Advertisement
3. Hadis tentang pembagian Ramadan menjadi tiga
Bunyi hadis tersebut: “Adalah bulan Ramadhan, awalnya rahmat, pertengahannya maghfiroh, dan akhirnya pembebasan dari api neraka.”
Hadis ini diriwayatkan Ibnu Khuzaimah, dan didhaifkan oleh sejumlah pakar hadis seperti Abu Muhammad Al Mundziri, bahkan ada yang menilainya sebagai hadis munkar yang tidak boleh diyakini.
“Hadis munkar itu satu level di atas hadis maudhu’ (palsu). Maka hadis munkar ini tidak bisa ditolerir dijadikan dalil, baik dalam masalah muamalah apalagi ibadah. Hadis ini seakan-akan ampunan Allah itu terbatas, padahal ampunan-Nya sama sekali tidak terbatas waktu,” terang Ruslan.
4. Hadis tentang Ramadan yang tergantung di antara langit dan bumi
Bunyi hadis tersebut: “Bulan Ramadan bergantung di antara langit dan bumi. Tidak ada yang dapat mengangkatnya kecuali zakat fitri.”
“Jika seseorang meyakini bahwa puasa Ramadan tidak diterima jika belum membayar zakat fitri, keyakinan ini salah, karena hadisnya dhaif. Zakat fitri bukanlah syarat sah puasa Ramadan, namun jika seseorang meninggalkannya ia mendapat dosa tersendiri,” terang Ruslan.